SURABAYA (ANTARA) - Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy Junarsin PhD meminta pemerintah mengevaluasi sektor industri dan perusahaan penerima harga gas murah, karena dinilai membebani keuangan negara.
"Evaluasi oleh pemerintah terkait kebijakan subsidi yang membebani keuangan negara ini jelas harus dilakukan. Tetapi harus ada riset dari Kementerian Perindustrian atau Kementerian PPN/Bappenas. Jadi, harus dilihat apakah manfaat yang didapatkan dari program HGBT sejauh ini melebihi subsidi yang dikeluarkan pemerintah," kata Eddy Junarsin dalam siaran persnya di Surabaya, Selasa.
Ia menilai sejak diberlakukan pada 1 April 2020, program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) dengan bandrol USD 6 per MMBTU telah membuat tekor negara hingga Rp29 triliun. Sementara penerimaan negara dari para pelaku usaha penerima subsidi gas hulu tersebut diperkirakan hanya sekitar Rp15 triliun.
Eddy menambahkan, program HGBT ini otomatis menguntungkan industri yang masuk di dalamnya. Menurut dia, tidak mungkin negara terus menerus memberikan subsidi, sementara penerima subsidi untungnya terus membesar karena subsidi itu.
"Untuk jangka pendek subsidi harus tetap ada, tetapi perlu berbagai perbaikan, termasuk kualitas produk yang dihasilkan harus semakin baik. Selain itu, komunikasi pemerintah harus lebih baik misalnya alasan penetapan HGBT, industri yang dipilih, manfaat yang didapatkan," kata Eddy.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, program harga gas USD 6 per MMBTU menyebabkan penerimaan bagian negara hilang Rp29,39 triliun. Hilangnya penerimaan negara sebesar itu terjadi akibat penyesuaian harga gas bumi setelah memperhitungkan kewajiban pemerintah kepada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).
"Pemerintah menanggung penurunan penerimaan negara sebesar Rp16,46 triliun pada 2021 dan Rp12,93 triliun untuk tahun 2022. Kebijakan HGBT mewajibkan pemerintah untuk menanggung biaya selisih harga dengan mengurangi jatah keuntungan penjualan gas negara sehingga tidak membebani jatah atau keuntungan kontraktor," kata Direktur Jenderal Migas Tutuka Ariadji dalam sebuah rapat dengan DPR pada April 2023.
Menurut Eddy Junarsin, pemberian subsidi harga gas kepada sektor industri selama 2 tahun ternyata juga tidak menjamin adanya peningkatan daya saing dan membesarnya kontribusi penerima subsidi terhadap perekonomian negara. Padahal dua aspek tersebut termasuk bagian dari tujuan pemerintah ketika menetapkan program harga gas USD 6 per MMBTU.
"Meskipun sudah menerima subsidi, belum tentu produk dari industri tersebut semakin kompetitif. Kalau lebih murah mungkin iya. Namun, perlu diingat, ada faktor lain agar produk tersebut kompetitif seperti kualitas, inovasi, quality control, hingga layanan customer service," katanya.(*)