Industri Rokok Kretek Indonesia Harus Dibela
Senin, 15 Oktober 2012 19:38 WIB
Surabaya - Pakar pertembakauan Prof Dr Kabul Santoso MS mengatakan bahwa industri rokok kretek Indonesia harus tetap dibela dan dipertahankan dari masuknya kepentingan pihak asing, karena rokok kretek merupakan salah satu penopang perekonomian.
Berbicara pada seminar "Membedah Framework Convention on Tobacco Control" (FCTC), Membela Kretek, Membela Indonesia" di Surabaya, Senin, Kabul Santoso menyebut rokok kretek tidak hanya sebagai budaya asli Indonesia, tetapi juga industri strategi yang telah memberikan banyak kontribusi untuk ekonomi.
"Terdapat sekitar 18 juta orang mulai dari hulu hingga hilir yang hidup dari industri rokok kretek di Indonesia. Itu bukan angka yang sedikit jika dikaitkan dengan sisi perekonomian," ujarnya.
Dari 18 juta orang tersebut, kata mantan Rektor Universitas Jember itu, sekitar delapan juta orang yang selama ini menggantungkan hidup sebagai petani tembakau.
Sementara dari sisi kontribusi pendapatan cukai, katanya, rokok kretek yang menguasai 93 persen pasar rokok dalam negeri menyumbangkan lebih kurang Rp68,19 triliun dari total pendapatan cukai pada 2011 yang mencapai Rp73,25 triliun.
"Oleh karena itu, saya sangat tidak setuju kalau pemerintah ikut menandatangani ratifikasi atau mengaksesi FCTC. Konsistensi sikap itu harus terus dijaga, karena sampai sekarang juga tidak ada konsekuensi apa-apa," katanya.
Selain Indonesia, kata Kabul, negara produsen tembakau dunia yang hingga saat ini juga tidak ikut meratifikasi FCTC adalah Amerika Serikat.
Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikat Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Hasan Aoni Aziz mengatakan, dengan FCTC, rokok dan produk turunannya tidak lagi dipandang sebagai masalah ekonomi, perdagangan, politik, dan sosial, tetapi sebagai masalah kesehatan.
"FCTC adalah suatu konvensi dalam bentuk hukum internasional pengendalian tembakau yang memiliki kekuatan mengikat bagi negara-negara yang telah meratifikasinya. Secara umum, seluruh isi pasal FCTC untuk menekan penggunaan tembakau," ujarnya.
Menurut Hasan, negara dengan basis pertanian tembakau dan industri rokok yang besar cenderung menghindari kebijakan pengendalian tembakau, karena khawatir menggerus lapangan kerja petani tembakau dan jutaan pekerja industri rokok.
"Status Indonesia saat ini sama dengan negara penghasil tembakau lainnya seperti Amerika Serikat, yakni belum meratifikasi FCTC," katanya.
Kendati demikian, kata Hasan, regulasi internasional itu telah menyusup kepada sejumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia, salah satunya UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009.
"Di bawah UU Kesehatan itu, pemerintah sedang membuat RPP tentang pembatasan rokok dan tembakau dengan alasan kesehatan. RPP itu mengadopsi semangat pembatasan FCTC," katanya.
Ia juga mengatakan, munculnya RPP Pembatasan Rokok dan Tembakau bisa mematikan industri rokok dalam negeri yang dalam beberapa tahun terakhir sudah menurun drastis, dari sekitar 5.000 industri menjadi hanya sekitar 800 industri rokok besar maupun kecil.
Pembicara lainnya Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Tengah Nurtantio Wisnu Brata mengatakan bahwa FCTC harus ditolak, karena tidak sesuai dengan UUD 1945 yang menjamin hak hidup dan memperoleh penghidupan layak seluruh rakyat Indonesia.
"FCTC bisa mematikan budaya dan adat-istiadat yang berkembang di masyarakat pertanian, serta mengekang hak petani untuk menentukan jenis tanaman yang dibudidayakan. Kepentingan terbesar konvensi itu adalah mematikan petani lokal dengan memotong mata rantai hasil tanaman," katanya.
Selain ketiga pembicara tersebut, seminar sehari itu juga dihadiri anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Rieke "Oneng" Diah Pitaloka yang lebih banyak menyerukan gerakan "Indonesia Menggugat" terhadap berbagai bentuk kepentingan asing yang masuk. (*)