Bondowoso (ANTARA) - Menyikapi keadaan saat ini, dimana semua orang berada dalam kondisi ketakutan karena pandemi COVID-19, mari kita gali khazanah kuno ilmu Jawa atau lebih tepatnya ilmu Nusantara.
Selama ini kita memaknai ilmu Jawa sebagai hal yang mistik, bahkan lebih parah lagi dianggap klenik. Barangkali anggapan ini merupakan hasil "panen" dari sistem pendidikan kita, di semua jenis, yang cenderung menomorsatukan penggunaan akal dan logika pada anak didik untuk menjalani peran di ruang waktu kehidupan.
Ilmu Jawa yang menitikberatkan pada aspek rasa (jiwa) dianggap ketinggalan zaman ketika kita "dicekoki" dengan paradigma berpikir bahwa hidup ini hanya persoalan logika. Aspek rasa yang merupakan bagian lain dari unsur jiwa dalam diri manusia, dikalahkan oleh saudaranya bernama akal.
Ketika akal menjadi "panglima" dalam menjalani kehidupan, maka paradigma "kuasa" dan "hukum sebab akibat" telah menyeret kita pada anggapan bahwa manusia itu hanya sambungan tulang belulang yang dibungkus onggokan daging. Manusia telah kehilangan unsur terunggulnya sebagai makhluk paling sempurna, yakni roh.
Dalam konteks agama, roh manusia itu sesungguhnya memiliki unsur keilahian. "Telah kutiupkan sebagian ruh-Ku," begitu teks suci mengabarkan. Inilah sesungguhnya yang "digarap" oleh ilmu Jawa agar manusia tidak hanya memandang dirinya sebagai tubuh.
Untuk menguji bahwa ilmu Jawa itu bukanlah klenik, apalagi sekadar otak atik gathuk atau hanya mencocok-cocokkan kata, mari kita sandingkan dengan kajian akademisi yang juga psikiater dari Amerika Serikat David R Hawkins, PhD. Hawkins dalam buku "Power Vs Force" yang disarikan dari hasil disertasi doktornya.
Kajian ilmiah akademik dari Hawkins ini mengajak kita untuk kembali menyelami siapa sejatinya manusia itu. Lewat disertasinya itu Hawkins menyajikan peta perjalanan jiwa manusia atau dikenal dengan level kesadaran atau level of consciousness (Loc).
Hawkins memetakan LoC individu, mulai dari 20 hingga 1.000, bahkan tak terhingga. LoC 20 hingga 199 digolongkan sebagai force, sementara 200 ke atas sebagai power. Force digerakkan oleh ego atau nafsu yang dalam konteks ilmu Jawa disebut karep, sementara power digerakkan oleh nilai inti dari manusia, yakni keilahian.
Pemegang hak penerbitan buku Power Vs Force karya Hawkins di Indonesia, Aswar Saputra memaparkan bagaimana ilmu Nusantara justru lebih unggul dari ilmu modern. Hawkins, menurut Aswar, dalam buku "Power Vs Force" dan buku-buku lainnya yang merupakan penjabaran dari buku induk itu, memaparkan bagaimana diri sejati dari manusia itu merupakan pusat pengatur dan pengarah bagi pengalaman seseorang.
Pengagas Komunitas "Pure Consciousness Indonesia" (PCI) ini kemudian menyebut, apa yang kini gencar disosialisasikan ke berbagai kalangan, tidak ketinggalan di kampus-kampus (ITS, UIN dan lain-lain) itu, sebagai ilmu tentang mekanisme spiritual. Orang Nusantara yang sudah lama mendalami ilmu mekanisme spiritual itu. Pada mekanisme spiritual kita diajak menemukan cahaya Ilahi di dalam diri setiap insan sebagai sumber daya tak terbatas, karena digerakkan oleh sumber inti, yakni keilahian.
Hawkins, kata Aswar, membagi fase-fase perjalanan jiwa seseorang itu dalam dimensi-dimensi yang bertingkat. Ia menyebut, saat ini kebanyakan manusia, khususnya Indonesia, berkutat dalam dimensi 3 dan dimensi 4. Dimensi 3 menggambarkan peradaban kuno saat manusia bertahan hidup dengan berburu, sementara Dimensi 4 ditandai dengan sikap adaptif pada keadaan. Misalnya, untuk bertahan hidup tidak perlu berburu, setelah ditemukannya pola budi daya, baik untuk memenuhi kebutuhan hewani maupun tumbuhan.
