Memutus Rantai Penyebab Tawuran
Senin, 8 Oktober 2012 6:57 WIB
Mendengar berita tentang tawuran atau perkelahian antarpelajar di sejumlah kota besar, yang ada di pikiran kita adalah perasaan miris, tragis, dan juga prihatin. Apalagi jika peristiwa tersebut menyebabkan korban jiwa.
Hal ini pula yang sering terjadi pada tawuran antarpesilat Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) dan Persaudaraan Setia Hati (PSH) Tunas Muda Winongo di wilayah Madiun dan sekitarnya. Tawuran antarpesilat ini selalu terjadi di tingkat bawah atau anggota muda yang mayoritas masih pelajar.
Hampir setiap tahun saat momentum Suran Agung pada bulan Muharam dalam kalender Jawa dan saat momentum halalbihalal Idul Fitri selalu diwarnai dengan aksi tawuran para pesilat ini. Selain tawuran, aksi perusakan terhadap rumah milik warga, toko, dan sejumlah fasilitas umum juga dilakukan oleh para pesilat tersebut.
Setiap agenda Suran Agung dan halalbihalal digelar, aparat kepolisian baik Polres Madiun Kota, Polres Madiun, Polres Magetan, Polres Ngawi, Polres Pacitan, Polres Ponorogo, dan bahkan Polda Jawa Timur selalu melakukan ancang-ancang.
Pegamanan ketat hingga siaga I selalu diberlakukan. Ratusan bahkan hingga ribuan petugas gabungan dari unsur Polri, TNI-AD, TNI-AU, dan pemda selalu siap siaga. Para petugas telah ditempatkan di titik-titik rawan konflik. Jalur "abu-abu" atau jalur kemungkinan untuk terbenturnya kedua anggota perguruan silat Persaudaraan Setia Hati tersebut, juga telah dihindari.
Namun anehnya, bentrok, tawuran, dan kerusuhan masih saja terjadi di sejumlah titik, setiap tahunnya. Tak sedikit kerugian materi yang diderita oleh korban akibat aksi anarki para pesilat ini, setiap tahunnya. Bahkan, aksi ini juga tercatat pernah menelan korban jiwa. Hanya saja, polisi enggan menyebutkan jumlah kasus pastinya.
Tidak jelas apa yang menjadi alasan kedua perguruan silat ini selalu berseteru. Namun, diduga perkelahian secara turun-temurun antara PSH Terate dan PSH Tunas Muda Winongo, tidak lepas dari seting sejarah latar belakang berdirinya kedua perguruan silat tersebut.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa kedua perguruan tersebut awalnya merupakan satu perguruan pencak silat yaitu Setia Hati yang diawali dengan berdirinya Sedulur Tunggal Kecer (STK) oleh Ki Ngabei Soero Diwiryo dari Madiun pada tahun 1903.
Pada tahun tersebut Ki Ngabei belum menamakan perguruannya dengan nama Setia Hati, namun masih bernama "Joyo Gendilo Cipto Mulyo" dengan hanya memiliki delapan orang siswa.
Organisasi silat tersebut mendapat hati di kalangan masyarakat sekitar tahun 1917, yang mana Joyo Gendilo Cipto Mulyo melakukan demonstarsi silat secara terbuka di alun–alun Madiun dan menjadikannya sebagai perguruan yang populer di kalangan masyarakat karena gerakan yang unik, penuh seni, dan bertenaga.
Pada tahun 1917 juga, Joyo Gendilo Cipto Mulyo berganti nama dengan Setia Hati (SH) hingga akhirnya pendiri perguruan yakni Ki Ngabei Soero meninggal pada tahun 1944 dalam usia 75 tahun. Almarhum meninggalkan wasiat supaya rumah dan pekarangannya diwakafkan kepada Setia Hati.
