Oleh Asmaul Chusna Kediri – Tubuh Franky Aditya, balita berumur satu tahun sembilan bulan nampaknya sangat ringkih. Ia lelap di gendongan sang kakek, Djamali (50). Di tangan kirinya terhunus jarum infus, menandakan ia sedang menjalani perawatan kesehatan. Kesehatan anak pasangan Agus (27) dan Yunita (21), warga Desa Wonorejo Trisulo, Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, tersebut memang sering turun. "Dia mulai umur 7-8 bulan sudah mulai sakit-sakitan. Awalnya diare, lalu juga batuk," tutur Djamali, lirih. Keluarga kata dia, juga sudah berupaya untuk melakukan menyembuhkan. Terhitung sudah empat kali Franky dibawa ke rumah sakit, di antaranya di RS Aminah, Pare, RS Amelia, hingga ia dibawa ke RSUD Pelem, Pare. Terakhir, keluarga membawanya ke RS Amelia, pada Jumat (14/10), tapi karena fasilitas terbatas akhirnya dirujuk ke rumah sakit daerah Jumat (21/10). "Fasilitas di sana kata perawat kurang lengkap, jadinya dirujuk," ungkap Djamali. Secara fisik, bocah yang kini ditinggal orangtuanya bekerja itu memilukan. Selain kurus, tubuhnya juga lemah, matanya cekung, wajahnya pucat, dan rambutnya juga terlihat jingga (warga jagung). Untuk anak seumuran dia, satu tahun sembilan bulan harusnya sudah bisa berlari, tapi, hingga kini ia juga belum bisa berjalan. Bahkan, untuk menopang tubuhnya saja sampai saat ini masih sulit. Ia hanya bisa merangkak perlahan ketika diletakkan di atas lantai. Kondisi Franky yang seperti itu membuat pertumbuhannya kurang maksimal. Di usianya yang sudah satu tahun sembilan bulan, berat badannya hanya 6,1 kilogram. Padahal, anak seumurnya harusnya berat badannya sudah lebih dari 12,5 kilogram. Keluarga menyebut saat dilahirkan berat badannya juga normal, 3,5 kilogram. Kondisi hampir sama terjadi pada Nayifaturrahmawati, anak pasangan Ahmad Subairi (40) dan Eni Purwanti (31), warga Desa Tanon, Kecamatan Papar, Kabupaten Kediri. Di usianya yang sudah satu tahun lima bulan berat badannya diketahui hanya 5,6 kilogram. Padahal, harusnya untuk anak seusianya berat badannya bisa mencapai 9-10 kilogram. Tentunya, secara fisik berat badannya masih jauh dari normal. Namun, ada perbedaan dari kedua balita tersebut. Franky terpaksa menjalani perawatan di rumah sakit, karena penyakit sertaan yang tidak kunjung sembuh, sementara Nayif masih bisa bermain dengan teman-temannya, walaupun secara berat badan kurang untuk anak seusianya. Eni Purwati, ibunda Nayif ditemui di rumahnya mengakui selama ini anaknya memang sulit makan. Ia lebih senang minum air susu ibu (ASI) daripada makan. Berbagai cara juga sudah dicoba mulai memberikan susu formula sampai susu sari kedelai, tapi, tetap gagal. Saat ini, ia hanya memberi ASI sambil sesekali dipaksa agar anaknya mau makan. Ia berharap, saat anaknya nanti sudah berumur lebih dari dua tahun dan sudah berhenti minum ASI, kondisi tubuhnya akan pulih dan berkembang seperti anak pada umumnya. Franky dan Nayif adalah potret balita yang mengalami kurang gizi di Kabupaten Kediri. Selain pola asuh, dimungkinkan asupan gizi saat kehamilan juga masih kurang. Bagian Hubungan Masyarakat RSUD Pelem, Pare, Raziq menyebut sudah melakukan pemeriksaan kepada Frenky. Balita yang lahir pada 22 Maret 2010 itu diketahui menderita diare akut. Selain itu, diketahui ia juga menderita "bronkitis" atau radang paru-paru, gangguan akibat kurang yodium (GAKY), serta anemia. Sebelum infeksi, Franky juga diketahui menderita kekurangan gizi, terutama yodium. Dimungkinkan, saat mengandung ibu Franky kurang asupan yodium, hingga berpengaruh pada Franky saat lahir. Hal itu ditambah dengan tidak diberikannya ASI melainkan susu formula sejak lahir. "Kondisi ini yang membuat daya tahan tubuhnya lemah dan berakibat terkena infeksi," ucap Raziq. Bidan Desa Tanon, Yuni menyebut kondisi Nayif hanya bermasalah pada berat badannya saja. Ia tidak