Pada situasi saat ini, menurut Aswar, kita bisa melihat banyak masyarakat yang terjebak dalam Dimensi 3 untuk menghadapi pandemi. Mereka ketakutan, kemudian muncul potensi hasrat untuk bertahan hidup menghadapi virus yang ditandai dengan kepanikan. Manusia yang dinobatkan sebagai khalifah fil ardl, kemudian turun maqom menjadi korban dari dihadirkannya makhluk lain berjenis virus yang tak kasat oleh mata telanjang.
Sementara di sisi lain, pemerintah berkutat pada Dimensi 4 yang ditandai dengan kebijakan yang terus menerus beradaptasi dengan keadaan.
Pandemi ini kemudian membuka fakta bahwa level kesadaran manusia Indonesia masih berada di dimensi karep (Dimensi 3) dan kelompok eltinya masih pontang panting mencari solusi (adaptasi) untuk mengatasi kahanan (keadaan). Istilah karep dan kahanan ini diadopsi Aswar dari psikologi Jawa dan filsafat Jawa yang juga dipelajarinya. Untuk filsafat Jawa, Aswar juga belajar dari warisan ilmu Ki Ageng Suryomentaram. Ki Ageng Suryomentaram, bangsawan tanah Jawa, ini dikenal dengan ilmu kawruh jiwa. Ia menjelaskan soal jiwa yang memiliki sifat mulur (mengendur) dan mungkret (mengerut).
Pandemi saat ini, menurut Aswar yang juga pengamal tarekat ini, seharusnya menjadi titik tolak tumbuhnya masyarakat yang sadar spiritual.
Kondisi saat ini diharapkan menjadi fase "pembusukan" atas paradigma material, untuk kemudian memunculkan era baru, yakni masyarakat spiritual. Saatnya kita mengubah asumsi dasar manusia dari makhluk material ke makhluk spiritual.
Lalu, apakah masyarakat kita yang secara formal, semuanya beragama, belum bisa digolongkan sebagai masyarakat spiritual? Inilah saatnya mengoreksi diri bagaimana sejatinya realitas jiwa kita dalam konteks beragama. Jika melihat reaksi kita menghadapi pandemi dan juga masalah-masalah sebelumnya, menunjukkan bahwa kita belum berjalan pada inti dari ajaran agama itu, khususnya aspek ketauhidan.
Kita masih sering terjebak pada keadaan beragama hanya sebatas formalitas atau seolah-olah telah menjalankan ajaran agama. Misalnya, terkait ajaran bersyukur. Ketika mendapatkan uang Rp1 juta, mulut berucap "alhamdulillah", tapi hati berbisik halus, "Kok cuma satu juta ya, coba 10 juta, atau 100 juta". Maka, yang terbaca dalam "radar" Ilahi adalah bisikan hati itu.
Atau ketika kita sakit, kemudian meminum obat tertentu sembuh, jiwa kita hanya memandang obat itu manjur. Kita lupa bahwa itu hanya wasilah, perantara. Allah dilupakan, sebagai pemilik kehendak atas segala sesuatu.
Demikian juga dengan doa saat menghadapi pandemi ini. Karena kurangnya sadar "maqom" itu, maka motif yang melandasi doa-doa itu adalah berkisar di level desire atau hasrat alias karep. Dalam peta kesadaran Hawkins, hasrat itu masih tergolong level kesadaran rendah, yakni 125. Atau bisa juga fear (ketakutan) dengan level kesadaran 100. Barangkali, ajaran "Setiap amal itu tergantung pada niat" bisa disematkan pada persoalan ini. Motif atau niat di level force ini tidak nyambung dengan energi Ilahi yang welas asih.
Untuk mengoptimalkan keilahian di dalam diri, setidaknya kita harus berada di level kesadaran di 500 (cinta). Ketika di level inilah kita akan mampu memangku karep dan memangku kahanan. Dengan sikap jiwa memangku, maka tidak ada lagi energi ketakutan dan hasrat untuk membunuh virus atau penyakit. Ia melihat semuanya dengan energi cinta.
