Surabaya (ANTARA) - Bangsa Indonesia yang sedang giat dalam melaksanakan pembangunan sangat membutuhkan suatu kondisi yang dapat mendukung terciptanya tujuan pembangunan nasional yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Untuk mewujudkan hal tersebut perlu ditingkatkan usaha-usaha untuk memelihara ketertiban, keamanan, kedamaian dan kepastian hukum yang mampu mengayomi segenap masyarakat yang ada, antara lain pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Salah satu kondisi tersebut dapat terwujud dengan dilaksanakannya penegakan supremasi hukum yang merupakan syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi kelangsungan dan keberhasilan pelaksanaan pembangunan nasional sesuai dengan jiwa reformasi.
Tindak pidana korupsi yang terjadi akhir-akhir ini merupakan suatu fenomena kejahatan yang dilakukan secara bersama-sama, yang menggerogoti dan menghambat pelaksanaan pembangunan nasional, sehingga penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar diprioritaskan dengan menerapkan berbagai peraturan yang terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi sehingga dapat melahirkan pertanggungjawaban pidana yang adil dan berkepastian hukum.
Tindak pidana korupsi bukan hanya menjadi masalah hukum tetapi telah menjadi persoalan ekonomi, budaya dan politik, dengan perkataan lain bahwa korupsi sudah terjadi dan dilakukan dalam berbagai dimensi pelaku dan lingkup antar negara.
Meningkatnya tindak pidana korupsi dengan berbagai modus operandi yang semakin canggih dapat menjadi bencana tidak saja terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya tetapi dapat menimbulkan berbagai kelemahan kehidupan generasi yang akan datang.
Director Division of Treaty Affairs United Nation Office on Drugs and Crime dan Executive Secretary Eleventh United Nation Congress on Crime Prevention and Criminal Justice atau Direktur Urusan Perjanjian Divisi Kejahatan dan Obat-obatan PBB serta Sekretaris Eksekutif Kongres Kesebelas Pencegahan Kejahatan PBB Eeduardo Vetere dalam sambutannya kepada Delegasi RI yang aktif terlibat dalam pembahasan Convention Against Corruption dan kepada Koordinator Forum 2004 menyatakan akibat dari korupsi antara lain, "The greatest impact of corruption is on the poor, those least able to absorb its costs. By legally diverting state fund, corruption undercuts service, such as health, education, public transportation or local policing. But corruption also threatens the prospects for economic investment, all types of companies large or small, multinational and local, perceive corruption as detrimental to bussiness, as it undermines legitimate economic competition and the rule of a free market economy".
(Dampak korupsi terbesar adalah pada kemiskinan, karena orang-orang itu yang paling tidak mampu kurang menyerap biaya dengan mengalihkan APBN secara resmi, korupsi dapat memotong layanan jasa, seperti kesehatan, pendidikan, transportasi umum atau kebijakan lokal. Korupsi juga mengancam prospek investasi ekonomi, yang mempengaruhi semua jenis perusahaan baik besar atau kecil, multinasional atau lokal, korupsi disadari merugikan dunia usaha, yaitu mempersulit peraturan ekonomi pasar bebas dan persaingan ekonomi yang sah).
Bentuk-bentuk kerugian keuangan negara tersebut antara lain, pengeluaran suatu sumber atau kekayaan negara atau daerah (dapat berupa uang, barang) yang seharusnya tidak dikeluarkan, pengeluaran suatu sumber atau kekayaan negara atau daerah lebih besar dari yang seharusnya menurut kriteria yang berlaku, hilangnya sumber atau kekayaan negara atau daerah yang seharusnya diterima (termasuk di antaranya penerimaan uang palsu, barang fiktif), penerimaan sumber atau kekayaan negara atau daerah lebih kecil atau rendah dari yang seharusnya diterima (termasuk penerimaan barang rusak, kualitasnya tidak sesuai), timbulnya suatu kewajiban negara atau daerah yang seharusnya tidak ada, timbulnya suatu kewajiban negara atau daerah yang lebih besar dari yang seharusnya, hilangnya suatu hak negara atau daerah yang seharusnya dimiliki atau diterima menurut aturan yang berlaku, dan hak negara atau daerah yang diterima lebih kecil dari yang seharusnya diterima.
