Seorang perempuan separuh baya berbadan tinggi besar sedang duduk di sebuah sofa di sebuah lobi hotel di Kota Madinah. Perempuan yang mengenakan baju abaya hitam lengkap dengan jilbabnya yang juga berwana hitam itu bernama Umi Mashita. Ketika melihat ada seorang ibu keluar dari pintu lift hotel, ia langsung beranjak dari tempat duduknya dan menyapa ibu tersebut, "apakah ibu rombongan Mudatur Tavel dari Jakarta", tanya Umi dengan sopan. Ternyata Umi itu adalah seorang "tour guide" yang mengantar ibu-ibu untuk menuju lokasi "Raudah" atau "taman surga" yang menjadi incaran setiap jamaah haji atau umrah ke Masjid Nabawi, Madinah. Selama ini Raudah diyakini sebagai tempat yang mustajab untuk memanjatkan doa. Untuk menuju Raudah itu memang tidak mudah, karena begitu banyak jamaah yang ingin berebut ke tempat yang mempunyai sejarah bahwa di dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim pun, Raudah digambarkan sebagai tempat yang istimewa. "Di antara rumahku dan mimbarku adalah taman-taman surga dan mimbarku berada di atas telagaku." Begitulah sabda Rasulullah SAW seperti dalam hadis Bukhari dan Muslim. Apalagi kunjungan ke tempat tersebut bagi jamaah perempuan dibatasi, karena ada jam-jam tertentu, berbeda dengan jamaah pria yang bebas memasuki tempat tersebut kapan saja. Jadi bisa dibayangkan ribuan jamaah perempuan yang ingin memasuki "taman surga" itu cukup berdesakan. Namun, berkat bantuan Umi, jamaah perempuan dengan mudah mengikuti aturan yang telah ditetapkan "Asykari (petugas wanita) di sini sudah mengenal saya dan teman-teman," kata Umi, warga Banyuwangi, Jawa Timur, yang sudah tinggal selama sepuluh tahun di sebuah rumah kontrakan di Kota Madinah itu. Umi tidak sendirian, banyak rekan-rekan Umi yang lain seprofesi, seperti Anisah dan Namirah berasal dari Pamekasan dan Madiun, juga mempunyai tugas yang sama. Mereka bekerja sama dengan petugas travel yang ada di Indonesia untuk mengantar para jamaah perempuan, baik menuju tempat Raudah di Masjid Nabawi, Madinah, bahkan ada sebagian di antaranya yang membatu jamaah yang ingin mencium ?Hajr Aswad? di Kakbah, Masjidil Haram, Mekkah. Seperti biasanya, Umi atau teman-teman seprofesinya itu memberi bimbingan, baik langkah-langkah yang harus diikuti mulai bacaan doa hingga anjuran shalat yang harus dilakukan jamaah mulai memasuki Masjid Nabawi. "Selama jamaah mematuhi aturan, Insya Allah tidak ada hambatan untuk menuju ke lokasi Raudah," kata Umi yang sudah mempunya satu putri dan satu orang cucu itu. Menurut Umi yang tinggal di Madinah bersama suaminya itu mempunyai tugas rutin minimal sehari dua kali mengantar jamaah perempuan ke Raudah. Pekerjaan itu ia tekuni, karena dapat memberikan penghasilan yang menurutnya cukup untuk hidup dan sebagian dikirim ke orangtua dan anaknya di Banyuwangi. "Saya bersama suami di sini bisa menunaikan ibadah haji setiap tahun," katanya dengan nada bangga. Petugas Katering Dorongan untuk bisa beribadah haji setiap tahun tidak hanya dimiliki oleh Umi, namun para tenaga kerja Indonesia lainnya. Mereka beranggapan bekerja dengan jenis pekerjaan yang sama di Tanah Air tidak mungkin bisa beribadah haji setiap tahun. "Memang gaji saya tidak besar, istri saya juga bekerja sebagai pekerja nonformal di sini, tapi Alhamdulillah selama di sini saya sudah bisa menunaikan ibadah haji bersama isteri dan ank-anak sebanyak tujuh kali," kata Masykuri, asal Kalimantan Selatan yang telah tinggal di Kota Madina itu sejak 2003. Ia merasa bersyukur bisa bekerja di sebuah perusahaan penyaji makanan Indonesia, yakni Al Madina Catering. Selain sebagai petugas penyaji makanan , baik bagi jamaah umrah atau ONH plus, ia