JAKARTA (ANTARA) - Memiliki teman yang jail dan sombong atau keras kepala dan perundung yang mengintimidasi, bukan berarti harus pergi berpindah planet untuk menghindarinya. Keragaman sifat mereka itulah yang membuat pergaulan menjadi berwarna, meski sifat uniknya kerap memercik konflik.
Gambaran pergolakan batin Nobita itu tertuang apik dalam film "Doraemon The Movie: Nobita’s Sky Utopia" yang saat ini tengah tayang di bioskop tanah air. Petualangan Nobita mencari kesempurnaan ke negara fantasi Utopia bermula dari cerita Hidetoshi Dekisugi yang membaca buku fiksi.
Dekisugi sudah memperingatkan bahwa negara Utopia tidak benar-benar ada, namun cerita tentang negara yang penduduknya bahagia tanpa konflik itu telah membuat Nobita penasaran. Tak berhasil membujuk Doraemon untuk mencari Utopia, Nobita kabur ke hutan belakang sekolah. Saat merebahkan tubuhnya menatap ke langit, tiba-tiba Nobita melihat Utopia, negara berbentuk bulan sabit di angkasa.
Nobita berlari pulang mengabarkan apa yang dilihatnya itu kepada Doraemon. Setelah mencari berbagai referensi mengenai Utopia, mereka bersiap melakukan perjalanan petualangan dengan mengajak Shizuka Minamoto. Tapi Suneo Honekawa dan Takeshi Gouda (Giant) yang mencuri dengar rencana itu (seperti biasa) memaksa ikut serta.
Berangkatlah mereka (Doraemon, Nobita, Shizuka, Suneo, dan Giant) terbang menggunakan pesawat penjelajah waktu menuju ke Afrika di tahun 1972. Meski sempat mendapat serangan hingga pesawat mengalami kerusakan, rombongan petualang itu berhasil mendarat di negara Paradapia berkat pertolongan robot kucing hitam dari abad ke-22 Sonya, yang semula menyerangnya.
Hal ganjil kemudian terasa saat menemukan Paradapia yang disebut sebagai negara sempurna dengan semua penduduknya bahagia. Suasana di Paradapia yang serba modern dan megah rasanya kurang masuk akal untuk menggambarkan Afrika di tahun 1972. Meski film itu merupakan animasi dan fiksi tapi semestinya tetap berbasis logika agar tidak terlalu bernuansa khayalan.
Sempurna yang semu
Paradapia merupakan pulau mengapung di angkasa ciptaan tiga serangkai Tiga Orang Bijak (Three Sages) bersama Profesor Ray sebagai ahlinya. Segala fasilitas yang terdapat di dalamnya layaknya surga yang membuat Nobita ingin tinggal di sana. Sonya sang penjaga Paradapia membawa sekawanan petualang itu kepada majikannya Tiga Orang Bijak, dan keinginan Nobita dikabulkan.
Memulai kehidupan baru di negara Parapadia membuat Nobita kelabakan. Dia yang biasa dengan gaya hidup semaunya menjadi kesulitan beradaptasi di negara yang serba teratur dan seragam itu. Di Parapadia semua penduduk harus tidur malam pada jam delapan dan bangun pagi pada pukul lima. Semua kegiatan terjadwal dengan tertib dan semua peserta dapat menyelesaikannya dengan sempurna, kecuali Nobita.
Pemandangan yang seolah sempurna itu ternyata hasil rekayasa, semua penduduk negeri di awan ini telah dicuri hatinya melalui teknologi sorotan sinar terang seperti laser, hingga mereka semua tunduk dan patuh di bawah kendali Tiga Orang Bijak. Rahasia itu terungkap melalui Hannah, seorang siswi yang bersekolah di Paradapia bersama sahabatnya Marimba.
Kondisi Nobita yang tetap sama dan tampak berbeda dengan teman-temannya yang telah berubah sempurna, rupanya karena tidak mempan dihipnotis dengan sorotan sinar pencuri hati oleh komplotan penguasa Paradapia.
