Oleh Slamet Agus Sudarmojo
Bojonegoro - Pengendalian banjir luapan Bengawan Solo di daerah hilir Jatim, mulai Bojonegoro, Tuban, Lamongan hingga Gresik, mencapai klimaksnya. Waduk Jipang, di perbatasan Jatim dan Jateng yang selama ini dianggap paling sangkil mengendalikan banjir luapan sungai terpanjang di Jawa itu, semakin tidak jelas.
Padahal, dengan merealisasikan Waduk Jipang, permasalahan banjir di daerah hilir Jatim yang rutin terjadi setiap tahun, besar kemungkinan bisa dihilangkan. Tidak hanya itu, keberadaan Waduk Jipang yang mampu menampung air 930 juta meter kubik, juga bermanfaat mengatasi kekeringan di daerah hilir Jatim.
Namun, dengan memperhitungkan beratnya masalah sosial, Pemerintah terpaksa menenggelamkan konsep pembangunan megaproyek Waduk Jipang yang diperkirakan pembangunannya menelan dana Rp10 triliun. Di antaranya, merealisasikan Waduk Jipang harus memindahkan sekitar 120 ribu jiwa warga di daerah Jateng dan Jatim, belum termasuk menyangkut masalah teknik pembangunan waduk.
Jadi yang realistis sekarang ini, mempersiapkan warga sekitar hilir sungai terpanjang di Pulau Jawa tersebut (lebih dari 600 Km), untuk selalu siap menerima dan menghadapi banjir akibat meluapnya Bengawan Solo.
"Bekerja sama dengan Palang Merah Norwegia, kami melakukan pelatihan warga di daerah banjir di Bojonegoro. Sebab, banjir luapan Bengawan Solo masih akan terus terjadi," kata Sekretaris PMI Cabang Bojonegoro, Sukoha Widodo, dalam perbincangan dengan ANTARA.
Dalam tahap awal, sebagaimana diungkapkan dia, warga yang mendapatkan pelatihan dalam menghadapi banjir Bengawan Solo yaitu warga Desa Sarirejo, Mulyorejo dan Pilanggede, Kecamatan Balen, yang lokasinya berada di tepian Bengawan Solo tak bertanggul.
Warga di tiga desa itu, lanjutnya, selalu paling awal terkena banjir luapan Bengawan Solo, dibandingkan dengan desa lainnya di Bojonegoro. Tidak hanya itu, tim penanggulangan bencana banjir di Bojonegoro, juga sering lupa memberikan bantuan warga di tiga desa itu, karena lokasinya sulit dijangkau dari jalan raya.
"Kalau terjadi banjir, warga di desa kami menganggur. Pekerjaannya, hanya makan dan tidur selama banjir terjadi, yang biasanya bisa berulang beberapa kali," ungkap Kepala Desa Sarirejo, Kecamatan Balen, Niti Suparlan.
Pelatihan, sebagaimana diungkapkan Sukoha widodo, dilakukan dengan mengerahkan 30 relawan yang terjun langsung di tiga desa itu. Relawan tersebut, akan bekerja selama dua tahun, ikut mendampingi warga di tiga desa itu dalam mempersiapkan diri sebelum banjir, ketika banjir dan setelah banjir.
Persiapan yang dilakukan, mulai menyangkut lokasi pengungsian, dan pekerjaan yang bisa dikerjakan warga selama banjir. Direncanakan, konsep tersebut akan dikembangkan di daerah lainnya, di Bojonegoro yang warganya juga selalu rutin dilanda banjir Bengawan Solo, sehingga bisa menjadi salah satu bagian dari konsep "living harmony with flood" atau hidup harmonis dengan banjir.
"Intinya warga tidak usah bingung dalam menghadapi banjir dan masih bisa tetap bekerja sebagaimana biasanya," ucapnya, menegaskan.
Selalu terjadi
Bengawan Solo yang berhulu di Jateng, dan sepanjang 300 kilometer di antaranya berada di daerah hilir Jatim, selalu menimbulkan permasalahan banjir setiap musim hujan. Berdasarkan data teknis, debit banjir yang terjadi di daerah hilir besarnya bisa mencapai lebih dari 3.000 meter kubik/detik, sementara "bank full capacity" (palung sungai) Bengawan Solo di daerah hilir, hanya berkisar 900-1.200 meter kubik/detik.
