Pamekasan (ANTARA) - Kongres Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) XXXI yang digelar di Surabaya, Jawa Timur menjadi momentum evaluasi, proyeksi akan fungsi dan peran organisasi ini dalam kancah perpolitikan bangsa, pemikiran keislaman, ke-Indonesia-an serta kemahasiswaan.
Sebab, bagi HMI, kongres sejatinya bukan hanya sebagai ajang memilih pengurus baru, akan tetapi juga menjadi media dalam merumuskan gagasan-gagasan strategis untuk kepentingan, bangsa dan agama.
Rekomendasi strategis, gagasan visioner, rumusan perkaderan, Garis-Garis Besar Haluan Organisasi, serta Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI merupakan hal pokok yang harus ditetapkan di forum pengambilan keputusan tertinggi organisasi ini disamping anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga (ART).
Dalam konteks ini, kongres bukan hanya sebatas kegiatan rutin dua tahunan untuk memilih calon pemimpin baru yang akan menakhodai organisasi tersebut, namun juga sebagai momentum penting dalam menentukan arah dan masa depan organisasi untuk dua tahun ke depan. Di sisi lain, kongres ini juga menjadi ajang pembelajaran bagi para kader HMI tentang cara mengorganisasikan berbagai keputusan strategis yang menyangkut kepentingan organisasi, kepentingan umat Islam dan bangsa Indonesia.
Bagi kader hijau-hitam ini, ada pembelajaran di forum pengambilan keputusan tertinggi di HMI ini. Yakni pembelajaran tentang bagaimana mengolah gagasan bernuansa akademik menjadi landasan pemikiran organisasi dan pembelajaran politik dalam ajang memperebutkan jabatan Ketua Umum Pengurus Besar (PB HMI).
Keragaman anggota kader yang berasal dari berbagai organisasi ke-Islam-an seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Hidayatullah, hingga Syiah dan lain sebagainya tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi kader HMI dari berbagai wilayah di Indonesia, sehingga kongres juga menjadi momentum silaturrahim kader yang memiliki latar belakang organisasi ke-Islam-an yang berbeda-beda ini.
Doktrin bahwa HMI sebagai secound university (universitas kedua) yang telah tertanam kuat di kalangan pegiat organisasi yang didirikan oleh Lafran Pane pada 5 Februari 1947 ini, memang pada kenyataannya mampu mencetak alumni yang memiliki peran strategis dalam bidang keumatan dan kebangsaan.
Proses kaderisasi yang masih terpelihara dengan baik di HMI, mampu mencetak alumni yang berdaya guna. Keragaman sebagai keniscayaan, serta kebangsaan sebagai bingkai perekat ke-Indonesia-an merupakan landasan ideologis pokok organisasi sebagaimana menjadi doktrin HMI yang semuanya terangkum dalam Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI.
e-Islam-an dan ke-Indonesia-an HMI bukan hanya sebatas ajaran, akan tetapi merupakan komitmen dan menjadi tujuan awal berdirinya HMI, yakni menyebar luaskan ajaran agama Islam dan mempertahankan kemerdekaan negara Republik Indonesia yang dalam perkembangannya tujuan HMI ini menjadi terbinanya insan akademis, pencipta pengabdi, bernafaskan Islam, serta bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah SWT.
Misi ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an HMI yang dalam implementasinya terdistribusi secara internal dalam sistem perkaderan organisasi ini, dalam perkembangannya memang mampu mencetak kader umat dan bangsa yang bernilai guna di negeri ini.
Presiden RI Joko Widodo menyebut, di Kabinet Indonesia Maju yang dipimpinnya kali ini, mantan aktivis HMI atau Korp Alumni HMI (KAHMI) yang membantu presiden dalam menjalankan tugas-tugas negara terbilang sangat banyak.
Ia menyebut antara lain Menkopolhukam Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Zainuddin Amali, Menteri Bappenas Suharso Monuarfa, Menteri Agraria dan BPN Sofyan Jalil, Menteri Pertanian Sahrul Yasin Limpo, dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia. "Ini HMI semuanya. Mungkin ada yang tidak saya sebut. Ini bukan banyak, tapi terlalu banyak,” ujar Presiden kala itu.
