Kisah Pilu Franky dan Nayif Kecil (2) Oleh Asmaul Chusna Memancing Datang Posyandu dengan Arisan Kediri - Berbagai trik dilakukan para kader posyandu. Tak lain guna menarik perhatian ibu-ibu yang mempunyai anak balita datang ke posyandu. Salah satunya arisan. Umi Solikah (32), salah seorang kader posyandu asal Desa Ponggok, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri, menuturkan nominal arisan tidak lah terlalu besar, hanya Rp5.000 tiap kali datang. Ini rupanya menjadi trik positif dan terbukti manjur. "Yang penting ibu-ibu mau datang," ucapnya. Dari arisan itu, biasanya akan disisakan kas untuk keperluan posyandu, sekitar Rp10.000 sampai Rp15.000 per bulan. Namun, tingginya jumlah anak yang didampingi membuat ia dengan rekan-rekan lainnya mencari trik menambah kas. Terlebih lagi, anggaran yang diberikan oleh desa pun, tidak setiap bulan diterima dan harus bergiliran dengan posyandu lainnya. Tidak jarang, ia dengan kader – kader lainnya, terpaksa iuran menutup keperluan posyandu. Biasanya, uang itu diberikan makanan bergizi seperti roti atau dibuatkan kolak kacang hijau. Umi menyebut, kehadiran ibu-ibu yang mempunyai anak usia balita membuatnya senang. Ia tidak peduli dan ikhlas jika harus mengeluarkan uang untuk keperluan itu. Walaupun lebih sering menggunakan uang pribadi daripada kas, ia bangga. "Kerja jadi kader itu harus ikhlas," tukasnya. Umi mengaku sedih jika banyak ibu yang punya anak usia balita lebih bekerja. Padahal, anak-anak mereka butuh perhatian dari petugas posyandu. Namun, ia maklum, hal itu terjadi di desanya. Banyak para ibu kerja mencari rumput di ladang. Membantu memenuhi ekonomi keluarga jadi alasan utama mereka. Jika kondisi seperti itu, biasanya anak-anak mereka usia balita ditinggal di rumah bersama neneknya. Kepala Desa Ponggok, Yamto mengatakan, bantuan dari pemerintah berupa alokasi dana desa (ADD) hanya sekitar Rp76 juta per tahun. Nominal ini selain untuk operasional di kantor desa, juga untuk keperluan lain. Pihaknya mengaku belum bisa mengalokasikan anggaran khusus untuk pemberian bantuan pada posyandu, karena anggaran terbatas. Namun, ia tetap memberi kebijakan pemberian insentif kepada para posyandu dengan nominal terbatas, Rp30 ribu sebulan. Kepala Bidang Promosi Kesehatan dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri, Jopie menampik kurang memperhatikan kesejahteraan para kader posyandu, termasuk pemberian program makanan tambahan, hingga mereka terpaksa iuran. Untuk kesejahteraan, pihaknya tetap mengalokasikan pemberian honor dari APBD, walaupun dengan nominal terbatas. Total anggaran yang disiapkan untuk honor pada APBD 2011 ini adalah Rp1,2 miliar. Setiap kader diberikan honor Rp10.000 per bulan yang dirapel selama tiga bulan. Anggaran itu diberikan lewat bidan desa setempat. Jumlah kader posyandu di kabupaten cukup besar mencapai 8.610 kader dengan jumlah posyandu mencapai 1.722 yang tersebar di 344 desa di wilayah kabupaten. Jopie mengaku anggaran untuk para kader itu memang sangat sedikit. Namun, pihaknya juga harus memperhatikan karena anggaran daerah juga terbatas. "APBD juga terbatas, tapi, kami tetap perhatian para kader," ujarnya. Sementara itu, untuk penanganan ibu maupun bayi yang meninggal ketika proses kelahiran, Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri juga sudah bekerja sama dengan para dukun. Hal itu penting, mengingat tidak semua bidan bisa langsung menjangkau rumah pasien ketika dibutuhkan. Selain memberi pelatihan kepada 176 dukun bayi di kabupaten yang sudah dijadikan mitra atau bekerja sama dengan bidan terutama untuk penanganan