Dengan demikian cukup banyak kerugian yang diderita negara dan tentunya menjadi kerugian masyarakat pula dan seharusnya dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dipetakan semua pelaku korupsi dalam segala posisi tentunya untuk mempertanggungjawabkannya secara pidana.
Dalam perspektif ekonomi ada beberapa dampak korupsi yang bisa diidentifikasi antara lain: pertama, terjadinya inefisiensi hingga menyebabkan biaya ekonomi tinggi, yang beban keseluruhannya harus ditanggung oleh konsumen.
Kedua, terjadinya eksploitasi dan ketidakadilan distribusi pada sumber daya dan dana pembangunan karena hanya elit kekuasaan dan para pemilik uang saja yang bisa mengakses berbagai sumber daya dan dana itu.
Ketiga, terjadinya inefektivitas dan inefisiensi pada birokrasi pemerintahan karena insentif menyebabkan watak birokrasi pemerintahan tidak efektif.
Mereka tidak punya sensitivitas untuk melayani kepentingan publik dan selalu mencuri rente bagi kepentingan sendiri atas kewajiban yang seharusnya dilakukan yang pada akhirnya insentif ini akan berujung pada inefisiensi dan perubahan watak pelayanan birokrasi.
Keempat, terjadinya pencurian dan perusakan sumber daya alam tetapi aparat penegak hukum dan birokrasi terlibat dan menjadi bagian dari keseluruhan proses itu sehingga para pelaku pidana tidak ada yang bisa diseret ke Pengadilan.
Kelima, terjadinya penurunan tingkat investasi modal sehingga pada akhirnya mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan mengurangi pemasukan negara.
Tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dimana tindak pidana korupsi yang terjadi dalam berbagai lapisan masyarakat, tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat (crime against welfare state).
Randy Rizki dan Lukman Hakim menyatakan bahwa umumnya kerugian terjadi dalam pengelolaan keuangan negara, terkait dengan asersi pertama, exsistense (keberadaan) yakni pengadaan fiktif, pengeluaran untuk kegiatan yang tidak pernah ada.
Kedua, right and obligation (hak dan kewajiban) yakni hilangnya dan atau berkurangnya hak entitas secara tidak wajar, bertambahnya dan atau munculnya kewajiban yang tidak wajar.
Ketiga, valuation or allocation (alokasi dan penilaian) yakni penggelembungan nilai asset, pembebanan pengeluaran pada pos-pos yang tidak semestinya.
Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi kini sudah merupakan komitmen pemerintah di seluruh negara dan dilakukan secara global.
Hal ini terbukti dengan diselenggarakannya dua kali Konferensi Dunia tentang Strategi Global Anti Korupsi yang telah diikuti oleh Kepala Pemerintahan dan pejabat setingkat menteri dari kurang lebih 150 negara, yang diselenggarakan di Washington DC Amerika Serikat pada tahun 1999 dan di Den Haag Belanda pada tahun 2001.
Komitmen untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi sedunia tersebut telah menegaskan kembali pentingnya kerjasama seluruh negara untuk memberantas korupsi yang bersifat nasional lintas batas teritorial maupun yang berdampak internasional dengan segala dimensi pelakunya.
Hal tersebut diwujudkan dengan diberlakukannya UNCAC 2003 terutama pasal-pasal yang berkaitan dengan subjek hukum yang diperluas, melakukan percobaan dan penyertaan serta pertanggungjawaban pidana yang diperbarui, kerjasama internasional yang lebih terbuka antara negara pemohon dan yang dimohon, dan pembekuan aset korupsi di dalam dan di luar negeri.
Jawaban atas komitmen tersebut tidak terlepas dari pesatnya perkembangan dan globalisasi dalam bidang ekonomi yang mempunyai dampak bermunculannya pelaku kejahatan baik termasuk materiele dader (pelaku materil/lapangan) maupun proximately yang semakin besar jumlah dalam kejahatan-kejahatan baru di bidang ekonomi baik yang predicate crime-nya (kejahatan asal) korupsi maupun tindak pidana lainnya misalnya penipuan dan penggelapan pajak, tindak pidana perbankan, illegal logging, dan sebagainya.
