Jakarta (ANTARA) - "Panggil saya Kartini saja, begitu nama saya," tulis Raden Ajeng Kartini dalam suratnya kepada Estelle H. Zeehandelaar pada 25 Mei 1899.
Kalimat itu menunjukkan betapa Kartini gelisah dengan keberadaannya sebagai seorang perempuan di tengah feodalisme Jawa. Sebagai sosok yang kaya akan bacaan, Kartini merasa tidak adil jika perempuan dipaksa mendekam di kediaman sementara laki-laki bebas menempuh pendidikan.
Kesadaran Kartini untuk melawan kebiasaan lawas bangkit ketika dirinya dipingit pada usia 12 tahun. Armijn Pane mencatat, Kartini baru 'lepas' secara resmi dari pingitan pada tahun 1898 atau kala umurnya 19 tahun.
"Saya bermaksud akan menghapuskan batas yang menggelikan antara laki-laki dan perempuan yang dibuat orang sedemikian cermatnya. Saya yakin, bila pembatas itu lenyap, hal itu akan berakibat baik terutama untuk laki-laki," kata Kartini kepada Estelle Zeehandelaar, 23 Agustus 1900.
Kepada R. M. Abendanon, 21 Januari 1901, dia bersurat, "Dari perempuanlah manusia itu pertama-tama menerima pendidikan. Di pangkuan perempuanlah seseorang mulai belajar merasa, berpikir dan berkata-kata. Dan makin lama makin jelaslah bagi saya, bahwa pendidikan yang mula-mula itu bukan tanpa arti bagi seluruh kehidupan. Dan, bagaimanakah ibu-ibu bumiputra dapat mendidik anak-anaknya, jika mereka tidak berpendidikan?".
Bukan cuma tentang perempuan, Kartini juga mengekspresikan pemikiran tentang keadaan bangsanya secara keseluruhan. Hidup di tengah derasnya arus feodalisme dan penjajahan telah menggugah indra nasionalismenya.
Kartini terguncang melihat rakyat di sekitarnya yang berada dalam kesengsaraan. Menurut cucu dari Bupati Demak Pangeran Ario Tjondronegoro itu, kemenangan bagaimana pun harus dapat dicapai.
"Keberatan, kesukaran, tak dapat diingkari adanya. Tetapi haruskah karena segala itu kami mengabaikan perkara kami dan duduk bertopang dagu? Berhakkah kami meninggalkan usaha mulia itu karena usaha tersebut melibatkan kami dalam bahaya?
Begitu indah kemenangan yang hendak kami capai atas kebodohan, prasangka bangsa kami bagi bangsa itu sendiri. Kemenangan yang gilang gemilang patut kami perjuangkan seumur hidup, sebab kemenangan itu akan mendatangkan rahmat bagi amat banyak orang. Semoga Tuhan mengaruniai kami kekuatan untuk berjuang dan mencapai kemenangan," tulis Kartini dalam suratnya yang dimuat dalam Koloniaal Weekblaad pada 25 Desember 1902.
Kartini lahir di Jepara, 21 April 1879, ketika ayahnya Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat menjabat sebagai bupati. Sementara ibunya Ngasirah datang dari kalangan bawah. Ngasirah adalah anak dari mandor pabrik gula bernama Modirono.
Anak kelima dari 11 bersaudara itu tumbuh di tengah penerapan adat istiadat ala Jawa yang ketat. Sosroningrat sendiri memiliki dua istri. Ngasirah sebagai istri pertama dan istri keduanya Raden Ajeng Woerjan. Namun, karena Raden Ajeng Woeryan keturunan bangsawan, dia berhak menjadi raden ayu atau garwa padmi atau istri utama.
Dari Ngasirah, Sosroningrat memiliki delapan orang anak termasuk Kartini. Sementara dari Raden Ajeng Woerjan yang kemudian menjadi Raden Ayu Sosroningrat, dia mempunyai tiga orang anak. Kalau dirunut dari semuanya, Kartini adalah anak kelima.
Keluarga Kartini dari ayah berdarah biru dan secara garis keturunan, Kartini bagian dari generasi Prabu Brawijaya Raja Majapahit yang terakhir.
Kakek kandung Kartini, dari ayah, adalah Pangeran Ario Tjondronegoro. Ario Tjondronegoro dikenal sebagai bupati pertama di kawasan Hindia Belanda yang memberikan pendidikan Barat kepada anak-anaknya.
Sikap Ario Tjondronegoro menurun kepada anaknya yang juga ayah Kartini, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Itulah yang membuat semua anak Sosroningrat lulus sekolah dasar Eropa (ELS) termasuk putri-putrinya.
Akan tetapi, karena dia perempuan, sang ayah tidak memperbolehkan Kartini melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah (Hoogere Burgerschool), tak seperti saudara laki-lakinya.
Akan tetapi, rasa cinta mendalam membuat Sosroningrat memberikan kebebasan kepada Kartini untuk membaca buku-buku berbahasa Belanda. Kartini juga dipersilakan menulis surat kepada teman-temannya yang umumnya orang Belanda.
Kartini memang sangat dekat dengan sang ayah dan kakak lelakinya Sosrokartono. Merekalah yang kerap menuntaskan dahaga Kartini akan bacaan. Bacaan dan surat menyurat yang menemani Kartini dalam menjalani masa pingitan.
Kartini membaca apa saja, mulai dari surat kabar, majalah hingga buku-buku sastra. Dia menyenangi topik kesenian, pendidikan, agama dan lain-lain. Inilah yang membuat pemikirannya selangkah di depan.
Intelektualitas yang terbentuk kemudian bertemu dengan keresahannya sebagai perempuan Jawa di tengah arus feodalisme. Pikirannya yang terus melawan kebiasaan-kebiasaan membuat dia sering merasa kesepian di tengah keluarga.
Melalui surat menyurat, Kartini menemukan kemerdekaannya. Dia bebas menumpahkan semua pikirannya, perasaannya, tanpa kekangan. Di dunia surat menyurat, tak ada yang memerintahkan dia menunduk, tak ada yang mematahkan cita-citanya meski dia seorang perempuan Jawa.
Selama hidup, Kartini menghasilkan lebih dari 100 surat. Yang menjadi tujuannya suratnya adalah orang-orang Belanda dengan jabatan tinggi. Di antaranya yakni suami istri Abendanon.
Sang suami, Jacques Henri Abendanon menjabat Direktur Kementerian dan Kerajinan pada tahun 1900. Abendanon-lah yang memutuskan untuk mempublikasikan surat-surat Kartini dalam sebuah buku berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) pada tahun 1911. Istrinya, R. M. Abendanon Mandri kerap dipanggil Kartini sebagai 'Ibu'.
Di samping Abendanon, yang sering pula disapa 'Ibu' oleh Kartini adalah M. C. E. Ovink-Soer. Ovink-Soer pernah menjadi istri asisten residen Jepara. Perempuan itu seorang sastrawan tanpa anak. Cintanya dicurahkan kepada Kartini dan saudara-saudara perempuannya yang kerap berkunjung ke rumah keluarga Ovink-Soer untuk melukis.
Selain mereka, Kartini saling berbalas surat dengan Estelle H. Zeehandelaar, seorang feminis Belanda yang belum pernah ditemuinya di dunia nyata.
Kemudian, ada pula suami istri, Henri Hubert van Kol dan Nellie van Kol. Keduanya sosialis dari Belanda. Nellie menulis di majalah De Hollandse Lelie, majalah langganan Kartini. Kartini pernah pula menulis di sana.
Surat-surat Kartini sampai pula kepada Profesor G. K. Anton, yang pernah mengunjungi Jepara, lalu Hilda Gerarda de Booy (anak dari sastrawan yang juga pemimpin redaksi harian terkenal saat itu Algemeen Handelsblad) dan pakar bahasa N. Andriani.
Perhatiannya kepada pendidikan membuat Kartini pernah membuka sekolah di rumahnya. Ini diungkapkan Kartini kepada Abendanon Mandri dalam surat bertanggal 4 Juli 1903.
"Ibu, kami telah mulai melakukan perkerjaan yang mengasyikkan itu. Sampaikan terima kasih kami kepada tuan atas nasihatnya agar kami segera mulai walaupun tidak berijazah. Wahai, bayangkan, Ibu tersayang. Sekolah kecil kami sudah tujuh orang muridnya dan masih ada juga permintaan yang datang. Senang sekali, bahagia sekali".
Sedang semangat-semangatnya mengelola sekolah, Kartini mendapatkan lamaran dari Bupati Rembang Raden Adipati Djojo Adiningrat. Ayah Kartini, Sosroningrat sempat bimbang dengan lamaran itu karena mengetahui putrinya itu memiliki keinginan tidak menikah.
Ketika mempersunting Kartini, Djojo Adiningrat telah memiliki tiga orang istri. Namun, karena Kartini seorang keturunan bangsawan, dia berhak menjadi istri utama atau garwa padmi kalau menjadi pendamping dari bupati Rembang tersebut.
Denga meyakini Djojo Adiningrat seorang yang berpikiran maju dan terutama demi orang tuanya, Kartini menerima lamaran itu.
"Jangan cemas. Calon suami saya tidak akan membatasi gerak saya. Bahkan sebaliknya, karena cita-cita saya yang membumbung tinggi itulah, maka pandangannya terhadap saya naik. Karena itu maka akan lebih banyak lagi kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengembangkan sayap saya. Lapangan usaha saya akan diperluasnya. Anak ibu dihargainya, bukan karena ia akan menjadi pengurus rumah tangga yang selali membanting tulang yang akan terpuji kelak," tulis Kartini kepada R. M. Abendanon Mandri pada 1 Agustus 1903.
Djojo Adiningrat menerima usulan-usulan Kartini untuk perkawinan tersebut. Salah satu kesepakatan mereka, atas permintaan Kartini, tidak ada upacara mencium kaki suami oleh istri yang lazim ditampilkan dalam adat Jawa, pada acara pernikahan yang berlangsung pada 8 November 1903.
Pernikahan Kartini berjalan dengan bahagia walau karena itu dia harus mengubur impiannya bersekolah di Batavia dengan beasiswa pemerintah Hindia Belanda, Kartini tidak menyesal. Dia menikmati peran barunya sebagai seorang istri. Suaminya pun tidak melarang dia membuka sekolah di Rembang.
Pada 13 September 1904, Kartini melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Soesalit Djojo Adiningrat. Namun, empat hari kemudian, Kartini meninggal dunia dan dimakamkan di Rembang. Wafatnya Kartini membawa kesedihan mendalam bagi keluarga, teman-teman dan sahabat-sahabat penanya. Kisah Kartini sempat diangkat koran De Soematera Post pada 5 Oktober 1904.
Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Kartini pada 2 Mei 1964. Dan tanggal kelahiran Kartini pada 21 April dirayakan sebagai Hari Kartini.
"Kartini adalah orang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia yang menutup zaman tengah, zaman feodalisme pribumi yang 'sakitan' menurut istilah Bung Karno. Kartini hidup dalam taraf kesadaran nasional yang pertama," tulis Pramoedya Ananta Toer dalam 'Panggil Aku Kartini Saja', buku biografi karyanya yang terbit pertama kali tahun 1962.
Kartini adalah pemula dari sejarah modern Indonesia. Dialah yang menggodok aspirasi-aspirasi kemajuan yang di Indonesia untuk pertama kali timbul di Demak-Kudus-Jepara sejak pertengahan kedua abad yang lalu. Kartini adalah pemikir modern Indonesia yang pertama-tama. Tanpa Kartini, penyusunan sejarah modern Indonesia tidaklah mungkin, lanjut Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya itu.