Melalui fakta ini, Presiden menilai, HMI sejatinya merupakan organisasi yang banyak melahirkan tokoh umat dan pemimpin bangsa, dengan berbagai latar belakang keilmuan dan keahlian di ladang pengabdian yang juga sangat luas dan beragam. Tetapi tantangan yang perlu dihadapi kita ke depan, menurut dia, semakin besar. Di era distrupsi dengan perubahan yang semakin cepat, HMI tidak boleh terpaku hanya pada kebesaran-kebesaran masa lalu. Mengasah kepekaan, adaptif terhadap perubahan, dan lincah terhadap perubahan, sigap mengambil keputusan, dan cepat dan cerdas dalam bertindak merupakan tindakan yang perlu dilakukan para aktivis organisasi ini.
Dengan potensi besar yang dimiliki, HMI harus mampu mewujudkan cita-cita besar para pendiri, untuk menyelaraskan ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an dengan semangat pembaharuan, memperkokoh persatuan bangsa di tengah keberagaman dan menjadi pilar penyokong integrasi bangsa, sekaligus bisa menjadi lokomotif kemajuan bangsa, demikian Presiden RI Jokowi kala itu.
Saran yang disampaikan Jokowi pada pembukaan Kongres XXXI HMI itu, tentu bukan tanpa dasar. Kebesaran HMI di masa lalu membuat sebagian aktivis organisasi ini cenderung hanya bangga, dan cenderung kurang memperhatikan kepentingan masa kini. Diskusi ilmiah dan forum-forum intelektual yang dulu biasa digelar di organisasi ini cenderung memudar, bahkan terkesan abai pada tata nilai ke-Islam-an yang tersemat dalam misi Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI.
Aktualisasi diri pada sebagian kader yang berlebihan dan kebanggaan pada masa lalu yang "membabi buta" seolah mengabaikan nilai etik sebagai kader umat dan kader bangsa, sehingga menyebabkan sebagian pegiat organisasi lepas kontrol.
Kericuhan yang di forum kongres hingga memecahkan kaca seakan-akan menjadi tradisi yang biasa dari kongres ke kongres yang digelar selama ini. Tak terkecuali pada Kongres XXXI HMI di Surabaya. Pergulatan memperebutkan kekuasaan terlihat lebih dominan dibanding proses intelektual. Tak banyak kandidat yang menerbitkan buku pada kongres kali ini. Padahal tradisi seperti itu, sudah menjadi tradisi akademik turun-temurun sejak dulu.
Koordinasi yang lemah, disamping persoalan internal organisasi yang dominan karena ada dualisme kepemimpinan, serta kurang populernya HMI di beberapa kampus terkemuka nampaknya memang menjadi indikasi akan redupnya organisasi Islam yang pernah menjadi ikon pembaruan pemikiran Islam di Indonesia ini.
Kongres yang diharapkan menjadi ajang adu gagasan baru dalam memposisikan peran strategis umat Islam dan Bangsa Indonesia tak begitu nampak di Kongres HMI XXXI yang digelar Surabaya ini. Malah yang mengemuka memaksakan pendapat antarpeserta kongres hingga memicu terjadinya kericuhan. Kursi ditendang dan kaca dipecahkan, suatu praktik anarkis yang terbilang jauh dari nuansa akademis. Enam orang oknum kader yang menjadi provokator dalam kericuhan itu terpaksa ditangkap petugas. Ribuan personel polisi terpaksa dikerahkan demi menjaga kondusivitas pelaksanaan kongres tersebut.
Gambaran tentang pelaksanaan kongres XXXI HMI di Surabaya itu seolah telah mengaburkan jati diri dan identitas HMI yang sebenarnya, sebagai organisasi kader dan organisasi perjuangan yang mengusung misi keislaman dan kebangsaan/ke-Indonesia-an. Apalagi forum pengambilan keputusan tertinggi HMI yang ricuh bukan hanya saat kongres saja, akan tetapi juga pada forum-forum Musyawarah Kohati (Muskoh) yakni organisasi Korp HMI-Wati.
Indikator kemunduran
Realitas yang terjadi di Kongres XXXI HMI melegitimasi hasil penelitian Dr. Agussalim Sitompul yang menyebutkan bahwa organisasi mahasiswa Islam tertua di Indonesia tersebut, sedang mengalami kemunduran yang luar biasa.
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta yang telah wafat pada 18 Mei 2013 itu bahkan mendokumentasikan hasil penelitiannya tentang HMI dalam sebuah buku berjudul "44 Indikator Kemunduran HMI".
Beberapa poin di antaranya HMI kurang mampu mencetak kader dan pengurus yang bertipe problem solving, dan lebih cenderung mencetak kader yang bertipe solidarity making. Selain itu, HMI banyak terlibat dalam kegiatan politik, sehingga banyak menyedot perhatian, tenaga, pikiran, bahkan dana.