Akibatnya, luapan Bengawan Solo yang debitnya bisa mencapai 2.000 meter kubik/detik, meluber merendam areal pertanian, pemukiman warga, juga prasarana dan sarana umum di Bojonegoro, Tuban, Lamongan dan Gresik. Data di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bojonegoro, banjir awal Februari 2009, ketinggian air di Bojonegoro berkisar 15 meter (siaga III), genangan banjir merendam 116 desa yang tersebar di 15 kecamatan.
Jumlah warga terdampak, tercatat 10.239 KK (40.298 jiwa), di antaranya 1.331 jiwa terpaksa harus mengungsi. Ini belum termasuk warga korban banjir di Tuban, Lamongan dan Gesik.
Bahkan, banjir dengan skala besar yang pernah terjadi pada awal 2008, dengan ketinggian air pada papan duga di Bojonegoro mencapai 16,26 meter, mengakibatkan kawasan wilayah perkotaan juga ikut terendam air banjir hingga mencapai 75 persen lebih, dan tercatat sekitar 200 ribu jiwa warga di Bojonegoro mengungsi.
Di daerah hilir Jatim, sebagaimana dituturkan Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah bengawan Solo di Bojonegoro, Agus Bachtiar, pengendalian banjir luapan Bengawan Solo mengandalkan sudetan di Plangwot, Lamongan, menuju Laut Jawa yang mampu memotong puncak banjir sebesar 640 meter kubik/detik.
"Satu-satunya sarana pengendali banjir yang mampu meredam banjir luapan Bengawan Solo," paparnya, menjelaskan.
Selain itu, pengendali banjir luapan Bengawan Solo lainnya yang menjadi tumpuan yaitu tanggul kanan dan kiri Bengawan Solo yang sudah ada, yang sudah terbangun di daerah hilir Jatim.
Di antaranya yang terbaru, tanggul kanan Bengawan Solo di Kecamatan Kanor, Bojonegoro, yang dibangun Balai Besar Bengawan Solo di Solo, Jateng, sepanjang 4,6 kilometer, pada 2010, dan direncanakan pembangunan tanggul dilanjutkan hingga sepanjang 17 kilometer.
Lebih lanjut ia menjelaskan, kondisi sudetan di Plangwot tersebut, sekarang ini, cukup bagus mampu berfungsi optimal mengalirkan debit banjir Bengawan Solo sebesar 640 meter kubik/detik. Hanya saja, dalam mengoperasionalkan sudetan sepanjang 13,6 kilometer itu, tetap melalui standar operasional.
Menurut dia, pintu masuknya air ke arah sudetan, dibuka kalau ketinggian air banjir di pos pantau Laren, Lamongan, airnya setinggi empat meter. Sebaliknya, kalau ketinggian air Bengawan Solo dibawah empat meter, pintu sudetan ditutup, dan air tetap mengalir melalui sungai utama ke arah laut.
Keberadaan sudetan, jelasnya, sangat penting, karena mampu meredam dan mempercepat proses surutnya air banjir di daerah hilir Jatim. Sebab, dengan debit banjir yang besarnya mencapai 3.000 meter kubik/detik lebih, bisa dipotong di alihkan melalui sudetan, sebesar 640 meter kubik/detik.
Sebelum itu, katanya, banjir yang terjadi di Bojonegoro, Tuban dan sekitarnya, bisa berlangsung selama sepekan. Setelah dibangun sudetan pada tahun 2.000, genangan banjir yang terjadi bisa berkurang hanya tiga hari. Namun, lanjutnya, kalau sudetan tidak berfungsi optimal atau tidak berfungsi sama sekali, akibat terganggu sedimen, banjir yang terjadi bisa berlarut-larut.
Tampungan Abadi
Di lain pihak, Asisten III Menteri PU, yang pernah menjabat sebagai Kepala Balai Besar Bengawan Solo di Solo, Graita Soetadi, menyampaikan gambaran konsep umum penanggulangan bencana banjir Bengawan Solo di daerah hilir Jatim, bukan dengan cara menghilangkan banjir.
Akan tetapi, katanya, dengan tetap mengikuti alur banjir, dengan membuat tampungan air banjir abadi, selain membangun tempat pengungsian, juga merealisasikan berbagai program pengendalian banjir lainnya."Warga yang berada di lokasi tampungan air banjir abadi dipindahkan," jelasnya.
