Bondowoso (ANTARA) - Keris, selama ini masih dikaitkan dengan hal mistis, supranatural, bahkan kuno, sehingga dinilai tidak layak untuk digeluti oleh generasi muda, apalagi kaum milenial.
Keris memang merupakan warisan leluhur bangsa Nusantara yang hingga detik ini tetap lestari. Keris telah membuktikan bahwa ia tidak mampu "dihantam" oleh arus modernisasi, dalam bentuk dan narasi apapun.
Keris, dalam konteks sosial budaya, bukan hanya dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Bahkan, keris telah masuk dalam bagian narasi negatif menggunakan kacamata agama. Keris dianggap sebagai benda yang membawa kita pada kemusyrikan atau menyekutukan Tuhan. Pokoknya, sangat lengkap konotasi negatif yang dilekatkan pada benda yang terbuat dari besi dan baja, termasuk campuran batu meteor itu.
Para pecinta keris menggelar sarasehan sebagai wujud dan upaya melestarikan budaya adiluhung Nusantara itu. Kegiatan bertema "Sarasehan Budaya dan Gelar Tosan Aji" yang digelar Paguyuban Tosan Aji Singowulung, Bondowoso, Jawa Timur, itu menghadirkan pembicara, Wabup Bondowoso Irwan Bachtiar dan pecinta keris Rachmad Resmiyanto, yang juga dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Menurut Rachmad, bagi orang Jawa masa dulu, bahkan "Jawi" (sebutan untuk Nusantara kuno), keris adalah perangkat diri yang tidak terpisahkan dalam keseharian. Keris selalu membersamai warga masyarakat di manapun bearada. Keris tidak beda dengan perangkat telepon seluler atau ponsel bagi masyarakat modern saat ini.
Kalau saat ini, satu orang bisa memiliki lebih dari satu ponsel, leluhur Nusantara dulu minimal memiliki tiga keris, yakni pemberian dari orang tua, pemberian dari mertua bagi yang sudah menikah dan dari dirinya atau seseorang yang dianggap sebagai guru.
Dalam konteks inilah, keris bagi masyarakat Nusantara kuno dianggap memiliki tuah atau masyarakat mengenalnya sebagai "yoni". Rupanya Ikhwal inilah yang kemudian memunculkan tuduhan bahwa dengan memiliki keris, kita dituduh jatuh pada syirik. Kalau negara atau perusahaan mengabadikan doa dalam simbol tertentu (burung yang gagah atau benda-benda langit), mengapa tidak dikatakan syirik? Bukankah dalam simbol-simbol itu tersimpan harapan dan doa? Ini juga termasuk simbol-simbol warna yang di dalamnya juga tertanam energi doa.
Tuduhan sebagai perbuatan syirik itu rupanya berangkat dari paradigma sains modern bahwa yang nyata itu hanyalah yang tampak oleh indra, khususnya penglihatan. Sementara masyarakat Nusantara memiliki paradigma bahwa yang tidak tampak oleh indra matapun juga sebagai hal yang nyata.
Karena itu, leluhur Nusantara menganggap bahwa semua benda itu hidup, termasuk benda-benda pusaka yang di dalamnya ada keris. Ini mengingatkan pada kisah pohon kurma yang biasa dijadikan sandaran oleh Nabi Muhammad saat berkhotbah. Ketika Rasulullah memiliki mimbar, pohon kurma tidak lagi dijadikan sebagai sandaran. Suatu hari Nabi mendengar ada tangisan yang ternyata berasal dari pohon kurma itu. Ketika ditanya oleh Nabi, si pohon kurma menjawab ia menangis karena sedih ditinggalkan oleh Rasulullah. Tangisan pohon kurma berhenti ketika Nabi memeluknya dan menyampaikan bahwa kelak ia akan bersama kembali di surga.
Hikmah dari kejadian ini adalah bahwa pohon pun juga memiliki jiwa, sehingga bisa bersedih dan bahagia. Maka, tidak keliru kalau penyuka keris bertanya, lalu dimana syiriknya berkeris itu?
Mungkin perlu kita telisik lagi apa sebenarnya yang terkandung di dalam keyakinan bahwa keris memiliki tuah. Penjelasan ini juga menunjukkan bahwa keris menyimpan warisan nilai luhur lain dari bangsa kita, yakni kebersamaan. Di dalam sebilah keris mengandung makna kerja bersama.
Menurut Rachmad, keris lahir berawal dari harapan atau dalam bahasa agama sebagai doa. Seseorang, di Nusantara kuno, ingin memiliki keris berbekal sebuah harapan, salah satunya sebagai sarana membentengi diri dari gangguan. Kemudian ia datang ke seorang empu untuk dibuatkan keris. Si empu kemudian menerjemahkan doa si pemesan dengan terlebih dahulu mendekatkan diri kepada Allah, lewat wirid atau dzikir dan puasa. Ia berpantang dengan hal-hal yang tidak baik.
Dengan kebersihan batin, si empu kemudian membuat keris dengan fokus dalam kesadaran keterhubungan dengan Ilahi. Maka, doa-doa si empu yang merupakan doa si pemesan juga, secara energi terpatri dalam keris itu. Dalam teknologi modern kita mengenal rekaman suara dan gambar yang kemudian bisa diputar ulang. Begitulah teknologi kuno leluhur yang merekam doa atau harapan pada keris. Masyarakat modern saat ini juga meyakini bahwa energi itu kekal dan alam semesta mencatat atau merekam energi itu. Dalam ilmu-ilmu motivasi modern, kita juga dianjurkan untuk menulis harapan atau impian itu dalam sebuah buku, dengan tulisan tangan. Apa bedanya dengan hal itu dengan doa leluhur yang mengabadikannya dalam keris?
Secara kasat mata, nilai gotong royong dalam keris adalah kerja sama antara pemesan dengan empu. Kemudian di lokasi penempaan, si empu tentu membutuhkan bantuan dari orang lain yang menangani perapian untuk memanaskan besi. Dari sisi spiritual, ada gotong royong doa dan energi antara si pemegang keris saat ini dengan doa atau energi empu dan pemesan awal dalam sebuah keris. Ini juga menunjukkan bahwa budaya gotong royong adalah nilai-nilai dasar yang sudah mendarah daging dari bangsa kita yang seharusnya terus digelorakan dalam berbagai sisi kehidupan berbangsa saat ini, termasuk dalam upaya bangkit dari berbagai dampak kasus COVID-19.
Bagi orang Jawa, salah satu tuah dari sebilah keris adalah bala. Artinya kalau si pemegang keris melakukan perbuatan negatif, maka itu bertentangan dengan doa dari empu dan pemesan awal keris yang menginginkan kebaikan, khususnya dalam konteks ketuhanan.
Dengan demikian, posisi keris, selain sebagai sarana doa, juga menjadi pembimbing jalan hidup bagi pemiliknya agar tidak berbuat sesuatu yang melanggar. Maka, para pecinta keris juga menggunakan benda itu sebagai sarana menuju pribadi yang saleh.
Wabup Bondowoso Irwan Bachtiar mengapresiasi sarasehan yang digelar oleh Tosan Aji Singuwulung sebagai bentuk upaya melestarikan warisan keris pada generasi muda.
Sementara Ketua Tosan Aji Bondowoso Ki Rinto Rinaldi mengatakan bahwa saat ini adalah waktunya untuk kita kembali melestarikan warisan leluhur, khususnya keris.
"Kalau tidak sekarang, kapan lagi. Kalau bukan kita, siapa lagi yang mau melestarikan warisan ini?" katanya. (*)