Oleh Destyan Sujarwoko Blitar - Latar belakang pendidikan yang hanya lulusan SD, ternyata tak menghalangi tekad Robin Susianto (23) dan Zainul Arifin (25) untuk mencerdaskan kehidupan anak-anak di desanya. Bahu-membahu keduanya, tanpa mengenal lelah dan putus asa, mengajar di sebuah lembaga taman kanak-kanak (TK) yang diberi nama TK Griyo Pitoyo, meski dengan segala keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki. TK Griyo Pitoyo merupakan satu dari sedikit TK komunitas yang ada di pelosok desa pedalaman di Kabupaten Blitar, Jawa Timur, tepatnya di Dusun Banyuurip, Desa Ngadipuro, Kecamatan Wonotirto. Sekolah atau lebih tepatnya taman bermain bagi anak-anak usia prapendidikan dasar ini memang menjadi satu-satunya lembaga TK yang ada di daerah tersebut. Lokasi pemukiman yang terpencil, yakni di pesisir selatan Kabupaten Blitar, dan dengan tingkat perekonomian yang cenderung minus (di bawah batas garis kesejahteraan) membuat pengembangan lembaga pendidikan usia dini di daerah perkebunan kapuk ini kurang mendapat perhatian. Di desa tersebut sebenarnya telah ada lembaga SD Ngadipuro 03 yang konon sudah berdiri sejak dasawarsa tahun 1960-an, tetapi jaraknya cukup jauh untuk dijangkau (sekitar 3 kilometer) anak-anak Dusun Banyuurip. Kondisi infrastruktur yang tidak memadai serta medan berbukit/bergunung membuat minat sekolah anak-anak Dusun Banyuurip hingga awal tahun 2000, sangatlah rendah. Bagaimana tidak, dari sekitar 400 KK yang mayoritas memiliki anak usia sekolah, hanya 5-10 persen yang pernah merasakan bangku pendidikan dasar. Selebihnya merupakan anak-anak yang tak mengenal baca-tulis, atau yang akrab disebut dengan istilah buta aksara. “Hanya sedikit di antara kami yang saat itu bisa sekolah karena faktor ekonomi maupun SDM (sumberdaya manusia),” ujar Robin Susianto memberi gambaran. Keterbelakangan dalam hal pendidikan anak-anak di desanya itu pulalah yang kemudian memotivasi Robin serta Zainul Arifin untuk aktif dalam kegiatan rombongan belajar (rombel) yang digagas sekelompok mahasiswa Surabaya yang tengah melakukan kegiatan kuliah kerja nyata (KKN) di Dusun Banyuurip, sebelas tahun silam (pertengahan tahun 2000). Robin dan Zainul yang kebetulan sudah memiliki kemampuan baca tulis, meski keduanya hanya lulusan SD, kemudian banyak didapuk oleh para mahasiswa untuk menjadi mentor (guru) bagi anak-anak maupun remaja yang masih buta aksara saat itu. "Dari kegiatan 'rombel' inilah kemudian lahir ide untuk membentuk semacam lembaga taman kanak-kanak yang sekarang kami beri nama TK Griyo Pitoyo," tutur Robin bercerita. Ia mengungkapkan, pengalamannya dalam membimbing para peserta “rombel” dalam berlatih membaca dan menulis sedikit banyak telah membantu mereka untuk menguasai dasar-dasar kemampuan sebagai pendidik, meski dalam taraf sangat sederhana. Maklum, sebagai pemuda yang hanya lulusan SD (lulus tahun 1997), Robin sebenarnya tak memiliki cukup bekal ilmu mengajar, apalagi sertifikat/izin sebagai pendidik yang diakui dinas pendidikan daerah, demikian pula halnya dengan Arifin. Kedua tenaga relawan pendidik yang telah sebelas tahun mengajar di TK Griyo Pitoyo, Dusun Banyuurip ini bahkan baru tahun 2010 lalu mendapat sertifikat kelulusan program Kejar Paket B, setingkat ijazah SMP, dari Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar. "Saat itu kami akhirnya diperbolehkan mengajar di TK komunitas yang kami bentuk, setelah mbak Yanti (salah satu aktivis mahasiswa yang memandegani terbentuknya rombel saat itu) melobi dinas dan memastikan bahwa anak-anak dusun Banyuurip butuh relawan tenaga pengajar yang siaga 24 jam," papar Robin. Alakadarnya Perjuangan Robin maupun Arifin untuk terus setia bertahan sebagai tenaga pendidik di TK Griyo Pitoyo patut mendapat penghargaan. Bagaimana tidak, selama sepuluh tahun sebelum akhirnya TK Griyo Pitoyo I di sebelah barat dan TK Griyo Pitoyo II di sebelah timur digabung, Robin dan Arifin harus rela meluangkan waktu untuk mengajar minimal empat jam sehari. Padahal insentif yang mereka terima dari yayasan Sitas Desa yang menaungi lembaga TK komunitas ini tidaklah seberapa, yakni hanya Rp150 ribu per bulan. Memang mereka masih menerima tambahan honor dari hasil tarikan SPP siswa per bulannya, tetapi nilainya tidak seberapa karena sebagian digunakan untuk operasional