Selain itu, Agussalim juga mencatat, bahwa HMI tidak dapat memelihara dan mempertahankan serta meningkatkan keberhasilan yang pernah dicapai, sehingga apa yang pernah dicapai tersebut tidak dapat dikonsolidasikan sebagai modal perjuangan selanjutnya, bahkan hilang dan pupus dalam perjalanan sejarah.
Momentum kegiatan yang menarik perhatian massa, kader dan para pengurus HMI, seperti Kongres juga tidak luput dari catatan tokoh yang merupakan sejarawan HMI itu. Menurutnya, ketika pemilihan Ketua Umum PB HMI berlangsung di Kongres HMI, nampak gejala main duit atau money politic yang sangat merusak moral dan akhlak kepemimpinan serta citra HMI di mata anggota dan masyarakat luas.
Pola perkaderan di HMI yang telah dirancang pada abad ke-20 menurut Agussalim dalam buku itu, sejatinya sudah ketinggalan dan tidak sesuai lagi untuk memenuhi tuntutan zaman abad ke-21, sehingga perlu dilakukan perubahan yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Disamping itu, yang juga masuk sebagai catatan kemunduran organisasi ini, karena HMI dan kader-kader penerusnya akhir-akhir ini kurang mampu mengikuti jejak para pendahulunya yang memiliki pandangan visioner, sebagaimana dilakukan pemrakarsa pendiri HMI, yakni Lafran Pane dan para penerusnya.
Belum optimalnya pengetahuan, pemahaman, dan penghayatan anggota dan pengurus HMI di hampir semua tingkatan kepengurusan tentang khasanah-khasanah ke-HMI-an dan keorganisasian, serta kurang berfungsinya lembaga-lembaga kekaryaan HMI, seperti Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI), Lembaga Pendidikan Mahasiswa Islam (LAPENMI), serta Lembaga Seni dan Mahasiswa Islam (LSMI), serta sepinya setiap momentum peringatan Dies Natalis HMI setiap tahun dengan berbagai acara, seperti kegiatan ilmiah, pengabdian kepada masyarakat, kegiatan kesenian, pameran, bazar dan lain-lain juga termasuk dalam catatan Agussalim sebagai bentuk kemunduran HMI.
Demikian juga dengan tradisi intelektual para kader. Dulu setiap kandidat yang hendak mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PB HMI, harus memiliki minimal satu buku sebagai sumbangsih gagasan dan pemikiran tentang keumatan dan kebangsaan sebagaimana memang menjadi misi dan tujuan organisasi ini dibentuk pada 5 Februari 1947. Namun kini, tradisi intelektual itu sudah tidak ada lagi, sehingga hal itu juga yang ditengarai menjadi penyebab HMI harus kehilangan basis intelektual di kampus-kampus eksklusif di negeri ini.
Harapan Ketua Umum Baru
Forum Kongres XXXI HMI telah menetapkan Raihan Ariatama (28) sebagai Ketua Umum PB HMI periode 2021-2023 dalam pleno pemilihan ketua umum di gedung Islamic Center Surabaya, Kamis (18/3).
Lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini merupakan satu dari 26 kandidat yang jauh hari sebelumnya telah menyatakan siap berkompetisi di forum kongres untuk memimpin organisasi mahasiswa Islam tertua di Nusantara ini.
Kader HMI asal HMI Cabang Bulaksumur, Yogyakarta ini terpilih sebagai Ketua Umum PB HMI setelah berhasil meraih dukungan tertinggi diantara kandidat lainnya dengan perolehan 82 suara, mengalahkan Muhammad Ichya Alimudin dari Cabang Ciputat yang meraih dukungan 40 suara dan Abdul Rabbi Syahrir dari Cabang Bogor 34 suara dan Muhammad Arimin dari Cabang Kutai Kertanegara yang meraih dukungan 32 suara. Sedangkan Muhammad Nur Aris Shoim dari Cabang Yogyakarta hanya meraih dukungan 13 suara.
Terpilihnya Ketua Umum PB HMI yang baru ini, memang sempat menimbulkan spekulasi adanya relasi kuasa antara pimpinan di negeri ini, dengan pimpinan organisasi HMI terpilih, yakni dikaitkan dengan peran Istana Negara Joko Widodo, karena keduanya sama-sama alumni UGM Yogyakarta.
Sebagai bagian dari subjektivitas berfikir, tentu itu wajar, meskipun bisa jadi hanya sebuah kebetulan. Namun yang perlu menjadi perhatian pokok adalah gagasan pemikiran tentang peran dan arah masa depan organisasi tersebut yang kini telah dipercayakan oleh forum kongres dalam kendali Raihan Ariatama.