proses melahirkan, pemerintah juga membatasi ruang gerak mereka, di mana tidak diperbolehkan untuk membantu proses melahirkan, kecualai bayi yang sudah terlanjur keluar sebelum ditolong bidan. Capaian realisasi hingga semester pertama 2011 yang terkait dengan gizi di kabupaten ternyata belum maksimal. Bahkan, ada sejumlah program yang anggarannya belum digunakan sama sekali pada. Program peningkatan kerja sama dan pengembangan posyandu misalnya, pada APBD 2011 dialokasikan anggaran Rp1,2 miliar dan hanya terserap Rp294 juta. Program perbaikan gizi masyarakat dari anggaran Rp194 juta hanya terealisasi Rp9,7 juta. Bahkan, untuk program pemberian makanan tambahan Rp96 juta ternyata tidak terealisasi sama sekali, penanggulangan kekurangan energi protein (KEP), anemia, gizi besi, gangguan akibat kurang yodium (GAKY), kurang vitamin A hingga kurang zat gizi mikro lansia dengan nominal Rp71 juta, belum terealisasi. Selain itu, anggaran untuk pengembangan dan pencapaian keluarga sadar gizi yang dianggarkan Rp6 juta belum digunakan. Hanya, program peningkatan imunisasi dengan anggaran Rp35 juta masih terealisasi Rp21 juta. Pemerintah beralasan, beberapa program masih dalam proses tender untuk semester pertama. Walaupun juga sudah ada anggaran untuk operasional kesehatan, seperti di puskesmas, ternyata ada sejumlah puskesmas yang masih meminta ongkos untuk penggantian buku KIA. Hal itu terjadi di Puskesmas Bangsongan, Kecamatan Kayen Kidul. Padahal, harusnya buku itu diberikan gratis. Begitu juga dengan program PMT yang ternyata selama dua tahun tidak diberikan, yang terjadi di Puskesmas Blabak, Kecamatan Ngadiluwih. Kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Kabupaten Kediri justru mempertanyakan komitmen pemerintah untuk lebih peduli pada tingkat kesehatan ibu dan bayi serta penanganan masalah gizi. Selama ini, anggaran kesehatan dinilai masih sangat kurang. Padahal, pemerintah sudah menyepakati Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2009 tentang Sistem Kesehatan Kabupaten (SKK). Salah satu poin penting di Perda itu adalah alokasi untuk kesehatan hingga 15 persen dari APBD. "Kami belum lihat realisasi Perda itu. Anggaran kesehatan masih minim, belum sesuai amanat Perda," kata Ketua Suara Nurani (Suar) sebuah lembaga swadaya masyarakat yang peduli pada perempuan, Sanusi. Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kediri sangsi jika pemerintah sanggup memenuhi amanat Perda Nomor 5 Tahun 2009 tentang SKK tersebut. Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kabupaten Kediri, Iskak mengatakan selama ini 70 persen anggaran daerah habis untuk gaji pegawai. Dengan itu, kecil kemungkinan anggaran untuk kesehatan terpenuhi hingga 15 persen. "Kecil kemungkinan jika sampai 15 persen," ucap politisi PAN ini. Anggota dewan yang pernah duduk di Komisi D (bidang kesejahteraan) DPRD Kabupaten Kediri itu menyebut pemerintah masih kurang serius memperhatikan kesehatan serta program lain yang menyentuh masyarakat, seperti pertanian. Anggaran yang ada juga masih sangat sedikit. Berbeda dengan Simpang Lima Gumul (SLG), pemerintah terus saja membangun. Anggaran yang dikeluarkan selama ini juga sudah cukup besar. Untuk pembebasan lahan di lokasi yang dijadikan kawasan kota baru itu hingga Rp300 miliar, termasuk untuk pembebasan lahan sekitar 37 hektare. Lahan itu selain dijadikan sebagai monumen, juga "Convention hall", lokasi wisata air, hingga terminal. Pembangunan itu hingga kini juga belum tuntas. Pada 2011 ini, pemerintah meminta anggaran hingga Rp25 miliar untuk menyelesaikan convention hall. Pemerintah menggadang-gadang SLG itu dijadikan sebagai kota baru, tapi, di balik itu sebenarnya ada masalah. Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga turun tangan, menyelidiki dugaan korupsi di lokasi itu. Ketua Komisi D (bidang kesejahteraan) DPRD Kabupaten Kediri, Abdul Hasyim menilai pemerintah kurang pro-aktif menangani kasus kurang gizi yang terjadi di kabupaten ini. Ia menyebut, program itu belum bisa terealisasi dengan maksimal. Pihaknya juga mengaku prihatin dengan masih belum adanya perhatian yang lebih kepada para kader yang merupakan tonggak penanganan dan temuan penderita kurang gizi, hingga bisa dideteksi dini dan diberikan obat. Padahal, seluruh tenaga mereka diperuntukkan untuk penanganan dan kesuksesan program ini. "Harusnya, mereka mendapatkan penghargaan yang lebih," cetus pria yang berangkat dari PKB ini. Sulitnya Mencari Informasi Pemerintah sebenarnya telah mensahkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan oleh Komisi Informasi Pusat sudah ditindaklanjuti dengan menerbitkan Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik (Perki Slip) sebagai salah satu peraturan pelaksana dari UU tersebut. Sesuai dengan petunjuk yang terangkum dalam Perki Slip, badan publik wajib untuk memberikan pelayanan informasi sesuai yang diminta oleh pemohon. Dalam hal ini, pemohon mengajukan surat resmi kepada pejabat pengelola informasi dan dokumentasi (PPID). Walaupun UU itu telah diberlakukan, hingga kini di Kabupaten Kediri belum terealisasi. Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Kediri yang merupakan instansi berwenang mengaku masih membuat draf atau petunjuk tentang struktur organisasi. Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Kediri, Kardiyono mengatakan masalah utama dalam merealisasikan UU tersebut adalah anggaran. Selama ini, anggaran di dinasnya sangat terbatas, sementara keperluan juga cukup besar. "Kami masih buat struktur saja sebagai tindak lanjut dari UU tersebut (UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP). Kami masih terbatas anggaran," kilahnya. Kardiyono menuturkan, anggaran yang diterimanya selama 2011 ini dari APBD hanya Rp750 juta setahun. Nominal itu memang naik daripada tahun sebelumnya 2010, yang hanya Rp450 juta. Padahal, cakupan kinerja dari instansi ini sangat besar, memberikan informasi pada masyarakat baik lewat langsung maupun lewat internet, mengumpulkan masyarakat, mencetak koran, dan sejumlah agenda penting yang berkaitan dengan komunikasi dan informatika lainnya. Ia mengatakan, anggaran itu sangat terbatas, terlebih lagi untuk instansi yang cukup besar dan banyak seperti ini. Terlebih lagi, jika harus membuat struktur baru, seperti PPID tentunya anggaran yang ada harus lebih besar lagi. Pihaknya juga belum bisa menjamin pada 2012, struktur PPID ini akan terealisasi. Jika pemerintah akan memberikan tambahan anggaran, dimungkinkan bisa terealisasi, dan sebaliknya jika tetap, akan sulit. Saat ini, pihaknya hanya memaksimalkan fasilitas informasi di internet tentang Kabupaten Kediri yang memang sudah dibuat. Karena di kabupaten belum dibentuk PPID untuk mengajukan surat secara resmi sebagai bagian untuk menerapkan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP, proses pengajuan ditujukan langsung kepada Bagian Hubungan Masyarakat Kabupaten Kediri. Pelayanan satu pintu menjadi alasan sejumlah satuan kerja di daerah ini hingga menolak untuk melayani tanpa ada rekomendasi dari bagian humas untuk proses pemberitaan. Surat masuk ke bagian Humas Pemkab Kediri diajukan pada 10 Oktober 2011 dengan tujuan Dinas Kesehatan mencari