BCC, Satu Jam Mengenal Bali
Jumat, 16 Maret 2012 10:32 WIB
Dari pantai ke pantai. Itulah kebiasaan wisatawan yang datang ke Bali. Panorama pantai yang dinikmati antara lain Pantai Sanur, Pantai Kuta, Tanah Lot, Nusa Dua, dan wisata pantai lainnya. Ada panorama matahari terbit, matahari tenggelam, deburan ombak, jagung bakar, dan sebagainya.
Ada pula Pelabuhan Benoa yang merupakan tempat merapat dari kapal pesiar para wisatawan mancanegara, di antaranya dari Australia, Singapura, dan sebagainya. "Dalam lima tahun terakhir, ada tren kunjungan kapal pesiar ke Benoa meningkat terus," ujar GM Pelindo III Benoa, Iwan Sabatini.
Bagaimana untuk mengenal budaya orang Bali ? Tidak cukup waktu sehari untuk itu. Misalnya, untuk menikmati tradisi Nyepi, maka wisatawan harus datang ke Bali dalam beberapa hari, apalagi kalau mengikuti rangkaian tradisi Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Saraswati hingga pembakaran mayat (Ngaben) maupun Nyepi.
Namun, di Banjar/Desa Nyuhkuning, Ubud, Gianyar, Bali, ada sebuah lokasi wisata yang disebut dengan "Bali Classic Center" atau BCC. Di Ubud itulah, artis dunia, Julia Robert, pernah syuting film "Eat, Pray, Love" dengan aura desa yang kental.
BCC dibangun seorang pengusaha Bali, Pande Ketut Krisna alias Pande Galuh, mulai tahun 1997 hingga 2005 atau membutuhkan waktu tujuh tahunan, karena BCC dibangun seluas 6 hektare. Disebut klasik, karena arsitektur dan penataan bangunan beratapkan alang-alang dan berukiran emas/perada nan unik.
"BCC dibuka untuk umum mulai 9 September 2005. Tujuannya, mengenalkan tradisi budaya, tradisi ritual keagamaan, dan tradisi keseharian masyarakat Bali. Saya tidak tahu berapa biaya pembangunannya, tapi gapura dan pendopo utama saja dibangun dengan biaya Rp1 miliar," ucap staf pemasaran (marketing) BCC, Agung Ngurah Bendesa.
Di pintu gerbang BCC, wisatawan yang datang langsung disambut dengan iring-iringan orang Bali ala tradisi Melasti menuju wantilan (ruang lobi). Itu tradisi membersihkan diri dari pengaruh luar. "Kayak pejabat saja, kita datang disambut begitu," tutur Malik, warga Malang, Jawa Timur.
Setelah iring-iringan penyambutan ala Melasti, para wisatawan langsung melintasi gapura untuk masuk pendopo. Di pendopo, mereka beristirahat sambil menikmati tarian "Sekar Jagat" dari dua perempuan Bali. Di akhir tarian, pengunjung bisa berfoto bersama dua penari, atau membeli cenderamata khas Bali.
Dari pendopo, wisatawan keluar ke sisi kanan pendopo untuk melihat lokasi arca dari sembilan dewa, namun sebelum pengenalan para dewa itu, kedatangan wisatawan disambut tarian "Ngelawang Barong Bangkal". Barong Bangkal adalah barong babi hutan.
Tarian itu banyak disukai anak-anak, karena itu setelah tarian usai, anak-anak pun berebut menaruh uang di mulut barong bangkal itu sebagai tanda terima kasih kepada penarinya. Ada yang memberi Rp1.000, Rp2.000, Rp5.000, dan ada pula yang lebih dari itu.
Setelah itu, para wisatawan disambut tabuhan gamelan untuk melihat prosesi pembuatan "Ogoh-ogoh" (boneka raksasa dengan bentuk menyeramkan) menjelang Nyepi, lalu pemandu wisata mengenalkan nama dan peran/fungsi dari sembilan dewa (Dewa Nawa Sanga).
Para dewa yang berposisi pada seantero penjuru mata angin itu antara lain adalah Dewa Brahma dengan istrinya Dewi Sri, Dewa Syiwa dengan istrinya Dewi Durga, Dewa Wisnu, dan sebagainya.
Dari pengenalan ritual itu, pengunjung diajak ke lokasi paling belakang dari BCC. Di sana, ada sejumlah tradisi keseharian masyarakat Bali, di antaranya demonstrasi pembuatan canangsari atau wadah untuk sesaji bagi para dewa.
"Sesaji itu bisa terdiri dari biskuit, bunga, daun kinang, kapur, dan sebagainya, tapi tidak bisa disebut canangsari bila tidak ada daun kinang yang dibentuk dengan personifikasi tiga dewa yakni Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Syiwa," ungkap pemandu wisata lainnya di BCC, Gusti Adiyatmika.
"Melek" Bali
Di sebelah proses pembuatan sesaji itu, ada empat seniman yang memainkan musik dan wayang khas Bali yang disebut Wayang Lemah. Lakon dalam wayang itu menggunakan bahasa campuran, Bahasa Bali dan Bahasa Indonesia.
Di sebelahnya lagi, ada tradisi menumbuk beras secara tradisional dengan Lesung dan Lumbung Padi, lalu ada proses pembuatan minyak goreng tradisional dari kelapa.
"Dapur orang Bali memang ada di belakang sisi selatan, karena posisi Dewa Brahma dan istrinya Dewi Sri memang ada di selatan," papar pemandu wisata, Gusti Adiyatmika.
Setelah itu, para pengunjung BCC diajak ke panggung pertunjukan. Di atas panggung itu disajikan tarian Topeng Lucu, Barong Singa, dan Topeng Tua yang semuanya dimainkan penari pria, lalu diakhiri dengan satu tarian "Joged Bumbung" yang dimainkan penari perempuan.
Yang menarik, penari Topeng Lucu datang mendekati pengunjung BCC, terutama anak-anak. Penari Topeng Lucu dengan muka ceria, pipi tembem, mata melotot, dan mulut mirip huruf O itu pun menyalami anak-anak hingga ada sebagian anak-anak yang menangis ketakutan, tapi sebagian lainnya merasa senang.
Ketika pemuda yang menari Topeng Lucu itu kembali ke balik panggung, maka tampil dua pemuda dengan tarian Barong Singa, lalu ada pula tarian Topeng Tua. Topeng dengan muka orang yang berusia lanjut berambut putih itu justru membuat anak-anak tidak takut lagi, bahkan sebagian anak-anak pun mendekati penari Topeng Tua itu dengan mendekati panggung pementasan.
Tarian diakhiri dengan dua perempuan yang menyajikan tarian "Joged Bumbung". Kedua penari perempuan itu mendekati pengunjung dewasa, baik perempuan maupun laki-laki untuk diajak menari ke panggung pementasan atau joged bersama, lalu serangkaian kegiatan di BCC pun berakhir.
"Sangat menarik. BCC mengajak kami 'melek' Bali, walau kami datang dengan waktu yang tidak banyak, tapi kami sudah mengenal tarian masyarakat Bali, ritual masyarakat Bali, termasuk para dewa mereka dan sesaji (banten) yang biasa dipersembahkan kepada para dewa," tukas Syaiful Bahri, warga Madura, Jatim.
Namun, bapak dari tiga anak itu menyarankan sajian BCC dibuat lebih padat lagi agar tidak ada waktu luang yang terbuang percuma. "Kalau bisa tarian ditambah di sela-sela waktu luang, terutama dengan tarian tradisional yang khas dalam ritual masyarakat Bali," timpalnya.
Pujian juga datang dari Fiqih, warga Bulakbanteng, Surabaya. "Cara mengemas budaya yang pintar, karena kita bisa mengenal keunggulan Bali hanya dari BCC, mulai dari tarian, budaya, hingga kehidupan sehari-hari. Mungkin Surabaya bisa meniru," tukasnya.
Apalagi, katanya, tarifnya juga sangat murah untuk sajian yang sangat lengkap guna mengenal budaya, ritual, dan kehidupan orang Bali. "Untung ada pengusaha yang secara pribadi sangat peduli kepada tradisi dan kehidupan masyarakat Bali," tegasnya.
Ungkapan senada juga dikemukakan Ira, warga Jember. "BCC itu cocok untuk kita yang hanya 2-3 hari berada di Bali, karena kalau kita mau mengenal kehidupan sehari-hari, budaya, dan ritual orang Bali itu seharusnya kita tinggal berhari-hari atau bahkan menetap selama beberapa bulan di Bali," tandasnya.
Namun, BCC mengenalkan pada tradisi keseharian, ritual keagamaan, dan budaya orang Bali hanya dalam satu jam, sehingga orang Bali sendiri menyebutnya sebagai "Bali Mini".
"Ya, hanya satu jam, tapi kita sudah bisa mengenal Bali secara lengkap, kendati kita membutuhkan waktu sekitar 45 menit dari Denpasar ke BCC. Tradisi Bali mengajarkan kepada kita tentang hidup sederhana dan hidup mementingkan Dewa (Tuhan)," kilah ibu dari dua anak itu. (*)