Surabaya (ANTARA) - Pakar Hukum pidana dari Universitas Bhayangkara (Ubhara) Surabaya M Sholehuddin menyebut kasus penggelapan bahan bakar minyak (BBM) yang terjadi di kapal-kapal milik perusahaan pelayaran PT Meratus Line bukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
"Untuk menjadikan sebuah perkara pidana biasa menjadi TPPU harus memenuhi sedikitnya tiga unsur tahapan dalam proses perbuatannya," katanya saat memberi keterangan sebagai Ahli dalam persidangan perkara tersebut di Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis (23/2).
Perkara ini menyeret sebanyak 17 terdakwa dari karyawan PT Meratus Line dan perusahaan pemasok BBM PT Bahana Line.
PT Meratus tercatat sejak tahun 2015 menggunakan jasa pelayanan PT Bahana Line untuk memasok BBM ke kapal-kapalnya. Hingga tahun 2021, Meratus mengaku dirugikan senilai Rp500 miliar dan menuding pihak direksi PT Bahana Line terlibat yang terindikasi melakukan TPPU.
Di hadapan Majelis Hakim yang diketuai Sutrisno, Sholehuddin menjelaskan tiga unsur tahapan perbuatan yang setidaknya harus terpenuhi dalam TPPU, yaitu placement atau penempatan, layering atau transfer dan integration atau penggunaan harta kekayaan.
"Tiga tahapan perbuatan itu harus dilalui semuanya agar dapat disebut sebagai TPPU," ujarnya.
Sholehuddin mencontohkan, TPPU jika diawali dengan perkara penggelapan atau penipuan, harus disertai dengan kejahatan lanjutan, yaitu menempatkan kekayaan dari hasil tindak pidana penggelapan atau penipuan tersebut.
Maka menurutnya perkara penggelapan BBM di kapal-kapal Meratus yang terjadi sepanjang tahun 2015 - 2021 tidak serta merta bisa menjadi TPPU.
"Perkara TPPU memang tergolong baru sehingga banyak yang belum paham serta tidak bisa membedakannya. Contohnya hasil kejahatan penggelapan yang digunakan atau dibelikan sesuatu tidak langsung masuk TPPU, kecuali melalui penyamaran dengan tiga syarat yang sifatnya kumulatif dan double criminality dengan proses tahapannya yang sudah saya jelaskan tadi," ucapnya. (*)