Sayyidah Maksum; Potret Semangat Guru PAUD di Bondowoso
Sabtu, 26 November 2011 16:11 WIB
Bondowoso - Kalau bukan karena cinta dunia pendidikan, tak mungkin Sayyidah Maksum (35) bertahan selama lima tahun lebih menjadi guru dengan bayaran seadanya.
Perempuan beranak tiga yang akrab dipanggil Ida ini, senang menjalani profesi mencerdaskan anak bangsa meskipun dengan gaji tertinggi saat ini hanya Rp60 ribu per bulan dari pemerintah kabupaten. Ya, Rp60 ribu, bukan Rp600 ribu.
Gaji itu belum dipotong uang iuran untuk organisasi yang diikutinya sebesar Rp3 ribu per bulan dan Rp10 ribu untuk arisan para guru di kecamatan.
"Gaji itu kami terima setiap tiga bulan sekali. Awal saya mengajar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) bayarannya hanya Rp30 ribu," kata istri dari Dedi Pramana ini tersenyum.
Ida yang aktif mengajar di PAUD Anak Sholeh, Kelurahan/Kecamatan Tenggarang, Kabupaten Bondowoso, Jatim, ini mengaku bukan karena motivasi uang.
"Saya betul-betul senang mengajar dan berhubungan dengan anak-anak. Mungkin menurun dari bapak saya yang guru ngaji di desa yang tidak pernah mendapatkan bayaran," katanya.
Karena di PAUD hanya mengajar dari Senin hingga Kamis pada pagi hari, Ida juga masih mengajar di raudhatul adfal (RA) atau TK dan taman pendidikan Al Quran (TPQ). Khusus TPQ untuk bertugas pada sore hari.
Ketiga lembaga itu tidak dalam satu lokasi. Bahkan untuk mengajar di RA ia harus menempuh perjalanan sejauh sekitar 18 Km dari rumahnya.
Dengan keadaan tiga anak dan tanpa pembantu di rumah, Ida harus pandai-pandai membagi waktunya untuk aktivitas di tiga lembaga tersebut.
Belum lagi untuk menyiapkan keperluan suaminya yang petani di sawah. Lebih repot lagi saat musim tanam karena Ida harus menyiapkan makanan pekerja di sawah yang membantu pekerjaan suaminya.
"Saya jam 04.00 sudah harus bangun untuk menyiapkan makan pekerja di sawah," katanya.
Setelah semua masakan siap, ia harus menyiapkan kedua anaknya untuk berangkat sekolah. Sementara si bungsu yang masih bayi, ia bawa ke sekolah tempatnya mengajar. Begitulah ritual harian Ida.
Dengan membawa bayi yang digendong sambil mengendarai sepeda motor bukan tanpa masalah. Ia tidak jarang mendapat cibiran, karena dinilai tidak memperhatikan keselamatan anaknya. Tapi Ida bertahan karena ia yakin dengan mengajar sambil membawa anak, secara tidak langsung juga mendidik si bayi.
Untunglah sampai di sekolah si bungsu sering diasuh oleh orang tua murid yang mengantar dan menunggu anaknya di sekolah.
"Suami saya juga sangat mendukung kegiatan saya. Suami saya membolehkan saya aktif di mana saja, dengan satu syarat. Jangan mengeluh capek kalau di rumah. Ya sudah, kalau capek, saya nikmati sendiri saja," katanya tertawa.
Ia begitu berterima kasih kepada Dedi sang suami atas pengertiannya itu. Pernah suatu ketika ia merasa sangat bersalah kepada sang suami atas aktivitasnya itu.
Saat itu ia berangkat mengajar pagi hari dengan membawa sepeda motor, kendaraan bermotor satu-satunya yang dimiliki. Karena itu Dedi ke sawah membawa nasi untuk makan pekerja dengan sepeda angin. Di perjalanan, kuah untuk yang dibawa Dedi tumpah.
"Saya merasa bersalah karena sampai di sekolah ternyata murid-murid libur. Saya agak marah karena tidak diberi tahu oleh pimpinan sekolah. Kalau tahu murid saya libur, sepeda motor kan bisa dipakai Mas Dedi dan kemungkinan kuah itu tidak tumpah," katanya mengenang.
Saat berhadapan dengan masalah-masalah seperti itu, ia berterus terang bahwa sebagai manusia kadang merasa jenuh. Kemudian muncul keinginan untuk berhenti dari aktivitas yang "dikesankan" begitu mulia sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa" itu.
"Saya sempat berhenti mengajar satu tahun karena Vivi, anak pertama saya, rewel dan tidak mau digendong orang lain. Selama setahun itu saya di rumah malah seperti orang stres. Akhirnya saya mengajar lagi. Jadi saya tidak mungkin rasanya berhenti mengajar," kata perempuan lulusan Madarah Aliyah (MA) Negeri Bondowoso ini.
Karena itu kemudian ia sadar bahwa ilmu yang dimilikinya untuk mendidik murid belumlah cukup. Selama ini ia mengajar hanya bermodal nekat kemudian ditambah dengan mengikuti berbagai pelatihan.
Ida, atas dukungan suami kemudian kuliah S1 PAUD di sebuah perguruan tinggi swasta di Jember. Tentu aktivitasnya bertambah padat. Tapi ia yakin bahwa semua bisa dijalani jika ada kemauan.
