Politik yang Berisik dan Primitif
Jumat, 15 Juli 2011 8:34 WIB
Bagaimana situasi politik di negeri ini digambarkan oleh seorang penulis sastra?
"Saya jadi teringat pada Stenhald, salah seorang sastrawan Prancis, yang menyatakan bahwa politik itu bagaikan suara letusan di tengah suatu pergelaran konser. Terdengar begitu nyaring (dan kampungan), tetapi mau tidak mau kita menoleh juga untuk memperhatikannya," kata Lan Fang.
Bagi penulis kelahiran Banjarmasin yang kini tinggal di Surabaya, sebenarnya "letusan" itu "normal" mengingat politik adalah salah satu bagian dari realitas sosial dalam upaya mencapai dan membagi kekuasaan.
Dalam upaya itu, tentunya terjadi tarik ulur dan perebutan. Dan untuk setiap perebutan dan tarik ulur pasti akan mengakibatkan keberisikan.
"Yang kita lihat dan rasakan sekarang adalah keberisikan politik yang sangat primitif. Hampir semua politisi dan para elite dari tingkat yang paling tinggi sampai lini terendah justru sibuk dengan diri sendiri, sampai pada titik tidak tahu malu," ucap penulis novel Ciuman di Bawah Hujan ini.
Menurut perempuana kelahiran 5 Maret 1970 ini, terlalu banyak aspek yang menjadi penyebab situasi politik seperti sekarang. Pada masyarakat, antara lain karena rendahnya tingkat pendidikan dan tingginya tingkat kemiskinan. Hal itu menyebabkan masyarakat mengambil pilihan sikap politik yang paling cepat, instan dan pendek.
Sementara hal yang kurang tepat dari para politisi sendiri, antara lain mereka menanam investasi politik, bukan investasi sosial. Karena itu biaya politik menjadi besar, tetapi tidak membangun ikatan emosional dengan rakyatnya.
"Kita banyak sekali melihat atau mendengar para politisi yang belum melakukan apa-apa untuk masyarakat tiba-tiba saja sudah menjadi dewan atau kepala daerah," paparnya.
Parpol juga lebih mirip seperti praktik "multi level marketing" (MLM) dengan sistem "member get member", yang lebih menitikberatkan pada merekturut kader sebanyak-banyaknya dimana nanti bisa mendapat profit (kemenangan) sebesar-besarnya.
Parpol, katanya, kemudian menjadi mirip makelar biro jasa para pencari kerja. Padahal, seharusnya parpol menjalankan fungsinya sebagai wadah pendidikan politik yang menitikberatkan pada kualitas sumber daya kadernya.
Lepas dari semua itu, tutur Lan Fang, harus disadari-ditekankan-ditanamkan pada para pelaku politik bahwa berpolitik itu "bukan jenjang karier" seperti dari staf menjadi manager lalu dari manager manjadi direktur.
Berpolitik bukan pula "mengabdi" karena mereka sudah mendapatkan gaji, fasilitas dan tunjangan yang lebih di atas rata-rata rakyat dan sumbernya dari uang rakyat.
Berpolitik itu membutuhkan ketulusan untuk mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri. Ketulusan untuk mendapatkan lebih sedikit, tetapi memberikan lebih banyak, ketulusan untuk tetap berbuat bagi orang lain walau pun tidak mendapatkan kursi jabatan.
"Berpolitik itu adalah ketulusan," ujarnya, menegaskan.