Pemkab di daerah yang daerahnya selalu menjadi langganan banjir, melarang tampungan air banjir abadi tersebut dimanfaatkan kembali sebagai pemukiman warga.
"Warga masih tetap bisa memanfaatkan tanah itu kembali untuk pertanian, ketika tidak terjadi banjir," tuturnya, mengambarkan.
Konsep itu, katanya, bisa dilakukan, karena beratnya merealisasikan pembangunan Waduk Jipang yang pernah diangkat ke permukaan kembali setelah terjadi banjir besar di awal 2008 yang melanda daerah hulu Jateng dan hilir Jatim.
"Pemerintah kurang 'greget' merelealiasikan pembangunan Waduk Jipang," ucapnya.
Berdasarkan rencana Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo, program penangulangan banjir Bengawan Solo dalam jangka menengah sejak 2009-2014, yaitu di antaranya pembangunan tanggul kiri dan rehabilitasi tanggul sepanjang 38 kilometer mulai Rengel, Tuban hingga Centini, Lamongan, dan tanggul kanan sepanjang 23 kilometer di Gresik.
Selain itu, juga pembangunan tanggul dan parapet (pelesengan) sepanjang 12 kilometer di Kota Cepu, Blora, Jateng. Lainnya, pembangunan tanggul kanan sepanjang 50 kilometer mulai Bojonegoro, hingga Babat, Lamongan, dan meneruskan pembangunan tanggul kanan di Kecamatan Kanor, sepanjang 6 kilometer dan pembangunan tanggul sepanjang 10 kilometer di Kali Lamong, Gresik.
Program yang sedang berjalan yaitu pembangunan Waduk Rawa Jabung di Tuban dan Lamongan, yang berfungsi menampung air banjir luapan Bengawan Solo."Di dalam program itu, juga adanya lokasi rencana pembangunan lokasi gedung pengungsi di Bojonegoro dan Tuban," tutur Graita, menambahkan.
Merunut konsep hidup harmonis bersama banjir, Pemkab Bojonegoro mulai merintis pembangunan lokasi pengungsi korban banjir Bengawan Solo. Hanya saja, sebagaimana diungkapkan Kepala Administrasi Perlengkapan Pemkab Bojonegoro, Nuzulul Hudaya, sudah disediakan tanah yang akan dimanfaatkan lokasi gedung pengungsi di Desa Trucuk, Kecamatan Trucuk, seluas 1,8 hektare.
"Tanah sudah tersedia di utara Bengawan Solo, hanya kapan dibangun belum ada kejalasan," katanya.
Ia mengatakan, pemilihan lokasi tanah di utara Bengawan Solo yang dibeli dengan harga Rp800 juta dari APBD itu, dengan pertimbangan jumlah korban banjir Bengawan Solo di wilayah utara lebih banyak dibandingkan dengan warga di wilayah selatan Bengawan Solo.
"Harapan kami, pembangunan gedung bisa dilaksanakan secepatnya," ucapnya, berharap.
Menurut dia, pembangunan gedung lokasi pengungsi tersebut, ditangani oleh Pemerintah Pusat lewat Balai Besar Bengawan Solo di Solo. Pemkab, hanya menyediakan tanah yang akan dimanfaatkan untuk lokasi gedung tempat pengungsian itu.
Berdasarkan rencana awal, sebagaimana diungkapkan Bupati Bojonegoro Suyoto, gedung dilengkapi dapur umum, wc umum dan berbagai keperluan pengungsi lainnya, seperti pusat belanja."Kalau musim kemarau, gedung bisa dimanfaatkan untuk keperluan hajatan warga," paparnya.
Suyoto menambahkan, gagasan pembangunan gedung lokasi pengungsi tersebut, dengan pertimbangan masyarakat korban banjir Bengawan Solo, harus bisa hidup berdampingan dengan bencana banjir, tanpa terganggu aktivitasnya.
"Pembangunan gedung lokasi pengungsi merupakan salah satu penanganan korban banjir Bengawan Solo, disamping program pengendalian banjir Bengawan Solo lainnya," katanya, menjelaskan.(blok_cepu2007@yahoo.co.id)
Warga Hilir Bengawan Solo Harmonis dengan Banjir
Rabu, 11 Januari 2012 11:56 WIB
