Bondowoso (ANTARA) - Boleh dikata, Indonesia sangat kaya dengan tradisi perayaan, baik yang bersifat lokal di suatu daerah maupun yang berlangsung karena peristiwa nasional, bahkan dunia yang dipadu dengan tradisi lokal.
Perayaan yang bersifat lokal banyak kita jumpai di Pulau Bali, khususnya terkait dengan prosesi keagamaan. Demikian juga di Pulau Jawa yang terkait dengan kelahiran anggota keluarga atau hari-hari besar agama, seperti saat masyarakat menyambut datangnya Bulan Maulid atau hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Secara nasional, perayaan yang cukup meriah, tanpa sekat-sekat sosial maupun keagamaan adalah menyambut Hari Kemerdekaan RI yang juga dikenal dengan perayaan 17 Agustus.
Biasanya, sejak memasuki awal Bulan Agustus, masyarakat sudah menghias lingkungannya masing-masing dengan dominasi warna merah putih sebagai representasi bendera bangsa. Setiap rumah juga mengibarkan bendera merah putih sebagai penghormatan kepada perjuangan pendahulu dalam mengusir penjajah.
Jalan-jalan di depan rumah juga dicat sedemikian rupa, gapura atau pagar rumah dihias, termasuk memasang lampu kerlap Kerlip dan aneka warna. Warga berkreasi sedemikian rupa sehingga suasananya terlihat semarak.
Beberapa sesepuh yang dulu ikut berjuang secara fisik melawan penjajah, bahkan menganggap bahwa perayaan kemerdekaan ini sebagai "lebaran" asli Indonesia.
Tak kalah meriah dari menghias rumah, penyambutan Hari Kemerdekaan RI juga diisi dengan berbagai lomba yang sangat khas Indonesia, seperti tarik tambang, panjat pinang, memakan kerupuk, lari karung, lari bakiak, membawa kelereng di atas sendok yang digigit dan memasukkan paku botol dengan menggunakan tali yang diikat di pinggang bagian belakang. Ada juga sepak bola dangdut atau gerak jalan lucu yang pakaian lintas gender.
Secara umum, tradisi-tradisi dari bangsa Nusantara ini tidak lepas dari nilai. Hampir semua yang menjadi kebiasaan masyarakat, memiliki nilai-nilai luhur yang terselip di dalamnya.
Karena itu tradisi-tradisi dalam lomba 17 Agustus itu juga pasti mengandung makna yang hendak diajarkan oleh sesepuh atau bahkan leluhur terdahulu kepada generasi saat ini. Makna-makna itu menjadi modal untuk diaktualkan dalam konteks saat ini.
Pengemasan dalam bentuk permainan, bahkan dilombakan, menunjukkan kecerdasan para leluhur Nusantara dalam pola penanaman nilai-nilai tertentu kepada anak cucunya, sehingga generasi muda tidak merasa dipaksa mengerjakan, bahkan dilakukan dengan penuh keriangan serta kemeriahan.
Nilai umum lainnya dalam lomba-lomba 17-an itu adalah memupuk kebersamaan dan budaya kerja sama yang menjadi fondasi utama saat bangsa kita dulu berjuang mengusir penjajah.
Dalam lomba lari bakiak, nilai kebersamaan itu betul-betul menjadi tuntutan agar peserta mampu mencapai titik akhir, termasuk agar terpilih menjadi juara.
Panjat pohon pinang juga menonjolkan kebersamaan karena tubuh yang di bawah menjadi tumpuan bagi pemanjat di atasnya. Jika peserta yang di bawah tidak bekerja sungguh-sungguh, maka akan sulit tim itu mencapai puncak dan meraih hadiah. Ada nilai keuletan juga dalam lomba ini karena pohon pinang sudah diolesi oli sehingga licin saat dipanjat.
Lomba lari bakiak juga mengandung nilai-nilai yang sama dengan panjat pohon pinang. Pada lomba ini peserta menggunakan bakiak panjang yang menampung beberapa kaki peserta. Satu saja peserta tidak mematuhi kekompakan saat berlari, maka grup itu tidak akan bisa mencapai finis. Perlu kerja sama anggota kelompok untuk meraih tujuan bersama, begitu juga dengan perjuangan leluhur kita saat berperang melawan penjajah.
Selain lomba berkelompok, ada juga jenis lomba individu sehingga tidak mensyaratkan kekompakan. Contohnya lomba karung. Dalam lomba ini nilai yang bisa kita petik adalah kerja keras dan pantang menyerah.Meskipun memiliki keterbatasan bergerak karena dari kaki hingga leher terbungkus karung, peserta harus berjuang keras agar cepat-cepat mencapai garis finis.
Lomba lari kelereng juga bersifat individu dengan kandungan nilai fokus pada sesuatu agar kelereng tidak jatuh saat dibawa berjalan cepat menuju finis.
Kelereng yang bundar kecil ditaruh di sendok yang ujung sendok itu digigit oleh peserta lomba.
Sementara lomba memasukkan paku ke dalam botol juga mengandung nilai ketelatenan dalam mengerjakan sesuatu. Bayangkan, seseorang disuruh berjalan dengan membawa gantungan paku yang ditalikan di bagian belakang pinggang. Peserta harus memasukkan paku itu ke dalam botol dengan berlomba paling cepat.
Pada lomba makan kerupuk juga mensyaratkan kesabaran dan biasanya diikuti oleh anak-anak atau justru orang tua-tua. Kerupuk digantung dengan tali sesuai tinggi kepala peserta. Peserta harus memakan kerupuk itu hingga habis, tanpa menggunakan bantuan tangan. Bagi yang kurang sabar, yang didapatkan hanya kerupuk berputar-putar dan tidak bisa cepat habis.
Seolah tidak terima dengan jenis lomba yang itu-itu saja, generasi muda kemudian menciptakan jenis perlombaan baru, yang mengandalkan kemeriahan karena lucu, seperti permainan sepak bola laki-laki mengenakan pakaian daster, gerak jalan dengan laki-laki berdandan ala perempuan.
Apapun bentuk lombanya, kemeriahan Hari Kemerdekaan RI itu menggambarkan keguyuban dan jiwa gotong royong bangsa kita. Di tengah situasi apapun, masyarakat Indonesia selalu memiliki energi besar untuk bertahan. Menghadapi COVID-19 dalam dua tahun terakhir adalah contoh nyata bagaimana mental "pejuang yang tak mengenal kata menyerah" menjadi bagian tak terpisahkan dari diri bangsa ini. (*)
Beragam lomba "tujuh belasan" yang penuh makna
Selasa, 16 Agustus 2022 20:32 WIB