Surabaya (ANTARA) - Sepanjang tahun 2024 ada perkembangan menggembirakan dalam penanganan gerakan terorisme di Indonesia, karena gerakan Jamaah Islamiyah (JI) resmi mendeklarasikan kesetiaan kembali kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada Desember 2024.
Sebelumnya, pada Juni 2024, JI secara resmi membubarkan organisasinya. Pembubaran dan deklarasi kesetiaan ini menguatkan keberhasilan pemerintah dalam meredam organisasi yang cenderung intoleran, seperti HTI dan FPI, yang juga telah dibubarkan sebelumnya.
Hal ini membuktikan bahwa terorisme berbaju agama ternyata tidak selalu harus ditangani dengan kekerasan, tetapi dapat diselesaikan melalui pendekatan cinta kasih, atau pendekatan humanis dalam istilah mantan Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Khusus Hizbut Tahrir, mantan hizbiyyin (sebutan untuk pengikut HTI) M Ainur Rofiq Al Amin dalam bukunya berjudul "KontraNarasi Melawan Kaum Khilafers" berupaya mempertemukan narasi kaum santri atau Nahdlatul Ulama (NU) dengan narasi Khilafers (HTI).
Narasi-narasi khilafers yang disebut mantan Hizbiyyin, saat menjadi mahasiswa Unair Surabaya itu, antara lain Negara Islam, radikal potensial, Islam moderat, NKRI bersyariah, Islam Nusantara, Khilafers timses, Pancasila dan khilafah, jihad palsu, bendera tauhid, dan sebagainya.
Begitulah aktivitas HTI yang secara kelembagaan sudah dilarang beraktivitas di Indonesia sejak tahun 2015, namun para Khilafers masih saja "beredar" di media sosial dengan propaganda yang sama, yakni Tegakkan Khilafah! Khilafah itu Solutif.
Contoh cuitan Khilafers yang menjadi trending adalah film "Jejak Khilafah di Nusantara" (JKDN) yang disebut founder Drone Emprit, Ismail Fahmi, menggunakan bot untuk mendongkrak popularitas JKDN.
Bagi dosen UINSA Surabaya dari keluarga besar Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang, Jatim, itu, dalam bukunya yang terbit pada Hari Santri 2020, argumentasinya nggak jelas, Khilafah mana yang dipromosikan, apakah Khilafah ISIS, Khilafatul Muslimin, atau HTI?
Justru Khilafah Umayyah, Abbassiyah, dan dinasti lain menunjukkan jejak berbagai perilaku pemimpin, yakni baik, adil, terdidik, urakan peminum, sadis, raja tega, nepotisme, dan pergantian kepemimpinannya berujung pada pertumpahan darah. Itulah jejak khilafah dalam sejarah.
Tidak hanya itu, HTI di dunia maya menyebut khilafah sebagai solusi yang lebih baik daripada demokrasi. Bahkan, HTI menyebut Turki Usmani sebagai rujukan dari khalifah dalam Islam. Sementara Indonesia dituduh sebagai negara vasal, atau negara yang berada dalam kekuasaan negara lain secara internasional. Tawaran ini juga menyalahi sejarah.
Dalam kitab "Tarikh Al-Umam wa Al Mulk" karya Abi Ja'far Muhammad bin Jarir Tabari, atau kitab "Tarikh Al-Umam wa Al Siyasah" karya Al-Imam Abi Muhammad Abdullah bin Muslim Ibn Qutaybah Al Dainuri, atau kitab "Tarikh Al Khulafa'" karya Al Hafidz Jalaluddin Al Suyuthi menyebutkan bahwa syarat menjadi imam a'dzam atau khalifah adalah harus berasal dari Suku Quraisy.
Bahkan, Imam Ghazali dalam kitabnya "Al-Iqitshad fil I'tiqad" juga menegaskan hal yang sama dengan menggunakan dalil hadits dari Imam Nasai ("Al-Imamah min Quraisy" atau khalifah itu berasal dari Quraisy) bahwa khalifah di luar pendapat itu adalah menyimpang.
Artinya, pandangan HTI bahwa khilafah sebagai solusi dengan menyebut Turki Usmani sebagai rujukan dari khalifah dalam Islam tidak memenuhi kualifikasi sebagai khilafah, karena Turki Usmani itu bukan dari klan Quraisy. Buku "The Islamic Dynasties" karya Clifford Edmund Bosworth dan buku "Ensiklopedi Tematis Dunia Islam" menjelaskan bahwa Turki Usmani berasal dari Qayigh Clan (Suku Kayi), salah suku di Turki Barat.
