Jakarta (ANTARA) - Setelah RS Al-Shifa diserang Israel pekan lalu, RS Indonesia di Gaza menjadi satu-satunya fasilitas kesehatan di Gaza Utara yang masih bisa merawat pasien.
Kebanyakan rumah sakit di Gaza tak lagi berfungsi karena sudah tak dialiri listrik dan bahan bakar, selain obat-obatan serta air yang langka, sehingga operasional rumah sakit praktis terhenti.
Ambulans pun tak bisa dipakai karena tak ada bensin untuk menghidupkannya.
Ambulans yang dipakai pun belum tentu selamat karena Israel ngotot menganggap semua fasilitas kesehatan adalah alat Hamas.
Ketika Jusuf Kalla yang waktu itu wakil presiden Republik Indonesia meresmikan RS Indonesia pada 9 Januari 2016 setelah dibangun sejak 2011, rumah sakit itu adalah yang pertama yang dibuka di Gaza dalam sepuluh tahun terakhir.
Rumah sakit berkapasitas 110 tempat tidur itu di antaranya menawarkan klinik rawat jalan, bedah umum dan ortopedik, serta perawatan paru.
Tujuh tahun lalu, RS itu adalah satu-satunya rumah sakit Gaza yang memiliki pemindai CT modern.
Rumah sakit senilai 9 juta dolar AS itu didanai oleh organisasi kemanusiaan Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) dari donasi masyarakat Indonesia.
Tujuh tahun kemudian, perang Gaza yang pecah sejak Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober 2023 memperburuk situasi kesehatan di Gaza.
Ketika keadaan semakin buruk, hanya ada satu dua rumah sakit yang beroperasi di Gaza, termasuk RS Indonesia.
Yakin semua fasilitas publik dimanfaatkan Hamas, Israel mengembangkan teori liar mengenai ruangan-ruangan yang terhubung ke labirin-labirin bawah tanah di mana Hamas mereka yakini merancang perang, menghindari serangan, dan menahan sandera.
Ruangan itu ada di mana-mana, termasuk rumah sakit. Dengan alasan ini, pekan lalu, Israel menyerbu rumah sakit Al-Shifa.
Apatisme Barat dan Amerika Serikat yang biasanya paling nyaring berteriak soal kemanusiaan, membuat perilaku Israel semakin menjadi-jadi.
Senin 20 November lalu, giliran RS Indonesia di Beit Lahia, Gaza, diserang. Sedikitnya 12 orang tewas di sini.
Dari cuplikan video viral yang dibenarkan geolokasi oleh media-media global seperti New York Times, belasan tank Israel berada hanya seratusan meter dari RS Indonesia.
Menurut staf medis di RS Indonesia di Gaza, lantai dua rumah sakit itu ditembaki artileri Israel, padahal di sana puluhan pasien tengah lelap tertidur.
"Kacau, gelap dan kilatan api di lantai itu, membuat sulit sekali mengungsikan yang mati dan terluka," kata Mohamad, seorang perawat di RS Indonesia di Gaza, seperti dilaporkan AFP.
Ketua Presidium MER-C Sarbini Abdul Murad mengungkapkan di dalam RS Indonesia itu ada 700 orang luka-luka yang sedang dirawat dan sekitar 5.000 pengungsi.
"Jadi tidak ada alasan yang kuat bagi Israel untuk menyerang karena di dalam Rumah Sakit Indonesia terdiri dari pasien-pasien yang sedang dirawat," kata Sarbini dalam jumpa pers di Jakarta pada Senin (20/11).
Informasi bohong
Pemerintah Indonesia dan sejumlah negara, mengecam keras serangan Israel ke RS Indonesia itu.
Serangan itu dianggap terang-terangan melanggar hukum perang dan Konvensi Jenewa yang mengatur kondisi-kondisi saat perang.
Salah satu kondisi itu adalah netralitas medis, bahwa fasilitas dan pemberi layanan medis, tak boleh diserang. Pelanggaran terhadap netralitas medis adalah kejahatan perang.
Netralitas medis dianggap dilanggar jika tenaga profesional kesehatan, fasilitas kesehatan termasuk ambulans, dan pasien, diserang.
Profesional kesehatan yang dihalang-halangi menjalankan tugasnya juga termasuk melanggar Konvensi Jenewa.
Konvensi Jenewa juga menyatakan fasilitas kesehatan atau rumah sakit yang digunakan untuk menyerang musuh adalah juga kejahatan perang, terlebih jika dipakai sebagai tempat melancarkan serangan dan pos komando terselubung.
Yang terakhir itu yang sering digunakan Israel sebagai dalih untuk menyerang rumah sakit.
Sayang, Israel sejauh ini tak menyertakan bukti kuat untuk menyatakan rumah sakit di Gaza dimanfaatkan Hamas untuk menyerang mereka.
Bukti terkuat Israel sejauh ini adalah citra grafis tiga dimensi mengenai terowongan dan bangunan bawah tanah di atas rumah sakit, termasuk di atas RS Al-Shifa.
