"Jangan mati sebelum ke Banda Neira,” ungkapan Sutan Sjahrir ini patut diamini. Keindahan alam Banda Neira memang tidak disangsikan lagi.
Tatkala kapal bersandar di pelabuhan, pandangan mata langsung disambut oleh keagungan Gunung Api Banda dan bentangan Benteng Belgica peninggalan Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC.
Berjalan sekitar 100 meter dari pelabuhan, sebuah grafiti terpampang di tembok deretan rumah lawas bergaya arsitektur kolonial.
Grafiti itu menampilkan potret lukisan empat tokoh, yakni Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Des Alwi, dan Hamadi B. Husain.
Seolah menjadi pengingat bagi setiap pelancong bahwa di balik keindahan alam dan kekayaan rempahnya, Banda Neira punya sejarah panjang sebagai tempat perlawanan terhadap kolonialisme dan perjuangan intelektual.
Dari pulau rempah ke jejak pengasingan
Pada masa pendudukan VOC, Banda Neira sempat menjadi magnet bagi perdagangan rempah dunia.
Kepulauan seluas 55,3 kilometer persegi itu dikenal sebagai penghasil utama pala dan cengkih.
Bahkan sampai saat ini, tradisi maritim dan agrikultur pun diwariskan secara turun-temurun oleh penduduk yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan dan petani.
Namun, bukan hanya itu yang menarik wisatawan ke Banda Neira. Pulau Banda Neira menjadi destinasi bagi mereka yang ingin menelusuri jejak sejarah Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir.
Pada 1936 sampai dengan 1942, Banda Neira menjadi lokasi pembuangan bagi mereka yang dianggap membangkang terhadap pemerintahan Hindia Belanda.
Cukup terisolasi oleh laut Banda, menjadikannya tempat ideal untuk menjauhkan dari pusat pergerakan nasional. Namun bagi Hatta dan Sjahrir, Banda Neira bukan berarti keterasingan dari perjuangan.
Justru mereka menggunakan masa pembuangannya untuk memperdalam pemikiran tentang kemerdekaan.
Saat mengunjungi rumah pengasingan Hatta yang terletak di Jl. Dr. Rehatta, Banda Neira, suasana masa lalu masih terasa.
Rumah yang berdiri di atas lahan seluas 660 meter persegi ini memiliki tiga bangunan utama.
Saat masuk ke ruang tamu, terdapat lemari etalase antik yang menyimpan berbagai barang milik Bung Hatta seperti peci, kacamata, hingga buku-buku yang pernah menemaninya.
Di ruangan lain, mesin ketik atau mesin "tik" tua masih kokoh menempati meja kerja Hatta, menjadi saksi bisu tempat di mana ia menuangkan pemikirannya tentang konsep-konsep ekonomi untuk Indonesia.
Mesin tik itu pula yang digunakannya untuk menulis berbagai artikel yang kerap diterbitkan koran Sin Tit Po, sekaligus menjadi sumber penghasilannya selama masa pengasingan.
Salah satu pengurus rumah pengasingan Hatta, Kipli (29), mengatakan bahwa semua barang itu asli milik sang proklamator, sengaja disimpan dan dirawat sebagai memorabilia.
"Penataan ruangan, furnitur dalam rumah masih autentik dipertahankan seperti saat ditinggali Bung Hatta dulu," ujarnya.
Mendidik anak bangsa melalui sekolah sore
Di luar kesibukan intelektual, Hatta bersama Sjahrir mendirikan sekolah sore bagi anak-anak Banda Neira.
Di halaman belakang rumah pengasingan Hatta, terdapat tujuh pasang meja dan bangku tua serta satu papan tulis yang menjadi tempat mereka berdua mengajar anak-anak.
Bahkan di papan tulis itu, masih terpampang tulisan kapur “Sedjarah perdjoengan Indonesia setelah Soempah Pemoeda di Batavia pada tahoen 1928”.
Syahdan, tak jauh dari rumah Hatta, berdiri rumah pengasingan Sutan Sjahrir di Jalan Said Tjong Baadillah, samping Rumah Budaya Banda.
Rumah bergaya arsitektur Eropa itu terdiri atas bangunan utama di depan dan bangunan di belakang. Pada bangunan utama terdapat lima ruangan dan dua teras.
Di ruang tengah, terdapat gramofon tua milik Sjahrir masih tersimpan, memberikan gambaran bagaimana Bung Kecil itu menghabiskan waktu luangnya dengan mendengarkan musik-musik klasik gubahan Mozart, Beethoven, sampai Brahms.
Saat ini, bangunan belakang itu ditinggali oleh satu keluarga. Salah seorang penghuni rumah mengatakan mereka sudah lama menempati bangunan dan menggunakan dua ruangan belakang.
Mereka tinggal di rumah itu sembari merawat dan menjadi pemandu apabila ada wisatawan yang berkunjung.
Enam tahun pengasingan dan renungan perjuangan
Sama seperti Hatta, Sjahrir yang kelak menjadi diplomat sekaligus Perdana Menteri pertama Indonesia memanfaatkan waktunya di pengasingan untuk mengasah pemikirannya tentang politik, perjuangan pendidikan, hingga demokrasi bagi Indonesia.
Dalam bukunya Renungan dan Perjuangan, Sjahrir mengkritik otoritarianisme dan penekanan terhadap kebebasan individu.
Ia menuliskan gagasan mengenai pentingnya mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dalam politik. Karya ini termasuk salah satu yang lahir melalui renungannya selama di pengasingan Banda Neira.
Karya-karya itu menunjukkan bahwa kendati diasingkan, Sjahrir dan Hatta tidak pernah benar-benar terputus dari perjuangan.
Mereka terus menelurkan ide, menulis, serta mengajar anak-anak bangsa. Bahkan, terus berkomunikasi dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional lain lewat surat.
Di tengah kesunyian pulau yang jauh dari hiruk-pikuk politik di Jawa, kedua tokoh itu merumuskan gagasan-gagasan besar yang kelak menjadi fondasi bangsa yang merdeka.
Banda Neira, yang awalnya ditujukan sebagai "penjara" untuk memadamkan semangat kemerdekaan, justru berubah menjadi tempat di mana pemikiran-pemikiran besar tentang bangsa dibentuk.
Pulau ini, dengan segala kesederhanaannya, memberikan ruang bagi Hatta dan Sjahrir untuk merumuskan konsep tentang kemerdekaan, nasionalisme, dan keadilan sosial.
Editor: Achmad Zaenal M