Kembali ke falsafah Jawa, jika huruf Jawa itu dipangku, maka akan mati. Demikian juga dengan virus. Jika jiwa merespons hadirnya virus sebagai pesan cinta dari Tuhan, maka ia bukan musuh bagi manusia. Hadirnya virus yang menghebohkan ini hanya mengingatkan kita untuk selalu sadar maqom kita sebagai wakil Tuhan di muka Bumi.
COVID-19 yang sesungguhnya membawa pesan Ilahi itu hanya numpang lewat dalam kehidupan ini. Tingkat kesadaran kita yang menentukan virus itu terjebak dalam tubuh atau hanya nderek langkung (istilah Jawa yang artinya numpang lewat) dalam hidup kita.
Maka, jargon "perang melawan virus" itu bisa ditelisik bahwa sesungguhnya kita sedang terjebak dalam kubangan di kesadaran rendah, sebagai korban.
Bagaimana mau berperang, jika jiwa kita sudah runtuh sebagai yang tak berdaya? Maka pilihannya adalah menaikkan level kualitas jiwa. Ini sama dengan ketika elang melawan ular kobra. Elang sadar bahwa ular cobra terlalu kuat untuk dihadapi saat dekat dengan Bumi. Maka elang membawa calon santapannya itu terbang tinggi sampai ular kobra lemas dengan sendirinya, karena terpengaruh perbedaan tekanan udara.
Menaikkan level kesadaran jiwa ke cinta kasih (LoC 500) akan membuat penyakit luluh alias terpangku dengan sendirinya.
Meskipun demikian, tulisan ini tidak ingin mengajak kita untuk abai pada protokol kesehatan, yang justru menjebak jiwa pada sikap ceroboh atau tidak tersadari malah sombong.
Mari kita lihat juga posisi jiwa pada mereka yang mengabaikan protokol kesehatan dengan berkata, "Saya tidak takut virus, saya hanya takut kepada Allah". Di peta kesadaran, memamerkan diri sebagai orang yang hanya takut pada Allah itu bisa terjebak di level kesadaran force, yakni pride (LoC 175) atau kebangaan.
Maka, seorang ulama yang juga pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo, KHR Ahmad Azaim Ibrahimy, selalu mengingatkan agar kita tidak sombong dengan penyakit, karena yang menciptakan penyakit itu adalah Allah.
Menyadari potensi keilahian di dalam diri manusia, hakikatnya adalah olah rohani. Sebagaimana mengolah tubuh (olahraga), itu harus dilatih dan terus menerus ditanamkan. Ini juga perlu penguatan otot atau kuda-kuda jika dalam ilmu silat. Dzikir, khususnya yang dilakukan oleh orang-orang tarekat (dengan tata cara tertentu dan konsistensi yang terjaga), menjadi salah satu metode mengolah rohani untuk mentransformasi diri kembali ke kesejatian sebagai makhluk spiritual.
Mekanisme spiritual, sebagaimana disebut Aswar, memiliki panduan bagi pejalan spiritual bagaimana menjalin komunikasi dengan Tuhan (hablum minallaah) dan bagaimana menghadapi kenyataan dalam ruang waktu di muka bumi ini (hablum minan naas).
Di tengah situasi ini, mari kita tetap patuhi protokol kesehatan, dengan menyetel niat (motif jiwa) dari awalnya panik, menjadi niat untuk menjaga sistem kehidupan dan sosial agar berjalan lebih baik serta dalam rangka menjalankan prinsip keilahian, yakni patuh pada ulil amri (pemimpin).
Agaknya, ketentuan menjalani 5M atau 6M, perlu kita tambahi satu M lagi atau M plus, yakni menyadari keilahian di dalam diri. Hidup-hidupkan terus sadar maqom sebagai makhluk paling sempurna ini di dalam diri. Insya Allah imun tubuh meningkat. Diri sembuh, kualitas jiwa terus bertumbuh.
COVID-19; Mangku karep, mangku kahanan
Selasa, 20 Juli 2021 16:54 WIB