Menurut dia, dengan menempuh pendidikan di perguruan tinggi, wawasannya tentang pendidikan dan perkembangan psikologis anak terus bertambah. Hal itu sangat bermanfaat untuk diaplikasikan di tempatnya mengajar.
"Kalau dulu saya agak kaku sama anak-anak, sekarang malah lebih sabar. Saya baru tahu itu dari bangku kuliah," katanya tersenyum malu mengenang cara mengajarnya selama sebelum kuliah.
Kata Ida, kalau dulu lebih banyak mengandalkan ilmu agama untuk menghadapi murid-muridnya, sekarang sudah lengkap dengan ilmu kependidikan yang diterimanya.
"Saya dulu kalau menghadapi murid yang bandel, biasanya saya kirimi fatihah setiap hari, kemudian setiap ketemu saya bacain shalawat tiga kali kemudian saya usapkan di kepalanya. Sekarang selain yang seperti itu, juga melalui pendekatan psikologis," katanya.
Meskipun selama ini ia senang dengan kegiatan mengajar dengan ala kadarnya, namun ia berharap ke depan tetap ada perhatian dari pemerintah terhadap guru-guru yang belum menjadi pegawai negeri sipil ini. Hal itu bukan semata-mata untuk kepentingannya, tapi untuk semua guru yang senasib dengannya.
"Kasihan kalau guru-guru yang begitu bersemangat ini tidak mendapatkan pengahargaan yang setimpal," kata Ida yang segera akan melaksanakaan kuliah kerja nyata (KKN) ini.
Pengelola PAUD Anak Sholeh Evy Yulistiowati mengemukakan bahwa pengabdian Ida luar bisa. Ia memiliki totalitas untuk pekerjaannya meskipun secara materi tidak menjanjikan apa-apa.
"Saya merasa bersyukur di lembaga yang saya kelola ini ada guru seperti Ibu Ida ini. Kalau tidak ada ibu Ida, mungkin saya juga sudah putus asa dan membubarkan lembaga PAUD ini. Kadang capek juga. Kami tidak berorientasi mendapatkan materi dengan mengelola lembaga ini, tapi pasti mendapatkan lebih banyak dari Allah," kata mantan Ketua Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini (Himpaudi) Kecamatan Tenggarang ini.
Ungkapan Evy agaknya tidak berebihan. Pengabdian guru yang rela meluangkan waktu untuk anak-anak usia dini menjadi semangat sehingga keberadaan PAUD di Bondowoso begitu marak. Ida adalah potret dari semangat guru-guru PAUD di daerah penghasil tapai ini.
Isteri Wakil Bupati Bondowoso Ny Haris Son Haji mengemukakan bahwa perkembangan PAUD di wilayahnya luar biasa. Saat ini ada 1.000 lebih PAUD di Bondowoso atau hampir setiap dusun ada lembaga pendidikan untuk anak-anak tersebut.
"Saya sangat bangga dengan semangat para guru PAUD meskipun satu bulan mereka hanya menerima bayaran Rp60 ribu. Para guru PAUD betul-betul menunjukkan pengabdiannya tanpa memperhatikan berapa dibayar untuk aktivitasnya itu," katanya.
Ny Haris mengakui terus terang bahwa dirinya belum bisa berbuat banyak untuk mereka. Hanya saja ia berusaha mengunjungi lembaga-lembaga PAUD sambil memberikan sumbangan sekedarnya untuk memotivasi para guru.
Bupati Bondowoso Amin Said Husni mengatakan bahwa pengelolaan PAUD di daerahnya mendapatkan prestasi nomor dua secara nasional setelah Kota Gorontalo.
Saat ini, kata Amin Said, di Bondowoso terdapat 1.121 PAUD formal maupun nonformal dengan 2.033 guru dan 40 ribu lebih anak didik.
Sementara Mendikbud Muhamad Nuh saat acara sosialisasi PAUD di Bondowoso, 30 Apr 2011 mengemukakan bahwa sudah saatnya Bondowoso mendeklarasikan diri sebagai kabupaten PAUD karena daerah ini memiliki kepedulian yang luar biasa pada perkembangan PAUD.
Menurut dia, anak-anak Indonesia yang saat ini masih mengenyam PAUD akan menjadi pemimpin bangsa ini pada 2045 atau satu abad perayaan Indonesia merdeka. Mereka akan menjadi bupati, wali kota, gubernur, menteri, bahkan presiden.
"Kami ingin memberikan bonus pada saat 100 tahun Indonesia merdeka nanti lewat anak-anak yang sekarang ada di PAUD. Kami ingin membangun anak-anak ini seperti Sayyidina Ali, sahabat Rasulullah Muhammad SAW, yang sejak kecil tidak pernah terkontaminasi macam-macam," kata mantan Rektor ITS Surabaya itu.
Ia mengemukakan, anak usia dini memiliki ribuan sel otak yang satu sama lain belum semuanya tersambung dengan baik. Dengan rangsangan lewat PAUD, maka sel-sel otak itu tersambung secara sempurna, sehingga kelak mereka menjadi manusia yang kreatif.
Nuh menyadari bahwa dunia pendidikan selalu banyak menghadapi masalah, termasuk di tingkat PAUD ini. Misalnya, kesejahteraan guru PAUD yang masih dari jauh dari harapan.
"Padahal, sejahtera itu bukan yang diperlukan oleh guru, tapi syarat menjadi guru," ujarnya, berfilosofi.(*)