Ludruk Bondowoso Kesulitan Cari Pemeran Utama Pria
Kamis, 18 Agustus 2011 14:14 WIB
Bondowoso - Kesenian tradisional ludruk di Kabupaten Bondowoso, Jatim, kesulitan mencari pemeran utama pria karena selain persyaratan wajah juga harus memiliki suara yang bagus.
"Sekarang grup saya punya pemain pria utama hanya satu, padahal usianya sudah mendekati 30 tahun. Kalau sudah di atas 30 tahun harus mencari penggantinya," kata Suminto, pimpinan seni ludruk Nyandang Trisno, kepada ANTARA di Bondowoso, Kamis.
Ia menjelaskan, peran utama pria memerlukan wajah yang tampan agar menjadi daya tarik bagi penonton saat memainkan lakon tertentu. Sementara untuk suara bagus diperlukan karena dalam adegan-adegan tertentu si pemain harus bernyanyi.
"Ada pria yang memenuhi syarat keduanya, tapi tidak berminat untuk bermain ludruk. Itulah sulitnya, karena memerlukan keahlian yang bermacam-macam," kata pria yang menekuni ludruk sejak 1959 itu.
Untuk pemain utama perempuan, katanya, dirinya tidak kesulitan karena banyak penyanyi karaoke yang bersedia diajak bergabung jika grup Nyandang Trisno mendapat tanggapan di suatu tempat.
Ia menjelaskan bahwa pada bulan sebelum dan saat Ramadhan, grupnya bisa tampil di tujuh tempat dalam satu bulan. Di satu tempat bisa tampil dua atau tiga malam untuk memeriahkan acara pernikahan di kalangan masyarakat perdesaan.
Ludruk pimpinan Suminto beranggotakan sekitar 30 orang yang berasal dari berbagai daerah di Bondowoso dan sebagian dari Jember. Sementara warga di desanya sendiri, Dawuhan, Kecamatan Tenggarang, Bondowoso, tidak banyak yang tertarik bermain ludruk.
"Karena itu pemain grup saya ini juga sering dipinjam oleh grup lain, asalkan Grup Nyandang Trisno tidak sedang ada tanggapan. Pinjam meminjam pemain itu sudah biasa, karena dengan demikian para pemain itu punya penghasilan tambahan," katanya.
Suminto memang tidak bisa menjamin kebutuhan hidup para pemainnya yang umumnya bekerja sebagai petani atau buruh tersebut. Meskipun demikian, setiap sekali pentas para pemain diberi upah Rp100 ribu ditambah uang bensin Rp20 ribu.
Bayaran tersebut dinilainya cukup untuk ukuran masyarakat desa, karena di luar acara pentas, mereka masih bisa bekerja yang lainnya. Namun demikian, ia berharap pemerintah memperhatikan nasib para seniman tersebut agar kesenian tradisional di Bondowoso tidak punah.