Suku Osing Gelar Ritual "Barong Ider Bumi"
Kamis, 1 September 2011 16:07 WIB
Banyuwangi - Ratusan suku Osing di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, menggelar upacara adat atau ritual "Barong Ider Bumi" untuk memeriahkan Hari Raya Idul Fitri 1432 Hijriah di desa setempat, Kamis.
Tradisi bersih desa tersebut digelar setiap tahun yang biasanya dilaksanakan pada tanggal 2 Syawal karena merupakan agenda tahunan yang dilakukan Suku Osing.
Sesepuh adat Suku Osing, Siraj, mengatakan masyarakat Osing percaya bahwa ritual Barong Ider Bumi dapat mengusir wabah penyakit (pageblug) dan bencana yang melanda Desa Kemiren.
"Ritual Barong Ider Bumi dilakukan pertama kali pada tahun 1840-an saat Kabupaten Banyuwangi masih bernama Blambangan, saat itu Desa Kemiren diserang wabah penyakit aneh yang menyebabkan ratusan warga meninggal dunia," tuturnya.
Selain itu, kata dia, ratusan hektare sawah juga diserang hama sehingga menyebabkan gagal panen, kemudian warga meminta petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk mengatasi wabah tersebut.
"Salah seorang sesepuh adat Desa Kemiren yang bernama Mbah Buyut Cili mendapatkan wasiat melalui mimpinya untuk mengatasi wabah aneh itu," katanya.
Dalam mimpinya disebutkan bahwa untuk mengusir penyakit dan hama yang melanda Desa Kemiren, penduduk desa harus mengadakan selamatan kampung dengan menggelar ritual arak-arakan barong untuk menolak datangnya bencana.
"Setiap 2 Syawal dilakukan ritual Barong Ider Bumi dengan iringan berbagai macam musik tradisional karena dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai ritual tolak bala," paparnya.
Dalam ritual tersebut, barong harus diarak keliling desa dengan diiringi pembacaan tembang Jawa (macapat) yang berisi doa dan pemujaan terhadap Tuhan dan nenek moyang untuk menolak bahaya yang mengancam keselamatan penduduk desa setempat.
Dengan melakukan tradisi Barong Ider Bumi, suku Osing berharap mendapatkan keselamatan, penyembuhan, kesuburan, dan pembersihan diri dari semua kesalahan yang pernah mereka lakukan pada tahun sebelumnya.
"Saat ini masyarakat tetap melestarikan ritual tersebut dengan tujuan menolak bala sekaligus sebagai ajang mempererat tali silaturahmi antar warga desa setempat," katanya menambahkan.