Surabaya (ANTARA) - Program Sekolah Gratis (PSG) banyak dibicarakan beberapa hari ini. Salah satunya berita di Antara News tanggal 12 Mei 2025. Namun demikian, ada saja yang skeptis, bahwa ini adalah program yang tak akan berjalan lama, atau sekadar proyek sementara saja.
Program Sekolah Gratis (PSG) adalah inisiatif pemerintah Indonesia yang bertujuan menyediakan pendidikan gratis dan berkualitas bagi anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem. Program ini direncanakan mulai berjalan pada tahun ajaran 2025/2026, dengan peluncuran awal pada Juli 2025.
Sementara itu, tak dapat dipungkiri bahwa di berita-berita media online maupun cetak berseliweran tentang perundungan dan pelecehan. Bahkan mengarah ke femisida. Lalu, bagaimana Program Sekolah Gratis ini ikut andil agar angka kejadian di atas dapat dikurangi? Salah satu hal yang muncul dalam narasi PSG adalah pendidikan karakter. Tentang ini telah sering digaungkan beberapa tahun ini, di era kementerian sebelumnya. Tentu, dampak positifnya tidak dapat langsung dipanen.
Saya rasa ide pendidikan karakter ini bagus, dan perlu dilanjutkan. Untuk menjamin keberlangsungan pendidikan karakter ini agar berkelanjutan, penting untuk menghidupkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat lokal tempat masing-masing PSG ini berada.
Indonesia ini terlalu besar untuk menyeragamkan pendidikan dasar, sementara pendidikan dasar adalah saatnya karakter dibentuk. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
Identifikasi Nilai-nilai Lokal yang Positif
Pertama adalah mengidentifikasi nilai-nilai lokal yang positif. Tak pelak kita sadari bahwa Indonesia ini kaya dengan nilai-nilai muatan lokal yang luar biasa, yang tumbuh dari tanah tempat para individu ini berpijak, sejak mereka lahir. Nilai-nilai lokal ini misalnya gotong-royong (Jawa), tepa-salira (=tenggang rasa, Jawa), Siri’ na pacce (=harga diri dan empati, SulSel), Basusur sarundang surarak (=mufakat kebersamaan, Minangkabau), Piil pesenggiri (=kehormatan diri, Lampung), Mapalus (=kerja sama, Minahasa), dan masih banyak lagi. Di sana, kerja sama adalah untuk hal-hal baik, bukan kerja sama untuk menutupi hal tidak baik yang dilakukan bersama-sama.
Jika itu terjadi, artinya harga diri dan rasa malu melakukan hal-hal buruk pada orang lain itu telah sirna. Telah tak dihayati oleh para pelaku salah laku tersebut. Penanaman rasa malu melakukan hal buruk itu perlu ditanamkan sejak awal, dan lebih penting lagi, perlu dicontohkan oleh orang-orang di sekitarnya. Perlu mengidentifikasi hal-hal kontekstual sesuai dengan karakter anak masa kini: disiplin, jujur, tangguh, peduli, sopan; misalnya.
Integrasi dalam Kurikulum dan Kegiatan Harian
Hal-hal di atas, perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum dan kegiatan harian, dan menjadikannya tema pembelajaran dalam kurikulum dan kegiatan harian. Integrasi tersebut dapat dilakukan pada lintas pelajaran, misal di pelajaran Bahasa Indonesia, dengan memasukkan cerita rakyat dan legenda lokal. Lalu di pelajaran IPS, tentang studi budaya dan kehidupan masyarakat lokal. Dan juga di Seni Budaya, dengan mempelajari tarian, musik, dan simbol-simbol adat; yang penuh makna dan filosofi. Jadi anak tidak hanya menirukan gerakan tarian, misalnya, namun juga mempelajari bagaimana sejarah tentang tarian itu muncul, dan menyimbolkan hal baik apa.
