Surabaya (ANTARA) - Di era digital yang sudah berteknologi nan maju ini, istilah taklid (mengikuti pendapat tanpa memahami dalil/masalah secara mendalam) ternyata masih berlaku, meski mungkin bergeser dalam tataran praktiknya.
Jika taklid di masa lalu lebih karena memang benar-benar tidak tahu, maka taklid di era digital terjadi akibat framing atau potongan informasi yang belum jelas kebenarannya, tapi justru diviralkan.
"Dulu, Kebenaran dibentuk oleh Fakta. Kini, Kebenaran dibentuk oleh Framing (pembelokan lewat kekuatan persepsi)," kata tokoh pers H Dahlan Iskan saat pengukuhan doktor HC di Indramayu (20/5/2023).
Ya, framing yang memungkinkan potongan/edit informasi yang belum jelas kebenarannya, tidak utuh/lengkap, atau bahkan salah, justru bisa dianggap benar karena diulang-ulang secara digital (viral) dan "bahaya" bila ada taklid apa adanya tanpa menelusuri "sanad/sumber".
Contoh terbaru adalah keterangan resmi yang dikeluarkan Gedung Putih (23/7/2025) terkait penghapusan hambatan untuk perdagangan digital dengan poin bahwa Amerika Serikat dan Indonesia akan merampungkan komitmen terkait perdagangan digital, jasa, dan investasi.
Sejumlah komitmen tertulis yang diambil Indonesia salah satunya adalah memberikan kepastian terkait kemampuan untuk memindahkan data pribadi dari wilayahnya ke Amerika Serikat.
"Indonesia juga akan memberikan kepastian terkait kemampuan untuk memindahkan data pribadi keluar dari wilayahnya ke Amerika Serikat melalui pengakuan bahwa Amerika Serikat merupakan negara atau yurisdiksi yang memberikan perlindungan data yang memadai berdasarkan hukum Indonesia," tulis pernyataan tersebut.
Nah, poin itu tidak dipahami secara utuh tapi langsung diambil pada cuplikan/potongan kalimat "Indonesia juga akan memberikan kepastian terkait kemampuan untuk memindahkan data pribadi keluar dari wilayahnya ke Amerika Serikat." Potongan pernyataan itu kemudian diviralkan.
Tidak hanya publik umum, sejumlah tokoh dan instansi/lembaga pun melakukan "taklid" pada poin "pemindahan data pribadi dari RI ke AS" itu, bahkan ada juga seorang jurnalis yang langsung mengunggah poin itu lewat akun medsosnya tanpa melakukan klarifikasi pihak lain (sepihak).
Hal itu juga masih ditambahi kegaduhan oleh publik yang awam dengan mengunggah pernyataan langsung dari Presiden AS Trump itu lewat akun medsos mereka, yang seolah-olah melakukan pembenaran bahwa itu adalah pernyataan asli dari petinggi AS. Begitulah, kecenderungan pengguna medsos yang sekaligus bisa menjadi produsen informasi, meski ada unsur framing.
Era Android (2010) memang menjadi era "perang" tidak seimbang antara media massa versus media sosial/digital, karena media massa selalu bersabar menunggu akurasi fakta sebagai etika (etika jurnalisme), tapi media sosial justru mengandalkan kecepatan, apalagi informasi sepihak punya viewer/algoritma/copas yang tinggi (viral).
Entah viral/gaduh atau tidak, jika pernyataan AS itu dikutip secara utuh, maka poin/kalimatnya adalah "memindahkan data pribadi keluar dari wilayahnya ke Amerika Serikat melalui pengakuan bahwa Amerika Serikat merupakan negara atau yurisdiksi yang memberikan perlindungan data yang memadai berdasarkan hukum Indonesia."
Tak Semua WNI-Berdasar Hukum
Pernyataan utuh itu dibenarkan Mensesneg Prasetyo Hadi di Istana Kepresidenan Jakarta (25/7/2025). Jadi, kata Mensesneg, pemaknaannya yang tidak benar, karena bukan berarti Indonesia akan menyerahkan data-data, apalagi data-data pribadi dari semua rakyat Indonesia ke pihak sana (Amerika Serikat).
"Tidak," katanya kepada pers.
Mengutip kata terakhir "berdasarkan hukum Indonesia", Mensesneg pun menegaskan bahwa pemerintah menjamin perlindungan data pribadi warga Indonesia karena diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
"Pemerintah berkomitmen dengan UU PDP yang ada," katanya, menegaskan lagi.