Salah satu media Barat, Sky News, mengaku mendapatkan bukti meyakinkan bahwa rumah sakit telah dimanfaatkan Hamas dan kelompok-kelompok militan di Gaza, sebagai basis militer.
Bukti itu adalah CCTV di sebuah rumah sakit di Gaza, yang memperlihatkan seseorang yang diduga sandera, dibawa masuk ke sebuah ruang operasi di rumah sakit itu.
Terlihat juga beberapa orang diseret masuk ke sebuah lorong dalam rumah sakit.
Israel menyimpulkan orang yang diseret itu adalah sandera yang hendak dibawa ke sebuah ruang di rumah sakit itu atau ke ruangan di bawah bangunan rumah sakit tersebut.
Namun, bukti itu sumir, selain karena bertanggal 7 Oktober, juga tak bisa membuktikan orang-orang itu sebagai sandera Hamas.
Otoritas kesehatan Palestina di Gaza sendiri membantah tudingan itu.
Faktanya, Israel acap memberikan informasi bohong atau salah, seperti umum dilakukan pihak-pihak yang tengah berperang di mana pun.
Pemindahan paksa
Beberapa hari lalu, Juru Bicara Angkatan Bersenjata Israel Daniel Hagari memamerkan sesuatu yang dianggapnya bukti bahwa RS Al-Rantisi di Gaza telah digunakan Hamas untuk menahan sandera.
Hagari menunjuk secarik kertas yang disebutnya jadwal menjaga sandera, hanya karena ada tulisan tangan "Banjir Al-Aqsa" yang merupakan nama operasi Hamas di Israel pada 7 Oktober.
Ternyata, bagi mereka yang paham bahasa Arab di mana 20 persen penduduk Israel adalah orang Arab, kertas itu tak lebih dari nama-nama hari dalam sebuah kalender, karena potongan kertas itu memang kalender.
Hagari lalu menyampaikan bukti lain berupa tirai yang dibentangkan di dinding tak berjendela di sebuah bangunan.
Hagari langsung berspekulasi bahwa "tak alasan lain untuk melakukan hal semacam ini kecuali ingin memfilemkan sandera".
Ternyata, bagi orang Palestina, membentangkan kain di dinding adalah bentuk hiasan dalam rumah yang umum dilalukan.
Lantas apa alasan Israel menyerang rumah sakit-rumah sakit itu?
Menurut sejumlah pakar yang analisisnya disiarkan oleh laman stasiun televisi Qatar, Al-Jazeera, Israel hanya ingin memberi pesan kepada warga Palestina, bahwa tak ada tempat aman bagi mereka.
Dengan memberi pesan semacam ini, Israel memaksa warga Palestina untuk berpikir dua kali sebelum membantu atau bahkan cuma bersimpati kepada Hamas.
Dengan cara itu, organisasi perlawanan Palestina itu tak lagi mendapatkan pijakan. Sebaliknya, Israel menjadi kian anteng menggebuk Hamas dan kelompok-kelompok militan seperti Jihad Islam.
Israel juga semakin tenang menjalankan aksinya karena mendapatkan restu dari Barat, khususnya Amerika Serikat.
Padahal, apa yang dilakukan Israel di Gaza nyaris tak berbeda dari apa yang dilakukan Rusia di Ukraina, menyerang fasilitas sipil secara membabi buta, tanpa disertai bukti, melainkan asumsi yang tak bisa diverifikasi secara independen.
Bedanya, Barat melangkah jauh di Ukraina dengan menjadikan Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai tersangka penjahat perang. Salah satu alasannya adalah memindahkan paksa anak-anak Ukraina ke Rusia, yang sudah merupakan bentuk pembersihan etnis.
Akan tetapi Barat tak melakukan apa-apa terhadap pemimpin-pemimpin Israel, termasuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Padahal, memindahkan paksa warga Palestina dari Gaza utara ke selatan juga termasuk kategori melanggar hukum internasional, bahkan prolog menuju pembersihan etnis.
Ironisnya, setelah Israel meminta warga Gaza utara pindah ke selatan, Gaza selatan pun ternyata dijadikan sasaran serangan
Israel juga semakin aktif menyerang rumah sakit yang sudah tak bisa lagi merawat yang sakit.
Padahal, warga Gaza menganggap rumah sakit sebagai satu-satunya tempat aman untuk berlindung, bukan hanya karena dilindungi hukum perang dan Konvensi Jenewa, tapi juga karena yakin tak bakal disentuh oleh pihak-pihak yang berperang.
Kini, ketika rumah sakit sengaja diserang dan dihancurkan, tidakkah itu membuat Palestina bertanya, "apakah ada negara atau rezim yang tega menyerang rumah sakit, kecuali teroris?"
Konvensi Jenewa dan Rumah Sakit Indonesia di Gaza
Kamis, 23 November 2023 7:47 WIB