Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Mohammad Faisal menilai kenaikan harga minyak dunia akibat dampak konflik Iran dan Israel menjadi momentum untuk percepatan transisi energi baru dan energi terbarukan.
“Ketika energi fosil sudah mahal, tentu menjadi kurang kompetitif. Ini semestinya dimanfaatkan untuk mendorong pengembangan energi terbarukan,” ucap Faisal ketika dihubungi ANTARA dari Jakarta, Senin.
Faisal menjelaskan bahwa yang selama ini menjadi kendala dari pengembangan energi baru dan energi terbarukan adalah murahnya harga energi fosil. Kendala tersebut menyebabkan energi baru terbarukan kurang kompetitif apabila dibandingkan dengan fosil.
Oleh karena itu, melonjaknya harga minyak dunia di tengah-tengah konflik Iran dan Israel, harus dimanfaatkan sebagai momentum bagi pemerintah untuk mengembangkan proyek-proyek energi baru dan terbarukan.
“Fenomena ini semestinya menjadi dorongan untuk beralih ke energi terbarukan, menjadi stimulus,” kata dia.
Terkait dengan dampak kenaikan harga minyak dunia terhadap perekonomian Indonesia, Faisal menyampaikan ada potensi peningkatan harga bahan bakar minyak (BBM) domestik.
Bahkan, bila kenaikan harga minyak dunia melebihi 80 dolar AS per barel, Faisal memandang akan ada penyesuaian terhadap harga BBM bersubsidi, seperti Pertalite dan solar.
“Biasanya berdampak bukan hanya ke ongkos transportasi, melainkan ke harga barang-barang yang lain, terutama bahan pangan,” kata dia.
Dikutip dari laman resmi Kementerian Keuangan, asumsi dasar ekonomi makro 2025 untuk harga minyak mentah Indonesia (ICP) berada di angka 82 dolar AS per barel. Apabila dibandingkan dengan ICP Mei 2025, rata-rata harga minyak mentah Indonesia pada level 65,29 dolar AS per barel.
Saat ini, lonjakan harga minyak dunia berada di kisaran 72–74 dolar AS per barel, masih lebih rendah daripada asumsi ICP yang termaktub di APBN 2025 sebesar 82 dolar AS per barel.
Lonjakan harga minyak dunia dipicu oleh konflik antara Iran dengan Israel. Pada Jumat (13/6), Pasukan Pertahanan Israel (IDF) meluncurkan operasi militer bernama "Operation Rising Lion" dengan menyerang target militer dan fasilitas program nuklir Iran.
Angkatan Udara Israel melakukan serangan dalam beberapa gelombang di sejumlah wilayah Iran, termasuk ibu kota Tehran.
Dalam serangan tersebut, sejumlah pejabat militer tinggi Iran dilaporkan tewas, termasuk Kepala Staf Umum Militer Iran Jenderal Mohammad Bagheri dan beberapa komandan Garda Revolusi, serta sejumlah ilmuwan nuklir.
Sebagai balasan, Iran meluncurkan "Operation True Promise 3", yang menyerang fasilitas militer milik Israel.
Kementerian Kesehatan Iran mengatakan 128 orang tewas dan 900 lainnya cedera dalam serangan Israel sejak Jumat.
Sementara itu, otoritas Israel mengatakan sedikitnya 13 orang tewas dan lebih dari 370 lainnya cedera dalam serangan rudal Iran.