sekolah. "Tidak masalah meski hanya mendapat insentif sedikit, yang penting anak-anak desa kami bisa melek baca-tulis," ujar Arifin, menimpali. Pekerjaan mendidik anak-anak yang menjadi generasi penerus Dusun Banyuurip tersebut saat ini nisbi lebih ringan sejak kedua TK yang berjarak sekitar tiga kilometer tersebut digabung menjadi satu, yakni di wilayah Timur dengan alasan efisiensi. Namun, dengan segala keterbatasan yang dimiliki TK tersebut, suasana belajar-mengajar yang terkesan alakadarnya di atas lantai berlapis terpal dan ruangan yang semipermanen, tetap saja memprihatinkan. Butuh kesabaran luar biasa dari kedua guru yang kini mengajar secara bergantian untuk bisa memotivasi anak didiknya agar mau belajar membaca dan menulis. Maklum saja, bangunan TK yang mirip balai dengan dinding dibiarkan terbuka tanpa dilapisi sekat antarkelas menyebabkan suasana belajar-mengajar menjadi gaduh. Terlebih jika ada anak yang rewel ataupun hiperaktif. Jika sudah begitu, baik Robin maupun Arifin harus membagi waktu agar tetap bisa mengendalikan situasi kedua kelas. "Ya kalau sudah begitu kami ngajarnya gantian. Satu kelas kami beri tugas tertentu, misal mewarnai atau menulis, agar kami bisa mengendalikan situasi di kelas sebelahnya," ujar Arifin maupun Robin. Bagaimanapun, diakui Robin pola mengajar seperti itu terasa berat untuk dijalani. Sebab selain tenaga pendidik yang sangat kurang karena dua kelas dikendalikan oleh seorang guru sekaligus, jumlah siswa TK Griyo Pitoyo saat ini cukup banyak, terutama sejak digabung pada pertengahan tahun 2011 lalu. "Jumlah murid kami saat ini ada sekitar 30 anak. Mereka semua butuh perhatian, sementara kami praktis hanya bekerja sendirian untuk mengendalikan dua kelas sekaligus," tutur Robin. Beruntung, pihak orang tua atau wali murid bisa memaklumi segala keterbatasan yang mereka miliki. Beberapa wali murid yang menunggui anak-anaknya selama mengikuti pelajaran di TK Griyo Pitoyo bahkan tak segan untuk membantu menenangkan situasi saat ada beberapa anak yang ribut di dalam kelas. "Kami berusaha membuatnya fleksibel. Target dalam kurikulum pendidikan yang kami buat bersama tim Yayasan Sitas Desa adalah membuat siswa didik kami bisa menguasai dasar-dasar baca-tulis, supaya mereka punya bekal ilmu saat masuk jenjang pendidikan dasar (SD)," ujar Farhan Mahfuzi, pembina Yayasan Sitas Desa yang menaungi TK Griyo Pitoyo serta sejumlah TK komunitas lain di beberapa pelosok desa di Kabupaten Blitar. Sayangnya, meski TK Griyo Pitoyo telah berusia sebelas tahun, hingga saat ini belum ada perhatian serius dari pemerintah daerah untuk mengembangkan sekolah prapendidikan dasar ini agar lebih layak untuk menjadi taman belajar anak-anak Dusun Banyuurip. Jangankan bangunan yang representatif, sekadar buku panduan atau sarana belajar mengajar saja mereka sangat terbatas. Robin maupun Arifin yang mengajar secara bergiliran ini mengaku hanya mengandalkan bahan belajar-mengajar hasil fotokopian agar jadwal yang sudah dibuat dalam kurikulum sekolah mereka bisa terlaksana sesuai perencanaan. "Kami setidaknya masih bersyukur karena setelah hampir sebelas tahun TK ini terbentuk, saat ini sudah hampir 75 persen anak-anak dusun kami yang mengenyam pendidikan dasar. Sebagian dari mereka bahkan telah memasuki jenjang pendidikan tinggi, sehingga kelak bisa diharapkan melakukan sesuatu bagi desanya," ucap Robin dengan nada bangga. Ia mengaku tak akan minder meskipun jenjang pendidikannya yang hanya lulusan kejar paket-B, kalah dibanding mantan anak-anak didiknya yang telah lulus SMA atau bahkan masuk jenjang perguruan tinggi. Bagi Robin maupun Arifin, keinginan untuk memberantas buta aksara di kampungnya serta mencerdaskan kehidupan generasi muda Dusun Banyuurip merupakan cita-cita mereka yang tak akan pernah padam.(*)
Berita Terkait

Menkeu sebut rasio utang Indonesia terendah di antara anggota G20
4 Juli 2025 12:50

Komisi VII DPR rapat dengan TVRI, RRI dan ANTARA bahas program kerja
3 Juli 2025 16:58

Anggota DPR RI jadi pembicara kunci ANTARA "goes to campus"
2 Juli 2025 10:43

ANTARA beri pelatihan jurnalistik di Universitas Muhammadiyah Sukabumi
30 Juni 2025 14:54

ANTARA dan Ananta berkolaborasi gelar Rinjani Sembalun Sky Run 2025
23 Juni 2025 20:17

Dirkeu ANTARA beberkan strategi sukses dalam berkarir
20 Juni 2025 20:18