Bondowoso (ANTARA) - Agustus merupakan bulan ketika Merah Putih berkibar di mana-mana. Dwiwarna itu memenuhi ruang-ruang ekspresi kesyukuran dan perayaan atas nikmat Tuhan yang diterima oleh bangsa ini berupa kemerdekaan.
Ekspresi itu bukan hanya memenuhi ruang-ruang fisik, seperti di pinggir-pinggir jalan, di rumah-rumah, dan lingkungan masyarakat. Ekspresi kegembiraan itu juga memenuhi ruang nonfisik, yakni di hati bangsa kita.
Semua warga merasakan aura yang mengalir dari spirit para leluhur bangsa bagaimana negara bernama Indonesia ini tegak dan hidup hingga saat ini, dengan pengorbanan. Pengorbanan harta benda, bahkan darah dan nyawa.
Merah Putih bisa berkibar bukan saja bisa dimaknai dalam konteks ideologi berbaju nasionalisme dan patriotisme. Kibaran dua warna yang melambangkan keberanian dan kesucian ini juga memiliki makna yang dalam secara spiritual.
Ulama besar milik bangsa ini, yakni Maulana Habib Lutfi mengingatkan kita untuk menyelami Merah Putih dengan tiga roh di dalamnya. Roh itu harus merasuk ke dalam jiwa bangsa ini untuk bekal menatap dan menjalani masa depan.
Rais Aam Jam'iyyah Ahlith Thariqah al-Mu'tabarah an-Nahdliyyah (Jatman) dengan nama lengkap Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Umar bin Thaha bin Yahya Ba’alawi Al-Husaini yang juga Ketua Forum Sufi Internasional ini mengemukakan bahwa di Merah Putih itu memang tidak ada tulisan atau kata-kata.
Meskipun demikian, di Merah Putih-- yang tanpa tulisan itu-- setidaknya ada tiga roh bersemayam di dalamnya.
Ketiga roh itu adalah kehormatan bangsa, jati diri bangsa, dan harga diri bangsa. Karena itu bagi Habib Lutfi yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) tersebut, wajar kalau dalam suasana peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia ini Merah Putih dikirab dan dikibarkan di mana-mana.
Selain mengajak generasi muda yang rentang waktu lahir dengan momen Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 ini cukup jauh, pengungkapan tiga roh Merah Putih itu juga mengajak semua komponen bangsa untuk menjaga komitmen kecintaan pada Tanah Air.
Sebagai roh, spirit Merah Putih bukan hanya berkibar setahun sekali pada momen Agustus, melainkan sepanjang masa di dalam jiwa kita.
Merah Putih harus menjadi jiwa kita, dan jiwa kita harus diliputi oleh spirit Merah Putih itu.
Sebagai negara dan bangsa yang dilahirkan dengan penuh perjuangan dan pengorbanan, maka seharusnyalah generasi pengisi kemerdekaan tidak lepas dari sejarah masa lalu yang ingin mewujudkan masyarakat aman, damai, dan sejahtera.
Ketika spirit Merah Putih itu terus melumuri jiwa dan raga seluruh komponen bangsa, maka pikiran dan perilaku kita harus diikhtiarkan untuk kemakmuran bersama, bukan kemakmuran sendiri dan kelompok.
Semua komponen bangsa dengan ragam tugas dan perannya masing-masing, tidak boleh mengotori kesucian dari roh yang dikandung dalam Merah Putih itu.
Segala bentuk penyimpanan dalam kita menjalankan tugas, adalah pengkhianatan dan pengingkaran pada roh Merah Putih dan perjuangan serta pengorbanan dari para leluhur kita. Penyimpangan itu sedang menunjukkan bahwa Merah Putih tidak sedang berkibar di hati dan jiwa kita.
Baca juga: Merayakan Kemerdekaan dengan Cinta Indonesia pada era digital
Wahana pendidikan
Peringatan HUT Kemerdekaan yang setiap tahun dilaksanakan dengan meriah oleh berbagai kalangan masyarakat, memiliki banyak makna dari sekadar menghias lingkungan, menggelar berbagai macam lomba, dan lainnya.
Kegiatan yang dirancang dan dilaksanakan secara mandiri oleh masyarakat itu memiliki unsur hiburan sekaligus menjadi wahana pendidikan serta penanaman nilai-nilai kebangsaan bagi generasi muda, khususnya bagi anak-anak, yang mungkin belum banyak mengenal apa makna sesungguhnya dari kemerdekaan itu.
Lewat ajang peringatan bernuansa meriah itu, kita sedang mengingatkan generasi muda bahwa pada masa penjajahan dulu, menghias lingkungan, menyelenggarakan lomba-lomba, dan lainnya merupakan kemewahan yang tidak mungkin dilaksanakan oleh generasi terdahulu pada masa penjajahan.
Agar penanaman nilai-nilai perjuangan yang diwariskan oleh para leluhur bangsa kita itu betul-betul terinternalisasi di dalam jiwa anak-anak, sekolah, dan rumah maka harus pula menguatkan pemahaman itu.
Sekolah lewat guru dan rumah lewat orang tua, bisa menjelaskan kepada anak-anaknya bahwa pada masa penjajahan dulu, kebebasan masyarakat kita sangat dibatasi oleh penjajah. Bahkan, aktivitas masyarakat kita selalu diawasi dan dicurigai.
Karena itu, jangankan menggelar lomba-lomba dan menghias lingkungan rumah, untuk memenuhi kebutuhan makan saja, orang tua pada zaman penjajahan dulu sangat kesulitan.
Penjelasan mengenai perjuangan para leluhur bangsa itu juga sekaligus menanamkan nilai-nilai spiritual bagi anak agar menjadi generasi yang pandai bersyukur dengan segala fasilitas hidup yang tersedia pada saat ini.
Cerita masa lalu itu juga mengajarkan bahwa anak-anak Indonesia mewarisi genetika sebagai bangsa yang memiliki semangat juang tinggi dalam menjalani hidup.
Kisah itu sekaligus menjadi pelajaran bagi anak-anak generasi saat ini untuk tidak cengeng dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Bangsa kita memiliki nilai luhur sebagai bangsa yang tangguh menghadapi dinamika hidup.
Penjelasan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD yang beredar di berbagai saluran media sosial sangat bagus untuk disampaikan kepada anak-anak muda kita. Dalam video itu, Mahfud MD menegaskan bahwa hanya Indonesia yang meraih kemerdekaan dengan cara berjuang, sementara sejumlah negara menikmati kemerdekaan karena hadiah.
Merah Putih telah merangkum semua nilai luhur yang seharusnya selalu tertanam kuat dalam diri generasi bangsa Indonesia. Keberanian (merah) dan kesucian batin (putih) adalah modal besar dan utama bangsa Indonesia menuju masa depan yang makmur dan sejahtera bersama.
Merdeka!