Gresik, Jatim (ANTARA) -
Siang itu , sinar matahari tampak menyelinap di antara awan, tidak seberapa menyengat di kawasan Kebomas, Kabupaten Gresik. Tidak seperti biasanya. Mendung menggelayut di kawasan setempat, tepatnya di Desa Klangonan, pusat industri rumahan Tempe Manalagi.
Di salah satu sudut rumah di kawasan itu, tampak tangan-tangan terampil mengelola kedelai untuk dijadikan tempe. Salah satu yang memiliki keterampilan itu adalah Dewi Aminah.
Diakui, beban tangan Aminah dalam mengaduk kedelai menjadi tempe sudah sepekan terakhir ini berkurang, karena kapasitas atau volume kedelai yang diaduknya tidak seperti biasa, menurun 50 persen.
Wanita berjilbab itu mengatakan, berkurangnya kapasitas kedelai yang diolah disebabkan lonjakan harga kedelai di pasaran yang naik, sehingga berpengaruh pada produksi sejumlah komoditas pangan, salah satunya tempe
"Saya sehari biasanya mengolah 80 kilogram kedelai menjadi tempe. Karena sekarang harga kedelai tinggi, kami hanya produksi 35 - 40 kilogram. Berkurang sekitar 50 persen," kata Aminah, yang ketika itu didampingi adiknya Aisyah (37), saat memproses pembuatan tempe.
Meski demikian, semangat memproduksi pantang surut. Sorotan kamera beberapa wartawan yang mendatangi siang itu tidak membuat aktivitas atau produksi tempe di kawasan itu terhenti, meski hanya sejenak.
Hal tersebut wajar, karena usaha memproduksi tempe telah dilakukan secara turun temurun, yakni sudah berjalan sekitar 65 tahun, sehingga tidak ada pilihan lain, selain tetap konsisten dan semangat dalam memproduksi tempe.
Namun demikian, semangat keluarga Aminah dalam memproduksi tempe di kawasan itu tidak gayung bersambut dengan keluarga lainnya, sebab dulu pengusaha tempe di Desa Klangonan cukup banyak.
Akan tetapi sekarang jumlah pengusaha tempe bisa dihitung jari. Hanya lima sampai enam yang masih bertahan di RT setempat.
Aminah mengakui, menurunnya jumlah keluarga dalam mengelola kedelai menjadi tempe di kawasan itu disebabkan tidak stabilnya harga kedelai setiap tahun, dan selalu mengalami lonjakan, sehingga beberapa keluarga terpaksa beralih mencari sumber penghasilan lainnya.
Oleh karenanya, Aminah dalam gumamnya ketika mengobrol dengan rekan wartawan yang datang, selalu berharap kepada pemerintah agar ada kepastian harga kedelai di pasaran setiap tahunnya, sehingga tidak selalu melonjak.
Menurutnya, kenaikan kedelai tahun ini paling parah dibanding sebelumnya. Biasanya, kenaikan harga mulai dari Rp500 kemudian merangkak naik. Beda dengan sekarang, dari Rp6 ribu naik ke Rp8 ribu kemudian sampai Rp11 ribu, dan kini hampir menyentuh Rp12 ribu. Kondisi ini, tentu membuatnya kelabakan.
Wanita berusia 47 tersebut mengaku tidak bisa berbuat banyak, dan keluarganya memilih untuk tetap berproduksi meski harus mengurangi kapasitas hingga separuh dari biasanya, untuk menekan biaya produksi.
Dia memilih tidak mau mengambil risiko dengan produksi 80 kilogram, sebab jika memaksa produksi seperti biasa, tidak akan mampu menutupi modal dan biaya produksi, sehingga solusinya harus mengurangi kapasitas.
Hal yang senada diakui Aisyah, adik Dewi Aminah. Mereka berdua berharap, agar pemerintah memiliki cara menstabilkan harga kedelai setiap tahun, agar produksi tempe tidak terganggu dan mampu mempertahankan industri rumah di kawasan itu.
"Saya beli kedelai dari agennya sudah mahal. Mohon pemerintah agar harga bisa stabil, tidak tiba -tiba naik. Kami yang pengusaha kecil rumahan ini biar tidak bingung jualannya," katanya, mengeluh.
Masih impor
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur, Adik Dwi Putranto mengakui, kenaikan harga kedelai setiap tahun di Tanah Air dikarenakan komoditas itu masih impor.
"Kedelai adalah tanaman tropis, sehingga produktivitas rendah jika ditanam di Indonesia. Jika di Amerika produktivitas tanaman kedelai bisa mencapai 5 ton per hektare, maka di Indonesia produktivitasnya hanya mencapai 1,3 ton hingga 1,5 ton per hektare," kata Adik yang juga pengusaha pertanian asal Kota Batu tersebut.
Di sisi lain, pemerintah kurang serius mewujudkan swasembada kedelai yang telah dicanangkan, akibatnya gejolak komoditas itu selalu terjadi setiap tahun.
"Harusnya tidak terulang kembali jika pemerintah serius dalam mewujudkan program swasembada kedelai dalam negeri. Padahal swasembada pangan adalah hal mutlak yang harus dicapai sebuah negara untuk menjaga stabilitas ekonomi dalam negeri," kata Alumnus Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang ini.
Ia mengatakan, saat ini harga kedelai impor melonjak menjadi Rp11.000 per kilogram dari harga normal Rp9.000 per kilogram. Akibatnya, terjadi gejolak pada pengrajin tahu dan tempe hingga mereka melakukan aksi mogok produksi.
Seharusnya, kata Adik, komitmen mewujudkan swasembada kedelai diwujudkan dengan membuat peta besar peningkatan produksi kedelai nasional secara terukur. Namun, dari data menunjukkan produksi kedelai dalam negeri justru terus menurun.
Di Jawa Timur misalnya, pada tahun 2018 produksi kedelai Jatim mencapai sekitar 240 ribu ton, tahun 2019 turun menjadi sekitar 120 ribu ton. Dan di tahun 2020 produksi kedelai bertambah turun menjadi 57.235 ton, padahal konsumsi kedelai Jatim tahun 2020 mencapai mencapai 447.912 ton.
"Artinya, program swasembada kedelai yang didengung-dengungkan pemerintah tidak jalan. Produksi kedelai justru semakin turun dan defisit kian tinggi. Harusnya, pemerintah memiliki strategi yang terukur melalui peningkatan produksinya dalam setiap tahun," ujarnya.
Apalagi, kata dia, Indonesia memiliki balai penelitian yang harusnya mampu menemukan varietas kedelai yang bisa ditanam di negara tropis dengan tingkat produktivitas tinggi.
"Pertanyaan saya, dalam situasi yang sampai sekarang belum mencapai swasembada kedelai, apakah balai penelitian tersebut sudah menemukan varietas yang seperti itu melalui rekayasa genetika?," kata Adik, bertanya.
Ia mengatakan, sebenarnya di Jember ada satu perusahaan lokal yang berhasil mengembangkan kedelai dengan kualitas dan produktivitas yang hampir menyerupai kedelai impor.
"Dengan rekayasa pembenihan, produktivitas benih kedelai yang dihasilkan oleh perusahaan lokal di Jember ini bisa mencapai 3 ton hingga 3,2 ton per hektare," katanya.
Namun, dukungan pemerintah menyebarluaskannya hasil produksi Jember masih belum terlihat, dan harusnya dari varietas yang ditemukan itu ada upaya kerja sama dan dukungan dengan membuat demplot varietas kedelai tersebut di berbagai daerah di seluruh Indonesia.
"Dari sini, pemerintah harus memberikan pendampingan serius agar petani mau dan paham bagaimana menanam kedelai dengan baik. Karena jika kondisi seperti ini terus dibiarkan, maka saya yakin kita akan sepenuhnya ketergantungan pada kedelai impor," katanya, menegaskan. (*)