Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, indikasi pelemahan daya beli masyarakat perlu mengkaji berbagai indikator.
"Indikator daya beli masyarakat kita harus lihat banyak hal," kata Sri Mulyani di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat.
Salah satu indikator yang sering digunakan adalah Indeks Keyakinan Konsumen (IKK). Menurut dia, selama tidak ada koreksi yang tajam, maka aktivitas perekonomian masih cukup konstan dan stabil.
Adapun berdasarkan data Bank Indonesia (BI), IKK Agustus 2024 tercatat sebesar 124,4, lebih tinggi dibandingkan 123,4 pada bulan sebelumnya. Peningkatan IKK didukung oleh Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) yang tetap optimis dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang menguat, masing-masing 114,0 dan 134,9.
Baca juga: Sri Mulyani yakin pertumbuhan ekonomi kuartal III di atas 5 persen
Lebih lanjut, soal pergeseran kelas menengah, menurutnya pergeseran kelas itu tidak hanya terjadi pada satu kelompok.
Meski kelas menengah mengalami penurunan jumlah hingga mencapai 9,48 juta orang, namun kelompok miskin juga mencatatkan penurunan. Sementara kelas rentan miskin menunjukkan peningkatan.
"Jadi, kami melihat ada dua indikator, yang miskin naik, tapi yang kelas menengah turun. Penurunan kelas menengah biasanya karena inflasi. Dengan inflasi tinggi, maka garis kemiskinan naik, dan mereka tiba-tiba jatuh ke bawah," kata Menkeu.
Kendati begitu, Sri Mulyani memastikan pihaknya tetap mendengarkan aspirasi masyarakat, misalnya soal pemutusan hubungan kerja (PHK).
Terkait hal itu, dia menyebut akan mencari peluang serapan tenaga kerja. Sebagai contoh, banyak dana aliran masuk asing (foreign direct investment/FDI) pada sektor hilirisasi dan sektor teknologi terus bertumbuh. Maka, kedua sektor ini bisa didorong untuk menciptakan banyak lowongan pekerjaan.
"Kita akan terus memperhatikan agar masyarakat yang paling rentan mendapat dukungan, apakah itu dalam bentuk bantuan sosial atau pelatihan. Di sisi lain, bisa memperbaiki iklim investasi sehingga muncul lapangan kerja baru," tuturnya.
Kekhawatiran mengenai pelemahan daya beli masyarakat makin menguat usai perekonomian nasional mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut.
Namun, pemerintah menyatakan deflasi tidak berkaitan dengan daya beli.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menjelaskan, deflasi terjadi pada komponen harga bergejolak (volatile food). Sementara pelemahan daya beli seharusnya terefleksi pada komponen inflasi inti (core inflation), yang hingga September 2024 masih mencatatkan inflasi.
Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menyatakan angka deflasi yang diperoleh BPS mengacu pada Indeks Harga Konsumen (IHK), di mana faktor yang memengaruhi adalah biaya produksi hingga kondisi suplai.
Untuk itu, BPS tidak mengaitkan data deflasi dengan dugaan penurunan daya beli masyarakat.
“Untuk mengambil kesimpulan apakah ini menunjukkan indikasi daya beli masyarakat menurun, harus ada studi lebih lanjut. Karena daya beli itu tidak bisa hanya dimonitor dari angka inflasi atau deflasi,” ujarnya.
Baca juga: Sri Mulyani yakin pertumbuhan ekonomi kuartal III di atas 5 persen
Lebih lanjut, soal pergeseran kelas menengah, menurutnya pergeseran kelas itu tidak hanya terjadi pada satu kelompok.
Meski kelas menengah mengalami penurunan jumlah hingga mencapai 9,48 juta orang, namun kelompok miskin juga mencatatkan penurunan. Sementara kelas rentan miskin menunjukkan peningkatan.
"Jadi, kami melihat ada dua indikator, yang miskin naik, tapi yang kelas menengah turun. Penurunan kelas menengah biasanya karena inflasi. Dengan inflasi tinggi, maka garis kemiskinan naik, dan mereka tiba-tiba jatuh ke bawah," kata Menkeu.
Kendati begitu, Sri Mulyani memastikan pihaknya tetap mendengarkan aspirasi masyarakat, misalnya soal pemutusan hubungan kerja (PHK).
Terkait hal itu, dia menyebut akan mencari peluang serapan tenaga kerja. Sebagai contoh, banyak dana aliran masuk asing (foreign direct investment/FDI) pada sektor hilirisasi dan sektor teknologi terus bertumbuh. Maka, kedua sektor ini bisa didorong untuk menciptakan banyak lowongan pekerjaan.
"Kita akan terus memperhatikan agar masyarakat yang paling rentan mendapat dukungan, apakah itu dalam bentuk bantuan sosial atau pelatihan. Di sisi lain, bisa memperbaiki iklim investasi sehingga muncul lapangan kerja baru," tuturnya.
Kekhawatiran mengenai pelemahan daya beli masyarakat makin menguat usai perekonomian nasional mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut.
Namun, pemerintah menyatakan deflasi tidak berkaitan dengan daya beli.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menjelaskan, deflasi terjadi pada komponen harga bergejolak (volatile food). Sementara pelemahan daya beli seharusnya terefleksi pada komponen inflasi inti (core inflation), yang hingga September 2024 masih mencatatkan inflasi.
Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menyatakan angka deflasi yang diperoleh BPS mengacu pada Indeks Harga Konsumen (IHK), di mana faktor yang memengaruhi adalah biaya produksi hingga kondisi suplai.
Untuk itu, BPS tidak mengaitkan data deflasi dengan dugaan penurunan daya beli masyarakat.
“Untuk mengambil kesimpulan apakah ini menunjukkan indikasi daya beli masyarakat menurun, harus ada studi lebih lanjut. Karena daya beli itu tidak bisa hanya dimonitor dari angka inflasi atau deflasi,” ujarnya.