diketahui mempunyai penyakit sertaan lain, sebagai dampak kurang gizi."Anak itu sehat dan lincah, tapi, yang menjadi masalah hanya berat badan saja. Kemungkinan karena pola asuhnya," kata Yuni. Kampung Kering Desa Wonorejo Trisulo, Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri adalah salah satu kampung atau desa miskin di daerah ini. Tanah di desa yang jaraknya 116 kilometer dari kota ini tandus, yang didominasi pasir dan bebatuan sisa letusan Gunung Kelud (1.730 mdpl). Saking tandusnya, hanya nanas dan tebu yang bisa bertahan hidup di daerah ini. Tantowi Jauhari, salah seorang perangkat di desa itu mengatakan di daerah ini tidak ada saluran irigasi, karena air memang sulit didapat. Warga hanya mengandalkan mukjizat dari Tuhan agar tanamannya hidup. "Setelah ditanam, biasanya dibiarkan saja, tidak ada pengairan, karena irigasi juga tidak ada," ucapnya. Jumlah warga di daerah ini, kata dia, mencapai 4.453 orang yang terdiri dari 2.286 laki-laki, dan sisanya, 2.167 perempuan dengan 1.401 kepala keluarga (KK). Mereka tersebar di dua dusun yaitu Dusun Pulerejo dan Rejomulyo. Kondisi desa yang tidak mempunyai harapan cerah, membuat sebagian besar warganya memilih merantau, salah satunya menjadi TKI. Bagi sebagian warga lainnya yang tidak punya tanah, terpaksa menjadi buruh tani. Jika dipersentase, ada sekitar 70 persen warganya yang menjadi buruh tani. Ada sebagian yang kerja di PTPN Ngrangkah Sepawon, menjadi buruh lepas dengan penghasilan Rp10.000 per hari. "Mereka mulai bekerja pukul 06.00 – 09.00 WIB," katanya. Kondisi daerah yang miskin, membuat banyak warga di desa ini juga memerlukan perhatian. Jumlah warga miskin penerima program beras untuk warga mencapai 333 rumah tangga sasaran (RTS). Salah satu warga miskin penerima raskin di antaranya adalah keluarga dari Franky, balita kurang gizi yang saat ini dirawat di RSUD Pelem, Pare. Rumah kedua orangtua Franky sangat sederhana. Tidak nampak benda berharga di dalam rumah yang berukuran 6x10 meter dan berdinding batako itu. Pascasepeninggal kedua orangtua Franky, rumah itu juga nampak terlantar. Kondisi bangunan yang sama juga nampak pada rumah kakek dan nenek Franky. Rumah itu juga kosong, karena ditinggal di rumah sakit, menemani cucunya. Kandang yang semula ada ternak sapinya sudah lama kosong, dijual untuk biaya berobat Franky. Tantowi justru kaget ketika ada kerabat dari orangtua Franky yang baru mencarikan surat keterangan tidak mampu dari perangkat desa untuk keperluan minta jaminan kesehatan dari pemerintah. Ia mengaku, harusnya sudah mendapat sejak dulu, tapi, karena pendataan yang kurang maksimal dan kurang tanggapnya perangkat desa, membuat mereka harus menanggung biaya cukup besar untuk pengobatan ke rumah sakit."Kami akui perangkat kurang aktif, hingga ada kejadian seperti ini," ujarnya. Gizi Buruk, Mimpi Buruk Ada beragam masalah gizi buruk ditemukan pada anak-anak, mulai dari kurang gizi hingga busung lapar. Kondisi ini tentunya cukup membuat pemerintah ekstra kerja keras. Bagaimana tidak, generasi muda yang diharapkan menjadi penerus cita-cita bangsa, tergolek lemah akibat gurang gizi. Berdasarkan medis, penyakit ini ada yang ringan yang sering disebut malnutrisi energi protein (MEP) ringan yang sering diistilahkan dengan kurang gizi. Lainnya ada marasmus dan kwashiorkor yang sering disebut busung lapar, dan terakhir gabungan di antara keduanya, marasmik-kwashiorkor yang digolongkan pada MEP berat. Kepala Bidang Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri, Nugroho menyebut penyakit ini banyak menyerang anak balita, terutama di negara berkembang. Namun, kasus yang terjadi di Kabupaten Kediri, kata dia, kebanyakan adalah MEP atau kurang energi protein. Sementara, untuk kasus yang lain, yaitu marasmus dan kwashiorkor, serta marasmik-kwashiorkor, jarang terjadi. "Yang banyak kurang energi protein. Secara fisik mereka terlihat lebih kecil dan terlihat tidak selincah anak pada usianya," katanya, mengungkapkan. Memang ada perbedaan gejala yang terlihat pada anak yang menderita kurang gizi. Pada kasus kurang gizi, gejalanya Nisbi tidak jelas, hanya terlihat bahwa berat badan anak tersebut lebih rendah dibandingkan dengan anak seusianya. Rata-rata berat badan mereka hanya sekitar 60-80 persen dari berat badan ideal. Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri mencatat hingga September 2011 ini, jumlah bayi lima tahun (balita) yang berada di bawah garis merah mencapai 1.038 anak yang tersebar di 36 kecamatan wilayah kabupaten. Jumlah itu juga tidak jauh dari angka tahun sebelumnya, yaitu 1.185 anak (2010) dan 1.493 anak (2009). Dari jumlah itu, ada 142 anak yang mendapat pemantauan lebih intensif daripada anak di bawah garis merah lainnya. Isitilah medis dalam pemantauan intensif itu sering disebut dengan "intervensi". "Kondisi mereka selain BGM, juga ada penyakit sertaan hingga mereka mengalami kekurangan gizi," kata Nugroho. Jumlah balita yang diintervensi hingga September 2011 itu hampir selisih sedikit dengan jumlah balita yang mendapat intervensi pada 2010 yang mencapai 166 anak (Januari-Desember). Mereka juga tersebar di seluruh kecamatan wilayah kabupaten. Intervensi itu, menurut Nugroho mutlak dilakukan. Para tenaga medis bisa mengetahui secara langsung kondisi dan perkembangan si anak yang dikategorikan gizi buruk itu, apakah ada perkembangan atau tidak. Proses intervensi ini, dilakukan dengan melibatkan tenaga kesehatan seperti dokter, ahli gizi, Tim Penggerak PKK, hingga kader posyandu. Dosen di salah satu kampus kesehatan di Kabupaten Kediri ini menyebut, kasus gizi buruk di Kabupaten Kediri ini dipengaruhi banyak faktor, di antaranya tingkat pengetahuan masyarakat atau pola asuh, lingkungan, sosial, letak geografis, hingga ekonomi. Masih banyak orangtua yang belum memahami cara mengasuh anak dengan baik, termasuk memberi makan pada anak. Secara persentase salah asuh bisa mencapai 70 persen dari jumlah balita di kabupaten. "Poin-poin penting untuk pertumbuhan anak harusnya diperhatikan, di antaranya gizi seimbang dengan empat sehat lima sempurna. Pola asuh anak juga harus diperhatikan untuk menciptakan keluarga sadar gizi (kadarzi)," ucapnya. Ironisnya, kurang gizi ternyata bukan hanya bisa menimpa keluarga yang secara ekonomi minim. Bahkan, keluarga yang mampu pun, tidak terlepas. Kurang gizi ini menjadi catatan khusus pemerintah. Terdapat bayi yang meninggal akibat gizi buruk. Pada 2009 ada lima balita, 2010 ada dua balita, dan 2011 ada dua balita. Penyebab utama karena adanya kelainan bawaan, membuat kondisi tubuh mereka sakit. Selain tingginya angka BGM di kabupaten, jumlah bayi yang meninggal setelah proses kelahiran juga tinggi. Pada 2010, jumlah kelahiran hidup diketahui hingga 25.501 kelahiran, dimana 176 di antaranya meninggal. Hingga September 2011 ini, jumlah kelahiran hidup mencapai 19.096 kelahiran dan 83 di antaranya meninggal. Proses kelahiran ini juga terkait dengan tingkat gizi dari ibu yang kemudian bisa berpengaruh pada perkembangan anaknya. (bersambung)
Berita Terkait
Kisah pilu keluarga Sumiati yang harus pergi dari rumah
23 Maret 2024 20:18
Kisah Pilu Franky dan Nayif Kecil (2)
2 Desember 2011 17:51
Antara Natal, tahun baru, dan kebersamaan di saat sulit
25 Desember 2025 15:14
Dewas ANTARA harap kinerja Biro Jatim terus tumbuh
17 Desember 2025 19:30
ANTARA terima penghargaan peran penyebaran informasi Kumham Imipas
17 Desember 2025 13:59
Konjen RRT-ANTARA Jatim masifkan penyebaran informasi positif dua negara
16 Desember 2025 19:45
DPR nilai pemberitaan ANTARA masih menjadi tolok ukur
16 Desember 2025 19:02
Ketua Fraksi PKS DPRD Jatim: ANTARA miliki karakter yang berbeda
16 Desember 2025 18:16
