DPRD Surabaya usulkan Perubahan Nama Raperda Perlindungan Anak
Jumat, 1 Juli 2011 19:55 WIB
Surabaya - Anggota DPRD Kota Surabaya mengusulkan perubahan nama Raperda Penyelenggaraan Perlindungan Anak (PPA) menjadi Raperda Penyelenggaran Tumbuh Kembang dan Perlindungan Anak (PTKPA).
Anggota Pansus Raperda PPA DPRD Surabaya Fatkhur Rohman, di Surabaya, Jumat, mengatakan, perubahan nama raperda tersebut sangat diperlukan, mengingat ada empat hak dasar anak yang harus dipenuhi, yakni, hal hidup layak, hak tumbuh dan berkembang, hak perlindungan serta hak berpartisipasi.
"Dengan demikian, hak anak bukan hanya mendapatkan perlindungan. Tetapi masih ada hak lain yang juga harus terpenuhi," kata Fatkur yang juga Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPRD Surabaya.
Sebenarnya, lanjut dia, masih ada yang lebih penting dari sekadar perubahan nama raperda perlindungan anak menjadi raperda PTKPA yakni peran serta masyarakat.
Persoalan PTKPA bukan semata-mata tanggung jawab pemerintah daerah, melainkan sektor swasta juga perlu dilibatkan dalam PTKPA.
"Ini bisa ditambahkan dalam pasal sendiri, misalkan perihal kewajiban dan tanggung jawab pemerintah memfasilitasi keterlibatan sektor swasta dalam memberikan dukungan terhadap penyelenggaraan tumbuh kembang dan perlindungan anak," katanya.
Terkait keterlibatan swasta sendiri dalam raperda PTKPA bisa dalam bentuk pemberian beasiswa prestasi, beasiswa pendidikan, "sponshorship" dan kegiatan lainnya.
"Itu bisa dimasukkan dalam pasal sendiri untuk memberikan penegasan," cetusnya.
Ia berpendapat, perlu dipertegas bahwa paradigma raperda adalah melakukan perlindungan pada anak, karena itu fokus raperda harus memastikan seluruh variabel yang di luar anak diatur perda sehingga terjadi jaminan tumbuh kembang dan perlindungan anak.
Misalnya, lanjut dia, jika ada seorang anak di bawah 18 tahun berkunjung ke tempat hiburan orang dewasa, maka tidak harus melihat anak tersebut yang berbuat salah, melainkan pengusaha hiburan yang harus diberikan sanksi karena terbukti bersalah melayani anak di bawah umur.
"Anak harus pada posisinya, dibimbing dan dibina, bukan dihukum. Justru sanksi dan pengawalan sistem di luar anak yang harus dikawal," tegasnya.
Memang, lanjut dia, perihal anak di bawah umur berkunjung di tempat hiburan malam sudah diatur dalam Perda Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kepariwisataan yang pada intinya menyangkut adanya jaminan sanksi bagi pihak-pihak yang melanggar khususnya yang terkait dengan perlindungan anak, misalnya tidak bolehnya pengunjung anak dibawah umur pergi ke hiburan malam dan sebagainya.
Selain itu, dalam Perda 2 Tahun 2008 mengatur pula tentang larangan mempekerjakan anak di bawah 18 tahun, namun pada pelaksanaanya masih banyak terjadi pelanggaran atau penyimpangan.
Untuk itu masih perlu adanya singkronisasi antara perda tersebut dengan raperda PTKPA nantinya. "Selama ini (Perda Pariwisata) mandul. Mestinya jika melangar izin usaha bisa dicabut," ujarnya.