Mendengar pengakuan dari Hannah, Nobita dan Doraemon bermaksud ingin menyelamatkan teman-temannya untuk kabur dari negara penuh rekayasa tersebut, namun terlambat karena ketiganya (Shizuka, Suneo, Giant) telah berubah.
Dalam upaya melarikan diri terjadilah peperangan, atas perintah Three Sages, Sonya menyerang Doraemon dan Nobita. Dalam kegentingan saling serang, keduanya menasihati Sonya agar menyadari bahwa yang dia lakukan atas kendali para penjahat.
Baik untuk dipetik
"Doraemon The Movie: Nobita's Sky Utopia" merupakan film seri ke-42 dari animasi Doraemon karya Fujiko F. Fujio. Film berdurasi 107 menit itu disutradarai Takumi Doyama berdasarkan skenario yang ditulis Ryota Furusawa.
Film diisi oleh sejumlah pengisi suara, seperti Wasabi Mizuta sebagai Doraemon, Megumi Ohara menjadi Nobita, hingga Yumi Kakazu untuk suara Shizuka. Juga, Subaru Kimura sebagai Giant, Tomokazu Seki pada sosok Suneo, hingga Ren Nagase untuk karakter Sonya si kucing hitam.
Doraemon, sinema anak-anak yang rutin tayang di televisi nasional Indonesia menggunakan dubber yang berkarakter dan familiar di telinga pemirsa tanah air. Sehingga ketika menonton versi The Movie dengan pengisi suara yang cenderung ringan (cempreng) membuat karakter para tokohnya jadi terasa asing.
Terlepas dari sedikit kekurangannya, sejumlah pelajaran baik layak dipetik dari film animasi populer asal negeri Sakura itu.
- Metode belajar. Mata pelajaran olahraga matematika yang ditampilkan dalam beberapa adegan dapat menginspirasi penerapan metode belajar yang mengasyikkan. Matematika yang umumnya dianggap momok oleh murid sekolah, diramu dalam aktivitas olah raga hingga menjadi permainan yang seru.
- Kekuatan persahabatan. Betapa jailnya Suneo, sikap keras kepala Shizuka, dan tindak “kriminal” Giant, serta payahnya Nobita, tetapi ketika dalam kondisi bahaya otomatis rasa kebersamaan mereka langsung terbentuk solid sehingga mampu lolos dari situasi sulit. Di hampir akhir cerita, Sonya pun memperoleh pelajaran tentang persahabatan itu dengan mengorbankan diri mengangkut tas sampah raksasa yang membara.
- Indahnya perbedaan. Segala yang diseragamkan secara paksa itu bukan hal yang sempurna. Manusia dicipta dengan karakter uniknya masing-masing, dari perbedaan itulah pergaulan sosial menjadi indah karena berwarna.
- Merdeka itu berharga. Menjadi manusia merdeka adalah hak yang paling asasi. Hati ibarat chip pada tubuh manusia, bila itu dicuri dan dikendalikan pihak lain, maka dia kehilangan sifat naturalnya sebagai manusia. Hidup tak ubahnya seperti robot belaka.
Sekembalinya dari negara Paradapia, Nobita menyadari betapa “payah” dirinya namun tidak perlu mengejar kesempurnaan untuk menjadi bahagia.
Bagaimana menjengkelkannya sikap orang-orang di sekitar, hanya perlu siasat untuk menyikapinya. Jangan pernah berharap mereka menjadi seperti yang kita inginkan. Karena di situlah letak seni membangun harmonisasi dalam pergaulan.
Petualangan bersama Doraemon ke Paradapia juga memberi pesan bahwa seindah apa pun negeri khayalan, masih lebih indah negeri sendiri yang kita huni. “Dunia sudah hebat apa adanya”!
Menyaksikan kesuksesan film Doraemon yang digemari pemirsa dari berbagai usia, rasanya jadi banyak berharap pada industri sinema tanah air, kapan kiranya akan menyajikan film animasi dalam negeri ke layar lebar di antara kesibukan memproduksi film horor.