Kediri (ANTARA) - Puluhan peserta dari berbagai latar belakang mengikuti kegiatan Simposium Sastra Pesantren 2022 yang digelar di Pondok Pesantren Tebuireng, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Akhmad Taufiq, salah seorang panitia mengatakan kegiatan simposium ini merupakan salah satu pembahasan menarik di tengah kejumudan wacana sastra mutakhir.
"Tentu ini, menjadi penanda kultural yang baik, sekaligus memberikan ruang baru dinamika sastra, khususnya sastra pesantren di Tanah Air," katanya dalam rilis yang diterima pada Minggu (4/12) malam.
Ia mengatakan Simposium Sastra Pesantren 2022 ini mengambil tema "Merumuskan ulang sastra pesantren" dan digelar di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Kabupaten Jombang.
Ia mengatakan, dalam simposium itu dapat dirumuskan rambu-rambu gagasan dan pemikiran, serta gerakan sastra pesantren, yakni sastra pesantren lahir dari kebutuhan budaya sehingga keberadaannya selalu terikat kemanusiaan dan peradaban ugahari, yang dapat diperlakukan sebagai kode-kode multidimensional minimal empat kode, yaitu kode bahasa, kode sastra, kode budaya, dan kode spiritual.
Kedua, secara definitif dan konstitutif, sastra pesantren selalu memiliki dinamika sendiri dalam satuan ruang dan waktu, sehingga formulasi sastra pesantren tidak membeku dalam satuan zaman dan satuan ruang.
Terdapat hal yang tetap dan berubah dalam perkembangan sastra pesantren. Sastra pesantren lama terkait dengan hal-ihwal yang terdapat di sekitar dunia pesantren. Sastra pesantren baru tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan ke masa-silam , kekinian dan ke masa depan dengan adanya aksentuasi-aksentuasi baru.
"Oleh karena itu, secara holistik, sastra pesantren bersumber dari tradisi sastra lisan, sastra tulis manuskrip, sastra tulis cetak, dan sastra digital," kata dia.
Ketiga, sastra pesantren lahir dari imperatif sejarah kemanusiaan dan peradaban. Oleh karena itu, sastra pesantren hadir secara organik tumbuh dan berkembang dalam lapangan diskursif dan aksional seiring dengan perkembangan pengetahuan, relasi kekuasaan dan dinamika zaman.
Keempat, secara historis, sastra pesantren melintasi batasan-batasan literer dan kultural sehingga sastra pesantren bercorak intergenerasional, interkultural, dan interseksional.
Sebab itu, kata dia, eksistensi, posisi, dan status serta perkembangannya tidak dapat dikotak-kotakan dalam satuan bentuk dan fungsi. Di sinilah corak dan ragam sastra pesantren sering hadir secara bersama-sama dan berkesinambungan dalam keserentakan waktu, walaupun berbeda ruang geografis dan geokultural.
Kelima, untuk ciri penanda distingtif sastra pesantren terletak pada lintas bahasa, ideologi, spirit, elan vital, ruh atau jiwa kepesantrenan yang menekankan tafaquh, syiar, juga ekspresi. Kesadaran diri itulah yang membuat sastra pesantren bergerak dan berkembang sehingga sastra pesantren bercorak integratif sekaligus instrumental antara yang indah, berfaedah dan kamal.
Keenam, sastra pesantren mengandung dimensi dakwah, keislaman, sufistik dan bentuk spiritualisme lain yang dikerangkai oleh sosio-kultur dan religiokultur Indonesia dengan visi menuju manusia sempurna dan rahmatan lil'alamin.
Ketujuh, secara genealogis, sastra pesantren berakar dari tradisi manapun yang mengusung rahmatan lil 'alamin dan kemanusiaan, misalnya Jawa, Melayu, Parsi, dan Arab. Oleh karena itu, sastra pesantren sudah eksis sejak awal kehadiran Islam di Indonesia.
"Jejaring itulah yang membentuk sastra pesantren dengan mengelaborasi beberapa bentuk dan penciptaan yang pernah berkembang lebih dulu," kata dia.
Kedelapan, secara ringkas dan padat, sastra pesantren adalah sastra tentang hal-ihwal pesantren dan kepesantrenan, oleh sastrawan/penulis santri, dan untuk semesta.
Kesembilan, dalam aspek politik kebudayaan, sastra pesantren punya peluang untuk mengembangkan jejaring kultural dalam lintas-batas sastra nasional.
"Oleh karena itu, dalam konteks kekinian, membangun jejaring sekaligus penguatan generasi yang mampu mengembangkan sastra pesantren dalam lintas-batas sastra nasional adalah sebuah kebutuhan," kata dia.
Acara tersebut dihadiri oleh 12 narasumber aktif dan 30 peserta aktif, mulai dari kalangan pondok pesantren, perguruan tinggi, sastrawan, komunitas, dan lainnya. Telah selesai dibicarakan empat topik sebagai berikut, pertama definisi, batasan, dan kandungan sastra pesantren, kedua filsafat, daya gerak dan kesadaran diri sastra pesantren.
Ketiga adalah tradisi, antropologi dan genealogi sastra pesantren, keempat adalah peran ulama, sejarah, dan strategi kebudayaan sastra pesantren.
Puluhan peserta ikuti simposium sastra pesantren di Tebuireng-Kediri
Senin, 5 Desember 2022 8:34 WIB