juga bisa mendapat penghasilan sampingan dari menjual pulsa dan penukaran uang riyal kepada jamaah yang memerlukan. "Alhamdulillah gaji saya cukup untuk biaya hidup, kontrak rumah dan menyekolahkan dua anak saya di sebuah pesantren,? katanya tanpa mau menyebutkan jumlah gaji yang ia terima setiap bulan, karena ia berkeyakinan bahwa ia bekerja untuk beribadah," katanya. Umi maupun Masykuri mempunyai izin resmi untuk bekerja di Madinah, sehingga ia tidak menemui kesulitan untuk tinggal dan memperpanjang izin tinggalnya jika masanya sudah habis. Bahkan diakuinya, untuk mendapatkan izin bekerja ia harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Sementara itu, H. Fawaid Karim, seorang pelajar di sebuah perguruan tinggi di Arab Saudi , yang sudah enam tahun tinggal di Mekkah menggunakan kesempatan untuk bekerja di Tanah Suci itu sebagai seorang Mutawif (pemandu tawaf). Ia sudah menjalin kerja sama dengan beberapa perusahaan perjalanan haji dan umrah yang ada di Indonesia. H. Fawaid dengan cekatan menguruskan semua kebutuhan jamaah mulai dari penjemputan jamaah di bandara hingga membimbing jamaah untuk melakukan tawaf dan sa?i serta menjadi pemandu saat jamaah melakukan 'city tour". Ia tidak mudah dibohongi oleh sopir bus yang berusaha menyalahi janji saat mengantar jamaah berkunjung ke sebuah lokasi wisata, karena ia fasih berbahasa Arab, sekalipun dalam kondisi "marah", sementara para jamaah hanya bengong mendengarkan pertengakaran mereka. Ia mengaku telah dua kali pulang ke kampung halamannya di Sumenp, Madura, Jawa Timur. Sementara mengenai izin tinggal untuk belajar ia mengatakan dengan tersenyum, bahwa semuanya itu bisa diatur. Warga negara Indonesia yang bekerja di Saudi Arabia akan merasa aman bila mempunyai izin resmi tinggal atau bekerja, karena tidak akan mendapat ancaman hukuman dari pemerintah setempat, tapi bagi mereka yang tinggal secara tidak resmi, selalu merasa resah dan khawatir dideportasi atau mendapat hukuman badan di penjara. "Selama tidak berbuat kesalahan dengan majikan, kami akan tetap aman dan mendapat gaji rutin setiap bulan," kata Aidah (34), wanita asal Sumenep yang berangkat ke Saudi Arabia delapan tahun lalu dengan menggunakan visa umrah. Aidah yang mengaku mendapat gaji sekitar 1.400 sampai 1.500 riyal atau sekitar Rp3,3 juta sampai Rp3,6 juta sebulan itu selama delapan tahun tidak bisa pulang karena hanya memiliki paspor dan visa umrah 2003 yang kini sudah "overstay". "Saya tidak bisa menabung untuk biaya pulang karena sebagian uang saya kirim ke induk (rumah) dan sebagian lainnya untuk biaya hidup di sini," kata Aidah yang sedang mendapat cuti dari majikannya untuk menunaikan ibadah umrah bersama rekan-rekannya. Ia juga merasa senang karena setiap dua tahun sekali mandapat izin menunaikan ibadah haji. Kemungkinan bagi Aidah dan para TKI lainnya yang "overstay" sangat sulit untuk pulang kecuali ada "pengusiran" atau kerja sama Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Arab Saudi yang memulangkan mereka. Atau mereka harus mengurus visa secara resmi, tentu dengan biaya yang tidak sedikit. Seandainya di Tanah Air ada pekerjaan yang layak buat seorang Aidah yang hanya tamat sekolah tsanawiyah (setingkat SMP) untuk bisa membiayai hidup keluarga dan menjalankan ibadah haji, mungkin ia tidak akan menjadi 'buron' pemerintah setempat yang harus jauh dari orangtua dan keluarga bahkan anak semata wayangnya. "Tapi ini adalah hidup yang harus saya lakoni untuk bisa bertahan," kata Aidah dengan mata berlinang saat mengetahui ada jamaah Indonesia yang akan kembali ke Tanah Air.
Kisah Para TKI "Survive" di Tanah Suci
Sabtu, 23 Juli 2011 12:13 WIB