informasi tentang kasus gizi buruk, penanganan, hingga masalah audit keuangan. Secara resmi, dibutuhkan waktu yang cukup lama. Hingga satu pekan berlangsung belum ada jawaban, dan setelah konfirmasi lagi, ternyata diminta langsung ke dinas terkait. Mereka memberikan jawaban langsung bukan secara resmi melalui surat. Begitu juga dengan di Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Kabupaten Kediri untuk mengajukan permohonan peminjaman APBD 2010-2011. Surat resmi sudah diajukan yang disertai dengan lampiran KTP dan kartu pers dan diberikan pada bagian sekretariat daerah. Satu pekan kemudian, mencoba konfirmasi surat sudah berada di bagain hukum. Namun, di lembaga ini, pengajuan pinjaman ditolak dengan alasan bukan yang menerbitkan dan diajurkan untuk mencari pada Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD). Mereka hanya bersedia memberikan informasi tentang Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2009 tentang Sistem Kesehatan Kabupaten Kediri. Informasi itu juga diberikan secara lisan. Mereka menolak untuk memberikan fotokopi langsung dengan alasan tidak ada pegawai yang bertugas, hingga harus meminta izin untuk menfotokopi sendiri. Padahal, surat sudah ada di bagian ini hampir satu pekan. Bukan hanya wartawan yang kesulitan mendapatkan informasi, terutama audit, hingga harus mendekati orang tertentu untuk mendapatkannya, kalangan DPRD Kabupaten Kediri pun juga kesulitan untuk mendapatkan salinan lewat "softcopy" langsung APBD kepada BPKAD dengan alasan hanya instansi tertentu yang bisa mendapatkan karena untuk proteksi. Kalangan DPRD Kabupaten Kediri hanya mendapatkan salinan berupa buku dan hasil audit jika diminta. Proses pencarian informasi bukan hanya dilakukan di tingkat pemda dan DPRD Kabupaten Kediri, melainkan hingga ke Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI). Surat dikirimkan pada 6 Oktober 2011 yang isinya tentang permintaan hasil audit Pemkab Kediri. Dalam surat pengajuan, juga melampirkan KTP dan kartu pers. Satu pekan kemudian dari bagian Biro Bagian Hubungan Masyarakat dan Luar Negeri BPK RI menghubungi dan memberikan surat balasan berupa "hardcopy" berupa "compact disk". Mereka juga meminta untuk memberikan surat balasan yang lampirannya sudah diberikan saat pengiriman CD tersebut, sebagai bukti surat sudah diterima. Hal ini tentu berbeda sekali dengan pemberian informasi di tingkat pemerintah daerah, yang tidak menanggapi secara formal, melainkan secara langsung. Dimungkinkan, karena profesi sebagai wartawan, hingga mereka harus memberikan jawaban dari pertanyaan yang diajukan. Wakil Bupati Kediri, Masykuri menampik jika pemerintah tertutup untuk memberikan informasi, khususnya hasil audit. Bahkan, demi mendekatkan diri dengan masyarakat luas, ia juga sudah bergabung dalam situs jejaring sosial "facebook". "Kalau saya sudah terbuka, saya juga punya 'facebook'," kata mantan Camat Ngasem ini.(chusna05@yahoo.co.id)
Berita Terkait
Kisah pilu keluarga Sumiati yang harus pergi dari rumah
23 Maret 2024 20:18
Kisah Pilu Franky dan Nayif Kecil (1)
2 Desember 2011 17:49
Antara Natal, tahun baru, dan kebersamaan di saat sulit
25 Desember 2025 15:14
Dewas ANTARA harap kinerja Biro Jatim terus tumbuh
17 Desember 2025 19:30
ANTARA terima penghargaan peran penyebaran informasi Kumham Imipas
17 Desember 2025 13:59
Konjen RRT-ANTARA Jatim masifkan penyebaran informasi positif dua negara
16 Desember 2025 19:45
DPR nilai pemberitaan ANTARA masih menjadi tolok ukur
16 Desember 2025 19:02
Ketua Fraksi PKS DPRD Jatim: ANTARA miliki karakter yang berbeda
16 Desember 2025 18:16