Dengan demikian terjadi suatu gejala baru tipologi kejahatan yang tidak saja meliputi negara-negara industri, tetapi juga negara dunia ketiga atau negara berkembang, seperti halnya Indonesia karena tindak pidana korupsi pada umumnya tumbuh subur di dalam suatu negara yang memiliki sumber daya ekonomi dan alam yang potensial dan miskin moral, pengetahuan dan kesadaran terhadap kemakmuran bersama.
Karakter pokoknya tindak pidana korupsi selalu dilakukan secara bersama-sama dalam lingkungan yang selalu tertutup dan saling menjaga atau melindungi sesama pelaku.
Karakteristik tindak pidana di bidang ekonomi seperti korupsi dan lainnya dengan kerugian yang sangat besar harus dapat dicegah dan diberantas sejalan dengan pernyataan "Guiding Principles for Crime Prevention and Criminal Justice in the Context of Development and a New International Economic Order" (pedoman prinsip-prinsip pencegahan kejahatan dan pembinaan dalam konteks pembangunan dan ketentuan tata ekonomi dunia baru) pada Kongres PBB ke VII tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Pelaku (Tindak Pidana) di Milan, Italia Tahun 1985.
Pada kongres itu disebutkan dalam Kongres itu, agar setiap negara harus waspada terhadap kejahatan industri dan kejahatan ekonomi yang dinyatakan sebagai berikut, The law governing the functioning of business enterprises should be reviewed and strengthened as necessary to ensure their effectiveness for preventing, investigating and prosecuting economic crime.
In addition, consideration should be given to having complex cases of economic crime heard by judges familiar with accounting and other business procedures.
Adequate training should also provided to officials and agencies responsible for the prevention, investigation and prosecution of economic crimes.
Atau dalam artinya, Hukum yang memerintah fungsi dunia bisnis harus ditinjau kembali dan diperkuat sebagaimana kebutuhan untuk menjamin efektivitas pencegahan, investigasi, dan penuntutan kejahatan ekonomi.
Selanjutnya, pemahaman semacam itu harus diterima hakim dalam menangani kejahatan ekonomi yang kompleks melalui prosedur akunting dan prosedur bisnis lainnya.
Pelatihan yang memadai juga harus diberikan untuk pejabat dan instansi yang bertanggung jawab untuk pencegahan, penyelidikan, serta penuntutan terhadap kejahatan ekonomi.
Berdasarkan data penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dapat diklasifikasikan bahwa modus operandi korupsi banyak sekali dilakukan oleh pengusaha untuk mempengaruhi para penguasa, di samping itu memang ada modus operandi yang klasik dilakukan para pejabat misalnya penggelapan dana masyarakat (embezzlement of public funds) namun yang melibatkan dua pihak biasanya adalah suap, perbuatan curang, dan penerimaan secara tidak sah.
Kegiatan semacam ini juga dilakukan oleh pihak swasta dan karena itu dapat dibedakan antara bureaucratic corruption dan private corruption yang menyamakan kedua jenis korupsi ini dan juga kejahatan ekonomi adalah bahwa para pelakunya adalah pemegang kuasa dalam masyarakat, baik kuasa pemerintahan maupun kuasa ekonomi.
Oleh karena kuasa ini, pada dasarnya dipegang atau diperolehnya atas dasar kepercayaan masyarakat, maka penyalahgunaan kekuasaan ini mempunyai dampak luas.
Hampir semua pelaku korupsi melibatkan banyak pelaku dengan tingkat jabatan dan kedudukan yang bertingkat-tingkat. Kendala yang ada dalam pemberantasan korupsi UUPTPK tidak mengatur mengenai penyertaan secara mandiri.
Subjek tindak pidana korupsi tidak hanya pejabat publik tetapi juga pelaku swasta sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 12 ayat (1) UNCAC 2003.
Berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (1) bahwa pihak swasta dapat ditarik sebagai subjek hukum secara pribadi atau badan hukum dan secara mandiri antar swasta atau bersama-sama dengan penyelenggara negara (pejabat publik) dan berdasarkan data penanganan perkara tindak pidana korupsi di Indonesia, keterlibatan pihak swasta dalam tindak pidana korupsi sangat dahsyat di Indonesia.