Selain melalui penyajian informasi yang utuh, sebagai upaya mengurangi "taklid" pada framing, agaknya perlu dilakukan cek akurasi melalui sanad/sumber informasi yang kompeten, seperti pakar hukum sebagai sanad/sumber terkait masalah hukum, sehingga ada "Kesalehan Digital" yang berbasis akurasi/sanad/narasumber, etika/matan/konten, dan kepentingan publik.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjajaran (Unpad) Ahmad M Ramli menjelaskan bahwa transfer data pribadi bukan berarti mengalihkan pengelolaan data seluruh Warga Negara Indonesia (WNI) ke Pemerintah AS, tapi lebih pada kepentingan bisnis. Jadi tidak semua data WNI, melainkan hanya pihak-pihak yang terkait bisnis, dan berbasis data bisnis sebagai antisipasi penipuan/kecerobohan.
Dalam transaksi bisnis internasional, hal yang harus dipahami adalah transfer data pribadi tak berarti mengalihkan pengelolaan seluruh data pribadi WNI kepada Pemerintah AS, apalagi transfer data pribadi ke AS tak hanya dilakukan Indonesia, tapi sudah dilakukan negara lain dan semuanya berdasarkan hukum yang ada.
Bahkan, negara-negara Uni Eropa yang melindungi data pribadinya secara ketat pun sudah membuat kesepakatan terkait data pribadi dengan Pemerintah AS. Uni Eropa telah menjalin kesepakatan dengan AS dengan transaksi perdagangan senilai 7,1 triliun dolar AS. Komisi Eropa telah mengadopsi EU-US Data Privacy Framework (DPF) yang mulai berlaku sejak 10 Juli 2023.
Terkait kerja sama Indonesia-AS, transfer data pribadi secara eksplisit disebut "move personal data out" dalam Fact Sheet (Lembar Fakta) Gedung Putih berjudul "The United States and Indonesia Reach Historic Trade Deal".
Dalam lembar fakta, secara jelas disebut langkah menghapus Hambatan Perdagangan Digital antara Indonesia-AS. Ramli menilai poinnya adalah Indonesia akan mempermudah transfer data pribadi ke AS dengan mengakui AS sebagai negara yang memiliki perlindungan data memadai di bawah hukum Indonesia.
Hal itu, kata pakar hukum itu, merujuk pada mekanisme transfer data pribadi lintas negara secara kasus per kasus, untuk memastikan aliran data tetap sah dan terlindungi dalam era ekonomi digital.
Ramli mencontohkan seseorang yang terbang ke New York dari Jakarta, maka akan terjadi transfer data pribadi yang bahkan bisa melibatkan bukan hanya satu negara jika menggunakan maskapai yang berbeda.
Apalagi, transfer data pribadi telah berlangsung dimanapun. Contoh lain, pengguna internet di Indonesia yang menurut data APJII 2025 sebanyak 221.563.479 jiwa, juga telah memberikan data pribadi ke berbagai platform digital global untuk diproses dan ditransfer antarteritorial dan yurisdiksi.
Pemberian data pribadi itu dilakukan mulai saat membuat akun email, Zoom, Youtube, Facebook, Twitter/X, WhatsApp, Telegram, TikTok, ChatGPT, Google Maps, dan lainnya. Jadi, transfer data pribadi adalah keniscayaan sesuai kebutuhan, karena tanpa proses ini tidak akan ada layanan dan transaksi digital.
Jadi, masalahnya bukan soal data pribadi an sich sebagaimana framing yang diikuti secara taklid buta, tapi bagaimana negara melakukan pengawasan, monitoring, dan evaluasi terhadap praktik transfer data pribadi ke berbagai negara agar patuh pada ketentuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang PDP, karena itu Lembaga PDP perlu segera dibentuk.
Transfer data RI-AS dan "taklid" di era digital
Oleh Edy M Yakub Senin, 28 Juli 2025 10:20 WIB
Ilisterasi - Warga melakukan transaksi menggunakan Electronic Data Capture (EDC) di Pasar Santa, Jakarta, Selasa (22/7/2025). Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menargetkan 20 pasar sebagai percontohan pasar digital mengingat sebanyak 6,2 juta penduduk di Jakarta telah menggunakan transaksi digital melalui QRIS maupun Electronic Data Capture (EDC). ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/foc.
