Jumlah Perajin Batik di Tulungagung Terus Menurun
Rabu, 28 September 2011 17:41 WIB
Tulungagung - Jumlah perajin batik tulis di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur kini terus menurun seiring modernisasi dalam hal penciptaan aneka produk pakaian serta ketatnya persaingan pasar.
Sinyalemen itu setidaknya diungkap oleh sejumlah perajin batik tulis tradisional di Desa Majan, Kecamatan Kedungwaru, Rabu.
"Dulu hampir semua orang di kampung ini berprofesi sebagai perajin batik (tulis), namun sekarang jumlahnya tinggal beberapa gelintir saja, setahu kami tidak sampai angka 20," kata Surtiyah, salah seorang perajin batik tradisional di Desa Majan.
Dia dan juga beberapa perajin batik tulis lain memang tidak memiliki angka spesifik mengenai jumlah perajin dimaksud. Namun, mengingat kawasan Desa Majan yang selama ini dikenal sebagai sentra bagi tumbuh dan berkembangnya perajin batik tradisional khas Tulungagung, Surtiyah berani menyimpulkan bahwa tren penyusutan tersebut bukan mengada-ada.
Menurut dia, ada beberapa faktor yang mempengaruhi tren negatif perkembangan kerajinan batik khas Tulungagung tersebut, yakni mulai meningkatnya kesejahteraan masyarakat, modernisasi pakaian, hingga kompleksitas persaingan pasar batik di tingkat lokal maupun nasional.
Surtiyah dan juga perajin batik tulis khas Tulungagung lain menuding buruknya penerimaan pasar produk kerajinan batik tradisional sebagai biang keladi terpuruknya industri batik rumah tangga di kawasan Desa Majan.
Saat ini memang masih ada proses produksi batik tulis dengan corak/motif khas dari Kabupaten Tulungagung (motif gadjah mada), namun volumenya diprediksi sudah jauh menurun.
Produksi batik yang masih berkembang atau bahkan tumbuh subur di "Kota Marmer" saat ini dinilainya sudah tidak murni mengangkat motif khas batik Tulungagung yang biasanya terdiri dari penggabungan lima unsur warna dan terdiri dari berbagai motif lokal yang sengaja dipadukan.
"Harga jual batik tulis kalau ditawarkan ke pasaran dengan cara konvensional biasanya tidak 'nutut' (terlalu rendah) dibanding biaya produksi yang dikeluarkan. Modalnya bisa sampai Rp160 ribu tetapi saat ditawarkan hanya dihargai Rp150 ribu. Hal-hal semacam ini yang membuat perajin batik lambat laun gulung-tikar," ujar Umidatin, perajin batik tulis lain menimpali.
Menyiasati ketatnya persaingan pasar tersebut, sejumlah perajin batik seperti Surtiyah dan Umidatin lantas memilih langkah terobosan, yakni bersinergi dengan kolektor sekaligus eksportir batik tulis yang kemudian dijadikan semacam "induk semang", berani membeli dengan harga lebih tinggi.
Cara tersebut bagi sejumlah perajin batik tulis cukup efektif dalam membantu mereka bertahan di tengah gerusan modernisasi pakaian maupun tata kelola produksi pakaian selama satu-dua dasawarsa terakhir.
Namun demikian, bagi yang tak mampu memperoleh pembeli tetap sebagaimana Surtiyah, para perajin batik tradisional di daerah Majan biasanya akan memilih bekerja untuk industri batik di Sidoarjo.
Maksudnya, mereka mengerjakan batik tulis berdasar pesanan yang telah ditentukan oleh industri/pengusaha batik asal Sidoarjo tersebut karena dinilai lebih efektif dalam menghasilkan uang.
"Kalau sudah begitu, dampaknya motif batik lokal (Tulungagung) biasanya akan 'dicuri' oleh industri batik luar daerah dan diaku sebagai produk asli mereka, bukan lagi batik Tulungagung," ujarnya. (*)