Surabaya (ANTARA) - Di penghujung Oktober, terdapat momentum bersejarah yang diperingati setiap tahunnya oleh masyarakat Indonesia, yaitu Hari Sumpah Pemuda.
Kongres Pemuda Kedua yang diadakan pada 28 Oktober 1928, melahirkan suatu ikrar yang mempertegas cita-cita para pemuda terhadap Tanah Air Indonesia, Bangsa Indonesia, dan Bahasa Indonesia.
Salah satu peristiwa bersejarah yang turut terjadi hari itu adalah dikumandangkannya lagu Indonesia Raya pertama kali oleh WR Soepratman dengan iringan gesekan biolanya.
Sejak saat itu, WR Soepratman terus memberikan dampak besar terhadap perjuangan kemerdekaan melalui karya-karyanya.
Menjelang akhir hayatnya, sang pahlawan sempat menghabiskan sisa hidupnya di salah satu rumah sederhana seluas 5x10 meter di kawasan Tambaksati. Pada 10 November 2018 atau bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan, Wali Kota Surabaya kala itu, Tri Rismaharini meresmikan rumah itu sebagai museum untuk mengapresiasi jasa-jasa WR Soepratman.
Dibalik rindangnya Taman 10 November, bangunan yang terletak di Jalan Mangga Nomor 21 tersebut masih berdiri dengan kokoh. Pada bagian depan museum, patung sang pahlawan yang sedang memainkan biola berdampingan dengan bendera Merah Putih, menebar nuansa khidmat bagi pengunjung datang.
Sebelum memasuki museum, pengunjung wajib mengisi data diri secara daring melalui “tiketwisata.surabaya.go.id”. Setelah itu, mengisi data diri di buku tamu pengunjung museum.
Ketika memasuki bangunan tersebut, pengunjung museum dapat menikmati orisinalitas dari rumah milik kakak pertama WR Soepratman tersebut. Denah dan desain rumah yang sederhana, seakan mengajak pengunjung untuk ikut merasakan kehidupan yang dijalani WR Soepratman di rumah ini.
Di sisi kiri, merupakan area ruang tamu yang diberi nama Zona 1. Pada area ini, pengunjung diperkenalkan dengan masa kecil pahlawan melalui foto-foto keluarga dan replika pakaian. Kemudian, di sisi kanan, terdapat dua kamar yang diberi nama Zona 2 dan Zona 3.
Zona 2 merupakan kamar yang ditinggali oleh WR Soepratman ketika tinggal di Surabaya. Area ini berisi foto-foto bersejarah mengenai sang pahlawan dari tahun 1925 hingga 1930.
Area ini mengajak pengunjung untuk menyelami masa muda sang komposer ketika terjun ke dalam pergerakan kemerdekaan. Dalam ruangan ini juga terdapat biola dari WR Soepratman dan beberapa partitur dari lagu-lagu ciptaannya.
Ketika memasuki Zona 3, pengunjung dapat mendalami kondisi yang dialami sang pahlawan pada masa-masa terakhirnya.
Ruangan ini juga menampilkan beragam bentuk apresiasi dan penghargaan yang diberikan pemerintah Indonesia untuk mengenang jasa dan karyanya.
Dari museum ini, pengunjung dapat mendalami sisi lain dari sosok WR Soepratman. Selain mendalami seni musik, sang maestro juga terjun ke dalam dunia jurnalistik.
Dalam karirnya, WR Soepratman terlibat dalam gerakan politik pemuda dan berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan. Perkenalan inilah yang menjadi penyebab keterlibatannya dalam Kongres Pemuda Kedua.
Sang penjaga museum, Ahmad Saifuna Arif, menyebutkan bahwa ketertarikan WR Soepratman terhadap dunia pergerakan sudah tertanam dari kecil.
"Ketika Pak Pratman (panggilan akrab WR Soepratman) menginjak usia belasan, beliau ingin mengenyam pendidikan di sekolah Belanda, tapi diusir karena dia pribumi. Lalu dia pun mempertanyakan, dan singkat cerita dia terus berjuang melalui jurnalistik dan musik,” ujarnya ditemui di museum.
Arif menambahkan karya-karya WR Soepratman kala itu membuat sang maestro sering berurusan dengan pemerintahan Hindia Belanda karena dianggap memprovokasi.
Sayangnya, beliau belum sempat menyaksikan kemerdekaan Indonesia, karena pada tahun 17 Agustus 1938 sang pahlawan menghembuskan nafas terakhirnya.
"Uniknya, tanggal wafat dari Pak Pratman itu sama persis dengan tanggal proklamasi kemerdekaan Indonesia. Hal itu merupakan kebetulan yang menarik,” ucap dia.
Nada-nada yang dirangkai berperan penting bagi bangsa ini dalam menyongsong kemerdekaannya. Karya-karyanya yang menggugah semangat cinta Tanah Air masih terkenang hingga saat ini.
"Sampai sekarang, masih banyak generasi muda yang berkunjung ke museum ini, mulai dari kalangan pelajar, dan mahasiswa. Yang berkunjung atas nama kampus atau sekolah sih memang selalu banyak, tapi yang berkunjung secara personal untuk belajar sejarah juga tidak kalah banyak,” tuturnya.