Bondowoso (ANTARA) - Indonesia memiliki kekayaan budaya dalam konteks kesenian yang jumlahnya mungkin jutaan jenis, termasuk musik.
Untuk kesenian dalam bentuk musik, bangsa kita memiliki dangdut, musik dinamis yang digemari masyarakat dari kelas bawah hingga atas.
Hanya saja, kita terbiasa menganggap sesuatu yang khas kita miliki kurang bernilai, padahal bagi orang asing, sesuatu yang khas itu merupakan hal yang luar biasa. Viralnya tari pacu jalur di luar negeri menjadi bukti bagaimana budaya tradisional yang oleh bangsa kita dianggap -biasa saja, ternyata punya daya tarik besar bagi orang asing.
Mungkin di antara kita pun banyak yang menganggap musik dangdut sebagai kesenian yang kurang bernilai tinggi bagi masyarakat internasional. Di masyarakat kita, dangdut sering diidentikkan dengan musik kampungan. Padahal, setiap orang, dari bangsa manapun, memiliki cita rasa subjektif untuk mendengarkan musik yang tidak bisa diukur dengan kelas sosial.
Dangdut, musik hibrida antara Melayu, India, dan Timur Tengah, memiliki daya tarik dari sisi rancak, hentakan gendang, dan cengkok suara yang khas membawa suasana gembira. Lewat dangdut, setiap orang ingin bergoyang badan.
Di beberapa media sosial berbasis audio visual, kita menyaksikan bagaimana bule dan penyanyi asal Amerika Serikat, Prancis, Thailand, Rusia, dan lainnya, di ajang berbeda, begitu fasih dan gembira membawakan musik dangdut. Fakta itu menunjukkan bahwa sesuatu yang kita anggap kurang bernilai, bagi orang asing malah luar biasa.
Karena itu, kalau Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon melontarkan wacana, musik, khususnya dangdut, sebagai sarana diplomasi "soft power", bukan sesuatu yang aneh dan tidak masuk akal.
Fadli mengungkap negara-negara lain sudah melakukan diplomasi lewat musik dan kini sudah terkenal, seperti Amerika Serikat, India, dan Korea Selatan. Untuk Korea Selatan, barangkali menjadi contoh nyata bagaimana musik mampu menjadi jembatan antarbangsa, yang kini kita kenal dengan gelombang Korea atau lebih dikenal dengan sebutan Korea Pop alias K-Pop.
Secara keunikan, musik K-Pop sebetulnya sama dengan musik musik pop yang sudah berkembang sebelumya, bahkan lebih terkenal. K-Pop kemudian menyalip popularitas musik pop dan rock dari Amerika Serikat dan negara lain. K-Pop menjadi musik yang digandrungi oleh anak-anak remaja di sejumlah negara di luar Korea Selatan, termasuk di Indonesia.
Sementara dangdut, dengan perangkat musik andalan ketipung (sejenis gendang) dan seruling, mampu menyajikan suasana meriah. Kalau dalam musik lain, seorang penyanyi mengajak penonton terlibat hanya dengan mengikuti alunan suara penyanyi, di dangdut, penonton bisa langsung terlibat, sekaligus dengan goyangan tubuh.
Dangdut menjanjikan pesona katarsis pelepas penat, bahkan peluruh gundah bagi masyarakat yang mendengarkan, tak terkecuali bagi penggemar di luar Indonesia. Hampir dipastikan tidak akan ada orang yang bergoyang mengikuti musik dangdut, mukanya cemberut. Semuanya bergoyang dengan muka ceria, bibir tersenyum.
Kalau sebelumnya, pemerintah Indonesia telah berupaya meluaskan diplomasi "soft power" lewat bahasa Indonesia, musik dangdut akan menjadi sarana pendukung paling efektif.
Selain menjadi bahasa resmi di UNESCO, Bahasa Indonesia, kini juga menjadi magnet studi bagi mahasiswa asing di sejumlah negara, seperti Korea Selatan, Amerika Serikat, China, Rusia, Australia, dan lainnya. Di negara-negara itu, sejumlah perguruan tingginya membuka jurusan Bahasa Indonesia.
Sebagaimana umumnya orang belajar bahasa asing atau di luar bahasa ibu dan bahasa resmi negaranya, seseorang sering kali menggunakan lagu untuk mempercepat penguasaan bahasa asing yang dipelajari.
Dangdut menemukan momentumnya untuk tidak saja menghibur bangsa sendiri, tapi juga mengajak orang luar negeri bergembira bersama goyangan dangdut. Dangdut menjadi sarana pendukung bagi warga negara asing untuk belajar Bahasa Indonesia.
Musik dangdut juga akan melengkapi catatan sejarah, sebelumnya, yakni pengakuan dari UNESCO atas musik gamelan sebagai Warisan Budaya Takbenda pada 15 Desember 2021. Meskipun demikian, gamelan berbeda dengan dangdut. Gamelan yang merupakan musik tradisional, cenderung elitis dan hanya dinikmati kalangan tertentu. Berbeda dengan dangdut yang lebih mudah diterima untuk dinikmati oleh semua kalangan.
Tentu saja, untuk mewujudkan cita-cita Menbud menjadikan dangdut sebagai sarana diplomasi "soft power", memerlukan kerja keras dan dukungan semua pihak.
Belajar dari popularitas K-Pop, yang di Korea Selatan sendiri dikenal sebagai "hallyu" atau Gelombang Korea, kesuksesan itu tidak diraih seketika, tanpa perjuangan panjang.
Korea Selatan, awalnya tidak mengira, K-Pop dan drama berserinya akan mendunia. Berkat perjuangan semua pemangku kepentingan, termasuk praktisi industri musik dan pemerintahnya, Korea Selatan kini menikmati hasil perjuangan diplomasinya lewat seni, khususnya musik. Menyusul Korea, kini bangsa Indonesia sedang menikmati "booming" Drachin untuk menyebut Drama China.
Untuk itu, Indonesia memerlukan perencanaan matang dan menyeluruh dalam upaya memopulerkan musik dangdut menjadi musik dunia. Memerlukan promosi besar dan masif untuk menggoyang dunia dengan dangdut.
Untuk menduniakan dangdut dan mendangdutkan dunia, mungkin Indonesia tidak akan mengalami perjuangan seberat Korea Selatan. Momentumnya, saat ini berbarengan dengan demam media sosial di seluruh belahan dunia.
Karena itu, memanfaatkan media sosial yang telah membuka sekat-sekat antarnegara merupakan keharusan untuk mengajak dunia bergoyang dengan dangdut. Meskipun demikian, sarana promosi secara konvensional tidak boleh diabaikan.
