Jember (ANTARA) - Pengamat film yang juga dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember (Unej) Bambang Aris Kartika mengatakan film bisa menjadi sarana belajar sejarah bagi kaum milenial dan sarana afirmasi politik.
"Khususnya film ber-genre sejarah dan film yang mengangkat kiprah kehidupan seorang tokoh atau film biopik berpotensi menjadi sarana belajar sejarah bagi kaum milenial," katanya saat menjadi pemateri dalam kegiatan webinar NGONTRAS#1 (Ngobrol Nasional Metasastra) bertema 'Komodifikasi Sastra dan Film' yang digelar Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat Jember, Jawa Timur, Sabtu.
Menurutnya, kecenderungan kaum milenial saat ini yang lebih suka menonton daripada membaca, namun agar film yang dibuat berdasarkan fakta sejarah baik dari sumber artikel, buku atau novel layak diangkat ke layar perak, maka sineas perlu memperhatikan empat hal.
"Empat hal itu yakni riset sejarah, pemilihan tokoh, konten cerita dan segmentasi pasar," ucap doktor kajian film FIB Unej itu.
Ia menjelaskan film genre sejarah atau biopik wajib menjaga akurasi kebenaran sejarah serta menjaga faktualisasi sejarah biografi, kemudian untuk pemilihan tokoh, perlu memunculkan tokoh yang memiliki arti bagi penonton, sambil tetap mempertimbangkan estetika film.
"Sebagai sebuah film, sineas perlu memunculkan puncak-puncak dramatisasi peristiwa sang tokoh sebagai produk hiburan di sisi konten cerita," tuturnya.
Ia mencontohkan film Sang Kiai yang menceritakan kiprah Kiai Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama, sutradara memunculkan tokoh Harun yang berperan aktif melawan penjajah Jepang yang menangkap Kyai Hasyim Asy’ari.
"Bahkan Harun terlibat dalam peristiwa tewasnya komandan Inggris, Brigadir Jenderal AWS Mallaby. Padahal tokoh Harun itu fiktif, tapi dimunculkan agar filmnya menjadi menarik," katanya.
Terakhir film genre sejarah dan film biopik sebagai sebuah produk komersial harus mempertimbangkan segmentasi pasar supaya untung, seperti film Sang Kiai yang ditujukan bagi nahdliyin, Sang Pencerah untuk kalangan Muhammadiyah atau Soegija untuk kalangan Katolik.
Dosen Program Studi Sastra Indonesia yang suka mengkaji film biopik itu menambahkan, jika film genre sejarah juga bisa menjadi sarana afirmasi politik.
"Dalam penelitian saya untuk disertasi, film Sang Kiai yang bermula dari adaptasi novel Penakluk Badai menjadi bukti peran aktif Kiai Hasyim Asy’ari dalam revolusi Indonesia, juga kiai-kiai yang lain," ujarnya.
Melalui film sang Kiai, lanjut dia, kini masyarakat tahu peran Kiai Hasyim Asy’ari beserta para kiai lainnya kala revolusi kemerdekaan Indonesia. Sebelumnya peran beliau hanya diketahui kalangan nahdliyin saja, padahal jasanya sungguh besar bagi kemerdekaan Indonesia.
Sementara Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unej Prof Sukarno mendukung ide #NGOTRAS1 karena saat ini pemerintah mendorong berkembangnya dunia kreatif termasuk perkembangan dunia film Indonesia.
"Semoga anak-anak milenial yang awalnya tidak membaca karya sastra atau buku sejarah tertarik setelah melihat filmnya," katanya.