Praktik apel pagi dengan salam adat, doa sesuai tradisi, dan permainan tradisional perlu dihidupkan. Namun penekanannya pada penghayatan, bukan pada sekadar melakukan rutinitas. Kita menyadari bahwa selama ini, apel pagi, hormat pada bendera, dan doa kadang diwarnai dengan suara canda dan cekikian; tidak lagi diwarnai dengan rasa khidmat dan syukur seperti pendahulu kita yang baru mengalami kemerdekaan.
Masa itu telah lewat, jadi.. bagaimana menghidupkan rasa syukur dan rasa cinta pada tanah leluhur kita ini? Jika ini tidak dihidupkan, maka banyak generasi masa kini yang bingung dan kehilangan arti hidup, tidak menyadari bahwa tanah yang mereka pijak ini dulu diperjuangkan dengan susah payah. Rasa syukur itu perlu disadarkan, dengan cara-cara dan cerita yang relevan dengan kehidupan anak-anak di masa kini.
Metode Penguatan Karakter
Metode penguatan karakter dilakukan tidak hanya dengan memberi pelajaran dan mendongeng, namun perlu keteladanan. Guru dan orang tua mempunyai peran penting dalam menunjukkan sesuai nilai lokal. Di sekolah, ini perlu digerakkan oleh Kepala Sekolah. Kepala Sekolah perlu digerakkan oleh kurikulum yang mudah dijalankan dan detail. Hal ini perlu keseriusan semua pihak.
Buku yang ditulis oleh tim ahli untuk adik-adik di sekolah dasar ini perlu pula ditekankan agar mencari cerita dan dongeng lokal yang menggunakan narasi budaya untuk menyampaikan pesan moral.
Dalam pengalaman penulis, hal detail seperti ini tidak ditekankan ketika penulis menjadi tim dalam penulisan buku teks untuk anak-anak sekolah. Padahal, dongeng rakyat merupakan potret dari bagaimana masyarakat tersebut di masa lalu melakukan penganggulangan terhadap suatu masalah bersama.
Penghayatan terhadap nilai-nilai lokal yang baik, perlu benar-benar dilakukan dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak dilibatkan dalam kegiatan nyata, misalnya membersihkan lingkungan, tugas membantu tetangga, dsb. Kemudian, simulasi atau role play masyarakat adat dapat dilakukan dalam melatih empati dan berlatih dalam pengambilan keputusan.
Libatkan Tokoh Adat dan Orang Tua
Sering kita lihat anak-anak SD melakukan study tour ke suatu tempat. Mereka perlu juga mengenal tetua adat di daerah mereka, budayaman, atau sesepuh yang dapat bercerita dan melatih ketrampilan khas di daerah tersebut. Mungkin dapat dilakukan kolaborasi “Sekolah Adat Mini” di sekolah formal ini. Pelibatan tetua adat dan budayawan ini akan membawa kesan mendalam, dan menambah kecintaan mereka terhadap budaya mereka, dan kebanggaan atas budaya mereka yang ke arah positif.
Evaluasi Karakter dengan Cara Kontekstual
Program seperti di atas perlu dilakukan penilaian dan observasi langsung, terhadap bagaimana program ini dijalankan. Penilaian ini sebaiknya dilakukan secara deskriptif. Fokus penilaian adalah pada perubahan sikap dan kebiasaan. Penilaian ini menggunakan indikator misalnya, apakah siswa makin aktif menyapa? Apakah makin sering mempunyai inisiatif membantu teman? Apakah menunjukkan rasa hormat dan respek terhadap sesamanya dan sesama makhluk hidup?
Prinsip kunci dari program ini adalah konsistensi, kontekstualisasi, partisipatif, dan kultural. Artinya, nilai karakter ini harus dipraktikkan setiap hari. Apa yang dilakukan itu relevan dengan kehidupan lokal anak. Siswa bukan hanya mendengar pelajaran, namun melakukan hal-hal yang diajarkan. Dan terakhirn nilai-nilai leluhur yang baik dan relevan tetap dijaga dan dikembangkan.
*) Penulis merupakan Dosen Antropologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.