Radikalisme
Semua kejadian bisa disimpulkan dengan logika HTI, karena itu kalau Hizbiyyin menyebut penolakan terhadap HTI itu karena "framing" (pembingkaian) yang buruk atas khilafah, sehingga khilafah terkesan sebagai momok, maka fakta dan data dalam buku "KontraNarasi Khilafers" bisa menjadi bukti siapa sebenarnya yang bermain "framing" dengan menghalalkan segala cara.
Sebagai Dosen Fakultas Ushuluddin UINSA Surabaya, penulis dalam buku itu juga membandingkan kitab HTI dengan "kitab kuning" NU tentang khilafah/kepemimpinan. Kitab otoritatif HTI berjudul "Ajhizat Daulah Al Khilafah" karya Atha Abu Rashtah yang menyebut "daulah khilafah" (negara khilafah), namun kitab kuning, seperti Al Ahkam Al Sulthaniyyah (karya Abu Hasan Al Mawardi), Tarikh Tabari, dan kitab-kitab kuning lainnya menyebut satu kata, yakni khilafah, bukan daulah khilafah.
Jadi, para santri sebenarnya tidak mengingkari khilafah/kepemimpinan, tapi maksudnya bukan negara atau pemerintahan. Abu Hasan Al-Mawardi dalam kitabnya itu menyebut kata "khilafah" sebanyak 35 kali, kata "khalifah" sebanyak 25 kali, kata "imamah" sebanyak 94 kali, dan kata "imam" sebanyak 13 kali. Kata-kata yang sama juga ada dalam kitab "Fathul Wahab", "Asnal Mathalib", dan "Minhajut Thullab" karya Syaikh Zakariyah al-Anshari, atau kitab "Rawdhatut Thalibin wa 'Umdatul Muttaqin" dan "Minhajut Thalibin" karya Al-Nawawi, dan sebagainya.
Hanya saja, para santri memahami teks-teks tentang imamah/khilafah dalam kitab-kitab itu melalui konstruksi pemahaman, salah satu pendiri NU KH Wahab Hasbullah yang disampaikan dalam pidato di depan parlemen pada 29 Maret 1954 yang dimuat dalam Majalah "Gema Muslimin" berjudul "Walijjul Amri Bissjaukah", yang intinya bahwa imam a'dhom dalam Islam itu hanya satu yang memiliki pengetahuan se-martabat mujtahid mutlak, namun orang yang demikian sudah tidak ada sejak 700 tahun dari sekarang.
Bila umat Islam di dunia tidak mampu membentuk imam a'dhom, maka wajib bagi umat Islam di masing-masing negara mengangkat imam dalam konsepsi keadaan darurat, seperti Bung Karno misalnya, bisa dianggap sah sebagai pemegang kekuasaan negara sebagai walijjul amri.
Pandangan KH Wahab Hasbullah itu juga menjadi keputusan Muktamar NU di Banjarmasin bahwa Soekarno sah menjadi pemimpin RI sebagai "waliyyul amri ad-dharuri bisysyaukah". Artinya, syarat pemimpin yang ideal itu diturunkan menjadi syarat minimal realistis.
Syarat demikian juga dapat ditarik kesimpulan bahwa Gus Dur yang mempunyai kekurangan fisik pun sah menjadi presiden, karena syarat ideal, seperti dalam pandangan Imam Mawardi tidak memungkinkan. Dalam perkembangan yang tidak kaku seperti HTI, para ulama dalam bahtsul masail (pembahasan masalah) NU juga sudah menetapkan bahwa khilafah adalah ijtihadiyah dan NKRI adalah hasil kesepakatan yang final.
Tidak hanya logika otak-atik, jebakan logika juga banyak dilakukan para Khilafers. Misalnya, ketika mereka menyatakan Islam itu lebih baik daripada Pancasila. Itu jebakan logika yang tidak imbang, karena Islam itu agama, sedangkan Pancasila adalah ideologi. Kalau membandingkan agama secara imbang, maka Islam bisa dibandingkan dengan agama lain, sedangkan ideologi dengan ideologi.
Ulama yang ahli tafsir Al-Qur'an KH. Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) menggambarkan bahwa manusia sekarang mirip dengan umat Nabi Ibrahim, logika lebih dipercaya dari pada dalil.
Nah, redupnya gangguan terorisme di dunia nyata selama 2024, agaknya tidak serta merta mengubur gangguan ideologis hingga akhir tahun 2024 atau awal tahun 2025, karena ada saja yang mempersoalkan agama di negara yang bukan negara agama ini.