Dengan mengacu kepada hal tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa korupsi telah merugikan masyarakat, khususnya masyarakat yang berada di bawah kemiskinan dengan mengalihkan dana yang ditujukan untuk pembangunan, melemahkan kemampuan pemerintah untuk menyediakan layanan dasar, dan menghalangi bantuan atau investasi asing yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Korupsi tidak hanya dilakukan oleh pejabat, pengusaha dan pegawai negeri/swasta, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang yang berhubungan dengan lembaga-lembaga sosial dan bahkan lembaga keagamaan.
Dimanapun, manakala ada kesempatan orang akan melakukan korupsi. Dimulai dari rumah tangga, seorang anak, suami atau istri, ada yang tidak jujur dan tidak bertanggung jawab terhadap amanat yang diterimanya.
Ketika seorang anak diminta belanja dan uangnya lebih, kemudian tidak dikembalikan, maka hal itu merupakan awal dari sebuah praktik korupsi, jika sebagai orang tua, kerap mengabaikan bahkan membiarkan hal-hal kecil berupa kewenangan yang terjadi dalam rumah tangga, maka sama dengan memberikan pendidikan korupsi dalam keluarganya sendiri.
Praktik tidak jujur dapat pula terjadi berupa hubungan sosial pada tingkat kelompok masyarakat/organisasi yang paling kecil/bawah, RT, RW, Dusun dan Desa.
Kutipan dan tarikan iuran dari warga ada pula yang tidak dipertanggungjawabkan, demikian pula kepanitiaan yang dibentuk oleh warga dan dari warga sendiri tidak jarang yang berbuat curang, bahkan tidak sedikit merambah pada panitia pembangunan rumah ibadah yang sakral.
Belum lagi masih sering dijumpai di tengah jalan raya, di siang hari bolong aparat polisi yang notabenenya adalah penegak hukum justru dengan sewenang-wenang meminta denda langsung dengan alasan pelanggaran lalu lintas padahal uang denda dari masyarakat itu hanya masuk kantongnya oknum sendiri, karena tidak jarang proses peradilan lalu lintas tidak diberlakukan.
Uraian di atas barulah realitas kecil yang dapat diungkapkan tanpa harus dengan data-data hasil penelitian yang valid tentang korupsi yang memberikan gambaran bahwa korupsi sebagai tingkah laku pejabat yang menyimpang dari norma telah diterima oleh masyarakat, dengan maksud memperkaya pribadi.
Bentuk lain adalah balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat, dari ilustrasi ini, ciri yang sangat menonjol dalam masalah korupsi adalah tingkah laku pejabat yang melanggar asas pemisahan keuangan pribadi dengan keuangan politik (Noeh,1996).
Korupsi juga terjadi pada tindakan di luar hukum untuk mempengaruhi tindakan dan kebijakan birokrasi, dalam hal ini korupsi ditujukan untuk membeli persetujuan pejabat yang bertanggung jawab dalam penetapan dan melaksanakan kebijakan tertentu.
Misalnya menyogok pejabat untuk mendapat surat izin atau untuk mendapat kemudahan-kemudahan tertentu, menghindari pajak/denda dan lain-lain, di dalamnya terjadi praktik suap yang sangat bertentangan dengan hukum dan keadilan.
Meski ada perlawanan keras dari para koruptor, antara lain dengan cara menyerang balik institusi maupun Kajati selaku Pimpinan Satker dengan menyuarakan setimen-sentimen negatif melalui buzzer yang dengan cepat dapat membentuk opini negatif, namun penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur tetap berjalan sesuai dengan Standar Operasi Prosedur seperti halnya ketika mengungkap Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Pengadaan Barang consumable Pada PT. Inka Multi Solusi (IMS) Tahun 2016-2017.
Tim Penyidik dapat mengungkap bahwa dalam pelaksanaan pengadaan barang consumable di PT INKA Multi Solusi (PT IMS) nyatanya sebagian besar dilakukan oleh tersangka dengan cara melawan hukum untuk memperoleh keuntungan, sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara, dimana seluruh rangkaian perbuatan tersangka bertentangan dengan aturan.
