Bukan hanya karena pintu bioskop dan festival sudah kembali dibuka, film-film yang diproduksi dan ditayangkan pun semakin beragam -- menjangkau lebih banyak penonton yang tak kalah majemuk.
Film Indonesia sendiri di tahun lalu, sebut saja "Yuni" karya Kamila Andini, "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" karya Edwin, dan "Penyalin Cahaya" karya Wregas Bhanuteja -- yang ketiganya mengangkat isu sosial nan dekat dengan masyarakat, mendapat sambutan baik dari penonton lokal dan internasional.
Adanya film-film yang mengangkat perspektif sosial pun menjadi cakrawala baru bagi penonton di dalam maupun luar negeri akan apa yang terjadi di suatu wilayah.
"Nyatanya perempuan masih harus mengalami kesusahan untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi, bahkan di era sekarang."
"Ternyata maskulinitas pun bisa menjadi toksik."
"Korban pelecehan seksual masih belum mendapatkan dukungan yang sepatutnya."
Mungkin, kita sebagai penonton luput akan kesadaran tersebut, dan rupanya, film -- melalui keberanian dan ketulusan para pembuatnya -- mampu menjadi media bercerita nan sarat akan makna bagi jutaan pasang mata yang kemudian menyaksikannya di layar -- mulai dari hari film itu dibuat, hingga hari ini, dan bertahun-tahun kemudian.
Inilah hal yang membuat film bisa begitu spesial. Selain kemampuan bercerita yang bisa menciptakan berbagai suasana, film menjadi tempat pelarian bagi banyak orang untuk menjalani peran seseorang, mengalami kehidupan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
Keberanian para sineas Indonesia hari ini pun agaknya diwariskan sang Bapak Perfilman Indonesia, Usmar Ismail.
Perfilman Indonesia sendiri dimulai sejak akhir tahun 1949 -- dimana Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) membuat film pertamanya.
Usmar Ismail membuat film "Darah dan Doa" (1950) dan "Lewat Djam Malam" (1954). Ia tidak takut mengangkat isu-isu seperti hak asasi manusia, hingga ambiguitas atas moralitas.
Waktu terus berlalu dan perfilman Indonesia menjadi lebih berwarna dan berani mengambil perspektif cerita. Satu yang begitu membekas bagi banyak generasi adalah "Si Doel Anak Betawi" (1973) karya Sjuman Djaya, yang mampu mengenalkan budaya dan gaya hidup Betawi begitu luas namun juga begitu personal.
Di tahun 2000-an dan 2010-an, sutradara-sutradara lainnya juga ikut meramaikan dunia film Indonesia lewat film-film seperti "Berbagi Suami" (2006) karya Nia Dinata yang mengangkat kisah poligami dari sudut pandang perempuan dengan ringan dan jenaka.
Ada pula Garin Nugroho yang mengeksplorasi ragam pertanyaan tentang gender di masyarakat Indonesia melalui film "Kucumbu Tubuh Indahku" (2018).
Beberapa film lainnya seperti "A Copy of My Mind" (2015) karya Joko Anwar, "Lovely Man" (2011) yang disutradarai oleh Teddy Soeriaatmadja, "Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak" (2017) karya Mouly Surya, dan "27 Steps of May" (2018) yang disutradarai Ravi Bharwani.
Isu sosial = favorit festival?
Bukan hanya di Indonesia, film-film dari negara lain yang mengangkat isu sosial agaknya cukup identik sebagai film yang meraih sorotan lebih terang di panggung festival film internasional.
Salah satu contoh yang cukup segar dalam ingatan adalah "Parasite" (2019) karya sutradara asal Korea Selatan Bong Joon-ho. Film yang membawa isu kesenjangan sosial ini selain menyapu piala di festival-festival film dunia, juga meraih Oscar untuk Film Terbaik dalam Academy Awards 2020.
Film pendek asal Negeri Ginseng, "Georgia" karya Jayil Pak, yang mengambil cerita dari kasus pelecehan dan kekerasan seksual di negara tersebut, juga tak luput dari perhatian pencinta film di Indonesia.
Pak kepada ANTARA beberapa waktu lalu memiliki pandangan tentang film dengan isu sosial di panggung festival film dunia.
"Film merupakan media yang penting untuk membahas masalah sosial. Namun, akhir-akhir ini, saya merasa bahwa masalah sebenarnya bukanlah kurangnya film yang menangani isu-isu penting ini, tetapi mungkin, malah terlalu banyak," katanya.
Ia melanjutkan, film-film topikal, atau film-film yang mengangkat isu-isu sosial populer, sudah menjadi hal biasa di sirkuit festival.
"Sekarang, masalah yang berkembang adalah banyak pembuat film mulai mengandalkan kekuatan topik daripada kualitas film itu sendiri," kata Pak.
"Namun, pada akhirnya, sebagai seseorang yang percaya pada kekuatan sinema, saya harus percaya bahwa jika saya tetap setia pada materi pelajaran dan merawatnya dengan sepenuh hati, penonton akan dapat merasakannya melalui layar," imbuhnya.
Di sisi lain, Wakil Ketua I Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Hikmat Darmawan mengatakan film arus utama (mainstream, blockbuster) masih tetap bisa mengangkat isu sosial, walaupun mungkin pendekatannya berbeda dengan film arthouse atau niche yang ditujukan untuk segmen pasar tertentu.
"Kita punya pasar yang majemuk; ada mainstream, blockbuster, niche -- film dengan alur yang lebih punya gagasan, isu atau perspektif sosial dan budaya yang lebih eksploratif," kata Hikmat kepada ANTARA.
"Film blockbuster juga ada isu (yang ingin diangkat). Namun, ada juga film yang ingin mencapai pasar tertentu saja. Keduanya memiliki kebijakan pasar sendiri, misalnya dari slot penayangan, pendanaan khusus, programming, untuk kemudian nanti menyebabkan pembangunan (ragam film) menjadi lebih fair," ujarnya menambahkan.
Sinema dan kita
Pada akhirnya, setiap film memiliki pendekatan yang berbeda dan perjalanan emosional yang selalu baru.
Film, selain merupakan wadah cerita, juga dapat menjadi bagian dari cerita kita -- baik para penonton maupun para kreatornya. Membuatnya begitu spesial bagi tiap individu yang mengalaminya.
Keajaiban dari sinema -- bagaimana menerjemahkan apa yang kita lihat ke bentuk tulisan, lalu kembali dihidupkan dari sudut pandang lain serta perpaduan audio dan visual nan berkesan.
Dan, agaknya tak berlebihan jika film -- mampu menjadi pengingat kita untuk berempati dengan sesama, membuka mata dan telinga akan hal-hal yang terjadi di sekitar, dan ruang aman untuk merayakan berbagai keragaman dan kisah. (*)