Pada kegiatan peluncuran gagasan bertema "HMI Menuju Satu Abad" sebelum ajang pemilihan Ketua Umum PB HMI di forum kongres itu, Raihan Ariatama menawarkan 4 poin utama yang akan dilakukan sebagai upaya memperbaiki kondisi internal HMI, serta sumbangsih organisasi ini terhadap kepentingan umat Islam dan Bangsa Indonesia yang ia beri tagline "Empowering HMI". Keempat poin itu meliputi, HMI digital, HMI empowerment, HMI incubator enterpreneurship, dan HMI perisai kebangsaan.
Digitalisasi HMI yang ditawarkan Raihan menekankan pentingnya bagi organisasi ini untuk mengarusutamakan Islam moderat sebagai jembatan antara Islam dan negara dan keterlibatan secara aktif HMI dalam hal ini perlu dilakukan sebagai wujud komitmen organisasi sebagaimana telah menjadi misi dan tujuan awal HMI didirikan pada 5 Februari 1947 oleh Lafran Pane dan kawan-kawan. Raihan memandang perlu HMI terlibat dalam kontestasi pertarungan wacana di ruang publik dengan memanfaatkan berbagai platform media digital.
Platform media digital seperti membuat podcast melalui media sosial youtube merupakan sarana yang perlu dimanfaatkan secara efektif oleh HMI mulai dari tataran komisariat, cabang, badko dan PB HMI untuk mengarusutamakan Islam moderat di ruang publik. Sehingga dengan cara itu, maka menyebarkan Islam yang "rahmatan lil-alamin" sekaligus optimalisasi visi kebangsaan yang berpondasi "Bhinneka Tunggal Ika" bisa terekplorasi secara maksimal ke ruang publik. Bagi Raihan, kemajuan teknologi informasi di era global ini, harus dimanfaatkan secara bijak untuk mendukung peningkatan kapasitas intelektual kader-kader HMI.
Di sisi lain, Raihan juga memandang bahwa HMI harus berperan sebagai intermediary actor (aktor pelantara) yang bisa menjembatani antara kepentingan masyarakat dan kepentingan pemerintah. Peran ini merupakan cerminan dari HMI sebagai salah satu elemen kekuatan moral bangsa.
Ia menegaskan, HMI harus menjadi mitra strategis sekaligus mitra kritis pemerintah. Apabila ada kebijakan pemerintah yang berdampak positif bagi masyarakat, maka harus didukung mendukungnya. Dan sebaliknya, jika ada kebijakan pemerintah yang negatif, HMI harus mengkritik.
Peran HMI sebagai intermediary actor ini, juga berlaku untuk menjadi jembatan antara Islam dan negara yang akhir-akhir ini ada upaya membenturkan kembali antara keduanya. Padahal antara keduanya (Islam dan negara) tidak ada yang perlu dipertentangkan. Keislaman dan ke-Indonesia-an memiliki hubungan yang harmonis dan bisa berjalan berdampingan sebagaimana termaktub dalam konsensus berbangsa dan bernegara.
Pada bidang digital, dan enterpreneurship, Raihan menginginkan agar pola gerakan yang dilakukan para kader-kader HMI tidak hanya fokus pada dunia politik semata, dan HMI perlu membantuk bibit-bibit pengusaha baru, sehingga secara ekonomi organisasi ini akan lebih mandiri, dan pada akhirnya akah lebih bebas bergerak dalam menjalankan kebijakannya, karena tidak terlalu bergantung pada sumbangan dana kegiatan alumni. Sulit, tapi harus dilakukan dan dimulai dengan komitmen yang kuat dan usaha yang optimal pula, katanya.
Gagasan Ketua Umum PB HMI terpilih Raihan Ariatama ini memang tidak cukup menutupi 44 indikator kemunduran HMI sebagaimana hasil penelitian almarhum Dr Agussalim Sitompul. Namun, setidaknya gagasan brilian dengan tagline "Empowering HMI" mengurangi indikator kemunduran HMI.
Beberapa hal, yang bisa mengurangi indikator kemunduran HMI, yakni pertama, modernisasi perkaderan, komitmen tentang visi dan misi keislaman dan kebangsaan atau ke-Indonesia-an HMI, kemandirian usaha organisasi dan tanggung jawab moral HMI pada terbentuknya tatanan masyarakat Islami yang adaptif, dan berkemajuan, sebagaimana juga menjadi tujuan HMI dalam ketentuan anggaran dasar, yakni terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, bernafaskan Islam, serta bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah SWT.