Paling tidak, gangguan intoleransi di negara berketuhanan ini masih ada dalam "permainan" logika di dunia maya, atau radikalisme digital, seperti yang dilakukan oleh sebagian pengikut HTI, meski logika ala mereka tidak berbasis "sanad" (rujukan keagamaan yang kuat), kecuali sekadar rasionalisasi.
Radikalisme/ateisme
Selain radikalisme digital yang cenderung "rasionalisasi" itu, di dunia nyata juga mulai ada gangguan ideologis berbentuk anti agama (ateisme) pada akhir 2024, seperti munculnya permohonan agar warga negara yang tidak beragama diakui di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (adminduk).
Tidak hanya adminduk, ada pula pemohon yang meminta MK agar menjadikan pendidikan agama sebagai mata pelajaran pilihan. Juga, pemohon lain yang menginginkan agar agama dan kepercayaan tidak menjadi salah satu syarat sahnya perkawinan, sesuai UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Terkait UU Adminduk, dua orang warga negara yang mengaku tidak memeluk agama dan kepercayaan tertentu, Raymond Kamil dan Teguh Sugiharto, mempersoalkan Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Adminduk. Pasal 61 ayat (1) berkaitan dengan kartu keluarga (KK), sedang Pasal 64 ayat (1) perihal kartu tanda penduduk (KTP), yang keduanya memuat kolom agama atau kepercayaan.
Ketua MK Suhartoyo dalam amar Putusan Nomor 146/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta (3/1/2025) menolak permohonan agar data kependudukan di KK dan KTP tidak mencantumkan kolom agama atau kepercayaan, karena konsep kebebasan beragama yang dianut konstitusi Indonesia bukan kebebasan tidak memeluk agama/kepercayaan, karena UUD 1945 membentuk karakter bangsa yang mengakui Tuhan Yang Maha Esa.
Mahkamah menilai, pembatasan agama/kepercayaan tersebut merupakan pembatasan yang proporsional dan tidak diterapkan secara opresif dan sewenang-wenang. Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan pertimbangan putusan menyampaikan tidak beragama atau tidak menganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat dinilai sebagai kebebasan beragama atau kebebasan menganut kepercayaan, karena hal itu diharapkan oleh Pancasila dan diamanatkan konstitusi.
Hal yang sama juga menjadi pertimbangan MK dalam menyikapi agama dan kepercayaan sebagai syarat sah perkawinan, karena agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan salah satu syarat sahnya perkawinan, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) itu tidak bertentangan dengan konstitusi.
Bagi MK, beragama dan berketuhanan merupakan suatu keniscayaan sebagai perwujudan karakter bangsa dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana diamanatkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, sehingga tidak adanya ruang bagi warga negara untuk memilih tidak beragama atau tidak memiliki kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu merupakan pembatasan yang proporsional dan bukan diskriminasi.
Dengan adanya norma Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, negara pun menyerahkan perkawinan kepada agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa karena syarat sah perkawinan ditentukan oleh hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Atas dasar itu, MK menolak permohonan Raymond dan Teguh yang dinilai tidak beralasan menurut hukum.
Untuk pendidikan agama, tujuan pendidikan adalah membentuk manusia beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Bagi Mendikdasmen Abdul Mu'ti, hal ini merupakan amanah UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia, sehingga pendidikan agama bukanlah mata pelajaran pilihan, karena merupakan konsekuensi penerimaan Pancasila sebagai ideologi.
Walhasil, radikalisme dan ateisme yang masuk di ruang digital agaknya menuntut perlunya kesalehan digital, karena dunia digital memiliki jebakan yang hanya bersifat rasionalisasi, padahal digitalisasi tanpa literasi hanya melahirkan kemajuan teknologi (robot), bukan kemajuan manusia yang berakhlak. Manusia yang saleh itu punya rujukan(sanad/dalil) dan tidak mudah terjebak logika palsu, seperti hoaks, hack, bullying, framing, scams, pishing, radikal digital, dan sebagainya.
Ken Setiawan, pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center, yang kini menjadi aktivis NU dapat dijadikan pijakan untuk menilai, yakni jika sebuah ajaran membuat pemeluknya menjadi lebih berakhlak mulia, maka ajaran itu sesuai dengan yang digariskan oleh Allah SWT. Sebaliknya, jika ajaran itu membuat pemeluknya melakukan tindakan kriminal, melawan rang tua, atau bertindak dengan kekerasan, maka ajaran tersebut keliru.
Radikalisme dan Atheisme Digital selama 2024
Oleh Edy M Yakub Kamis, 9 Januari 2025 14:51 WIB