Ki Ngabei Soero dimakamkan di Kelurahan Winongo, Kota Madiun, dengan batu nisan granit. Dan oleh berbagai kalangan, makam Ki Ngabei dijadikan pusat dari perguruan Setia Hati. Namun, pada Tahun 1922 murid terkasih Ki Ngabei Soero, Ki Hadjar Hardjo Oetomo, telah mendirikan Setia Hati Terate sebagai respon untuk mengembangkan pencak silat dengan ideologi SH.
Pecahnya SH yang dimotori oleh murid kesayangan Ki Ngabei Soro tersebut, mengakibatkan SH terbagi dalam dua wilayah teritorial yaitu SH Winongo yang tetap berpusat di Kelurahan Winongo dan SH Terate berpusat di Kelurahan Pilangbango, Kota Madiun.
Konflik kedua murid merambat sampai tingkat bawah hingga sekarang yang dipenuhi rasa dendam satu sama lain. Perpecahan kedua perguruan tadi juga terletak dalam strategi pengembangan ideologi, dimana Winongo lebih bersifat eksklusif, sedangkan Hardjo Utomo ingin membangun SH yang lebih bisa diterima masyarakat bawah guna melestarikan perguruan.
Kedua perguruan tersebut saling mengklaim kebenaran pembawa nilai ideologi SH yang orisinil dan menganggap dirinya yang paling benar. Klaim kebenaran ini terus-menerus direproduksi sehingga membuat para kalangan pengikut level bawah atau murid baru memiliki doktrin perguruan silatnya paling benar dan lainnya dianggap salah dan pengkhianat.
Meski praktiknya berbeda di lapangan, namun, kedua petinggi perguruan silat ini menolak jika disebut-sebut saling berseteru. Mereka mengklaim, PSHT dan PSH Winongo adalah saudara yang sama-sama memiliki satu aliran, yakni Setia Hati.
"Semua perguruan itu saudara. Tidak ada musuh bebuyutan, dan kami tidak pernah mengajari tentang adanya musuh bebuyutan pada anggota baru atau muda," ujar Ketua PSH Winongo, RM Agus Wiyono Santoso.
Pihaknya menilai, perseteruan yang kerap terjadi antara dua perguruan silat ini dimotori oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan pribadi. Hal ini terbukti, saat tidak berlangsungnya Suran Agung dan halalbihalal, hubungan keduanya cukup baik dan tidak ada bentrokan.
"Terkait adanya aksi perusakkan yang dilakukan oleh oknum anggota, saya menyerahkan sepenuhnya hal ini kepada pihak kepolisian untuk ditindak sesuai hukum yang berlaku," kata Agus.
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Umum PSHT H. Tarmadji Boedi Harsono. Pihaknya sangat menghormati keberadaan perguruan silat lainnya dan merasa tidak ada masalah.
"Kami tidak ada dendam dan benci dengan perguruan silat lain. Bentrokan yang terjadi adalah murni karena oknum yang tak bertanggungjawab. Ini karena seluruh perguruan pencak silat pada dasarnya tidak membenarkan adanya kekerasan," ujar Tarmadji.
Kedua perguruan mengaku terus melakukan komunikasi, untuk meredam adanya bentrokan di tingkat bawah, serta menjelaskan tidak adanya permusuhan antara perguruan.
Komunikasi ini juga diwujudkan dengan penandatanganan nota kesepakatan antara pihak kepolisian dengan kedua perguruan pencak silat SH Winongo dan SH Terate, agar menggelar setiap acara perguruan dalam keadaan tertib dan damai.
Dalam nota kesepahaman tersebut tertulis perjanjian masing-masing anggota perguruan pencak silat untuk saling menaati aturan yang telah disepakati guna menjaga keadaan Madiun sekitarnya yang kondusif serta penindakan secara tegas sesuai hukum yang berlaku bagi setiap pihak yang melanggarnya.
Terlepas dari apapun penilaian para petinggi perguruan silat tersebut, bentrokan atau tawuran antarpesilat anggota muda itu membuat resah warga. (*)