Seperti Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor : PER-15/MBU/2012 tanggal 25 September 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara, Keputusan Direksi PT Industri Kereta Api (Persero) Nomor: 28/SK/INKA/2015 tanggal 18 Maret 2015 tentang Kebijakan Prinsip-Prinsip Hubungan Antara Induk Perusahaan Dengan Anak Perusahaan PT Industri Kereta Api (Persero).
Keputusan Direksi PT Industri Kereta Api (Persero) Nomor: 24A/SK/INKA/2007 tanggal 11 Desember 2007 tentang Kebijakan Sistem Pengendalian Internal PT Industri Kereta Api (Persero).
Peraturan Direksi PT Industri Kereta Api (Persero) Nomor: PER-10/INKA/2016 tanggal 20 Juni 2016 tentang Pedoman Umum Pengadaan Barang Dan/Atau Jasa PT Industri Kereta Api (Persero) Pasal 3 ayat (2).
Peraturan Direksi PT INKA MULTI SOLUSI Nomor: 023/PER/IMS/2017 tanggal 18 Desember 2017 tentang Pedoman Umum Pengadaan Barang Dan/Atau Jasa PT INKA MULTI SOLUSI, Pasal 3 ayat (2).
Nota Dinas Direktur Utama PT RAILINDO GLOBAL KARYA Nomor: 03/ND/RGK/2014 tanggal 18 Desember 2014 tentang Prosedur Permintaan Dan Pertanggungjawaban Uang Muka/Kasbon.
Nota Dinas Direksi Utama PT INKA MULTI SOLUSI Nomor: 009/ND/IMS/2015 tanggal 10 November 2015 tentang Pedoman Sistem Akuntansi PT Inka Multi Solusi dan seluruh rangkaian perbuatan tersangka dalam pengadaan barang consumable di PT INKA Multi Solusi (PT IMS) pada tahun 2016-2017 tersebut diduga mengakibatkan kerugian PT INKA MULTI SOLUSI (IMS) kurang lebih sebesar Rp9.638.931.750,00 (sembilan miliar enam ratus tiga puluh delapan juta sembilan ratus tiga puluh satu ribu tujuh ratus lima puluh rupiah).
Mencermati penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, pada umumnya melibatkan pejabat, dunia usaha, dan pengendali kekuasaan.
Untuk itu perlu dilakukan upaya tindakan konkret, dimulai dari pembenahan aspek hukum, yang sampai saat ini telah memiliki banyak sekali rambu-rambu berupa peraturan-peraturan, mulai dari Tap MPR sampai diperbaharuinya UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di antaranya UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Maka demikian pemberantasan dan pencegahan korupsi telah menjadi gerakan Nasional. Seharusnya dengan sederet peraturan dan partisipasi masyarakat tersebut akan semakin menjauhkan sikap dan pikiran kita dari tindak pidana korupsi.
Indonesia akan mampu menjadi negara maju jika korupsi dapat ditekan semaksimal mungkin, setidak-tidaknya jika Pemerintah beserta seluruh elemen masyarakat, khususnya para Aparatur Pemerintah yang saat ini dikenal sebagai ASN (Aparatur Sipil Negara) telah menyadari akan bahaya korupsi dan benar-benar dapat mengejawantahkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta berbagai kebijakan yang bersifat clean governance yang dimotori oleh pemerintah.
Mari berantas korupsi, kita dituntut berusaha menjadi baik, ya harus menjadi baik; bisa membedakan yang baik dan benar; Jika kita melihat sesuatu yang tidak baik dalam pekerjaan, jauhilah, berusahalah untuk menjadi yang lebih baik. Katakan "Tidak Untuk Korupsi" dan menjadi yang terdepan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
*) Dr. Mia Amiati, SH, MH, CMA adalah Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur
Catatan di akhir tahun dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi oleh Kejati Jatim
Oleh Oleh Dr Mia Amiati, SH, MH Minggu, 31 Desember 2023 19:18 WIB
Bangsa Indonesia yang sedang giat dalam melaksanakan pembangunan sangat membutuhkan suatu kondisi yang dapat mendukung terciptanya tujuan pembangunan nasional yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila