Surabaya (ANTARA) - Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (HIMAHI) Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya menyoroti relevansi politik luar negeri bebas aktif di tengah dinamika global rivalitas Amerika Serikat dan China.
"Politik luar negeri bebas aktif harus terus digaungkan di kalangan generasi muda, khususnya mahasiswa hubungan internasional," ujar Ketua HIMAHI UINSA, Muchammad Syahrulloh, dalam keterangan yang diterima di Surabaya, Senin (19/5).
Dalam seminar nasional ini, mahasiswa diharapkan bisa memahami prinsip netralitas Indonesia yang telah diwariskan oleh para pendiri bangsa
Sementara itu, mantan Kepala LKBN ANTARA Biro Beijing periode 2016–2023, M. Irfan Ilmie, sebagai pembicara utama mengatakan kebijakan bebas aktif yang dicetuskan oleh Soekarno-Hatta masih relevan di tengah ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat dan China.
"Meskipun kerap dipertanyakan, kebijakan ini tetap menjadi pedoman utama dalam menjaga posisi Indonesia di tengah rivalitas global," ujar Hilmi yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Ikatan Mahasiswa Hubungan Internasional (IMAHI) Universitas Darul 'Ulum Jombang pada 1997–1998.
Ia menambahkan, rivalitas kedua negara ekonomi terbesar di dunia yang mencapai puncaknya pada era perang dagang terbuka antara pemerintahan Donald Trump dan Xi Jinping, menuntut Indonesia untuk tetap konsisten menjalankan politik luar negeri yang independen.
"Kita pernah mengalami konsekuensi dari penyimpangan terhadap prinsip bebas aktif pada era 1960-an, dan sejarah itu tidak boleh terulang," tutur Irfan.
Menurut dia, dinamika geopolitik saat ini mencerminkan kembali situasi era Perang Dingin, di mana dunia terbelah menjadi dua blok kekuatan besar.
Dalam konteks ini, sikap bebas aktif tetap dapat diterapkan secara fleksibel dan konstruktif.
"Indonesia sudah berada di jalur seimbang. Dalam bidang militer, kita menjalin kerja sama erat dengan Amerika Serikat, sementara di sektor ekonomi, hubungan bilateral dengan China juga sangat kuat," katanya.(*)