Pamekasan (ANTARA) - Kongres XXXI Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) diselenggarakan di Surabaya, Jawa Timur dan dibuka secara virtual oleh Presiden RI Joko Widodo pada 17 Maret 2021 dari Istana Negara di Jakarta.
Kongres yang pembukaan offline-nya digelar di Grahadi Surabaya itu, berbeda dengan hajatan dua tahunan sebelumnya. Sebab, pada kongres kali ini, Panitia Nasional Kongres (Panasko) menerapkan sistem hybrid atau kombinasi antara peserta yang hadir secara langsung di lokasi kongres dengan sistem daring.
Peserta yang diundang hadir hanya peserta utusan dari 130 lebih cabang se-Indonesia, sedangkan peserta peninjau mengikuti proses persidangan secara daring. Pola ini diberlakukan karena Kongres kali ini digelar di masa pandemi COVID-19. Penerapan protokol kesehatan, seperti menjaga jarak, merupakan keharusan yang harus dipenuhi oleh panitia kongres. Sebab, jika tidak, maka panitia sama halnya membiarkan terjadinya kerumunan yang pada akhirnya bisa berujung pidana.
Pada hari pertama, pelaksanaan Kongres XXXI organisasi mahasiswa Islam tertua di Indonesia ini memang berjalan sesuai dengan skenario panitia. Akan tetapi tiga hari berikutnya, yakni pada 20 Maret 2021, ribuan kader HMI dari sejumlah daerah di luar Jawa, seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Makassar 'menyerbu' lokasi kongres. Mereka tiba di Tanjung Perak Surabaya dengan menumpangi Kapal Motor Sinabung dan menurut data Polda Jatim massa berjumlah 1.135 orang (versi lain 1.300 orang).
Massa HMI yang datang ke Surabaya ini, bukan peserta utusan kongres, melainkan anggota biasa dari sejumlah HMI cabang. Bahkan, tidak sedikit diantara mereka yang masih menjadi pengurus komisariat, yakni tingkatan kepengurus HMI paling rendah di lingkungan kampus, setelah korkom (koordinator komisariat).
Di kalangan HMI, kader-kader yang bukan peserta utusan ataupun peserta peninjau yang datang ke kongres itu, sering disebut "penggembira". Ada juga yang menyebut dengan "romli" (rombongan liar). Mereka berangkat sendiri bersama teman-teman seorganisasinya, menggunakan dana sendiri, terkadang uang saku yang mereka bawa hanya cukup untuk ongkos pulang-pergi saja. Kader-kader hijau-hitam ini seolah tidak peduli akan seperti apa nasib mereka setelah di lokasi kegiatan.
Kebanggaan terhadap organisasi, dan melihat secara langsung proses pengambilan keputusan tertinggi di HMI menjadi daya tarik dan kebanggaan tersendiri dan tradisi ini, hanya ada di HMI. "Dulu saya hanya punya uang Rp100 ribu dan saya bersama teman-teman komisariat berangkat. Semangat dan keinginan yang kuat untuk tahu kongres mengalahkan semuanya. Ya, bondho (modal) nekat," kata mantan Komisioner KPU Pamekasan Syamsul Muarif, menuturkan pengalamannya sebagai peserta 'Romli' Kongres di Jakarta pada tahun 2014.
Bagi Syamsul, pengalaman empiris di ruang forum Kongres, seperti menyaksikan secara langsung cara seniornya memimpin sidang dengan perdebatan yang alot, berbagai kegiatan diskusi, dan bedah buku oleh para calon kandidat ketua umum, telah menyematkan wawasan dan pengetahuan yang mendalam yang tidak ia dapatkan di bangku kuliah.
Cerita mantan aktivis HMI di Unmuh Malang, Jawa Timur ini, memang tidak merepresentasikan para kader HMI di zamannya. Akan tetapi, paling tidak memberikan gambaran apa yang menjadi motivasi para kader-kader HMI yang bukan peserta dan peninjau Kongres datang ke arena pelaksanaan Kongres sebagaimana juga terjadi pada Kongres HMI XXXI di Surabaya.
Gesekan intelektual sesama kader dalam membentuk jati diri sesuai dengan platfom organisasi sebagai kader umat dan kader bangsa bagi Syamsul merupakan pengalaman berharga, apalagi persoalan yang dibahas di forum Kongres merupakan persoalan kebangsaan dan keummatan, serta pola perkaderan HMI yang menurut hasil penelitian Victor Immanuel Tanja dalam buku berjudul "HMI, Sejarah dan Kedudukannya di Tengah Gerakan-Gerakan Muslim Pembaharu di Indonesia" terbaik kedua di Indonesia setelah TNI.
Dalam konteks ini, sambung dia, sebenarnya bisa dipahami, bahwa 'Romli' atau penggembira di setiap Kongres HMI, sebagai ekspresi kebanggaan, sekaligus pembelajaran, serta sebagai wujud ekpresi heroisme kader pada organisasi yang menjadi kebanggaan mereka.
HMI dan Persebaya
Pada konteks Jawa Timur, kecintaan suatu komunitas, kepada kelompok atau persyarikatan, terepresentasi dalam organisasi klub sepak bola Persebaya Surabaya dari suporternya yang dikenal dengan sebutan "Bonek" (bondho nekat).
Setiap kali bertanding, dan kemanapun klub sepak bola ini bertandang, maka di situlah ribuan suporter akan mengiringinya. Uang makan selama perjalanan tidak masalah. Yang penting cukup untuk membeli tiket, bisa masuk stadion, menyaksikan secara langsung klub kebanggaan berlaga, serta bisa memberikan semangat secara langsung di tribun, maka akan menjadi kebanggaan tersendiri, bahwa para suporter ini merupakan bagian tak terpisah dari Persebaya. Kalah menang merupakan hal lain yang sudah menjadi keniscayaan dalam sebuah pertandingan.
Sebagian orang mungkin ada yang menganggap, bahwa gaya Bonek dalam memberikan dukungan pada klub kebanggaan mereka berlebihan. Akan tetapi bagi yang memahami bahwa hal itu sebagai bagian dari ekspresi kecintaan dan implementasi dari rasa memiliki pada klub, tentu akan menganggap wajar, bahkan mengagumi pada bentuk 'fanatisme' Bonek terhadap Persebaya.
Sebab bagi Bonek, sejatinya Persebaya juga merupakan ikon, identitas, sekaligus jati diri warga Surabaya dan masyarakat Jawa Timur pada umumnya yang harus dirawat, dijaga, dikawal dan dilestarikan, karena melalui klub inilah, identitas dan jadi diri Surabaya terepresentasi dengan tepat dan bernilai guna. Demikian juga halnya dengan HMI dan penggembiranya.
HMI memang bukan Persebaya, sebagaimana Bonek juga tidak bisa disamakan dengan "romli/penggembira" kader-kader HMI, karena basis keduanya berbeda. Bonek lebih pada kelompok orang dari lintas profesi, mulai tua, muda, hingga remaja, bahkan anak-anak, sedang penggembira atau para kader pendukung fanatik HMI merupakan mahasiswa yang dikenal dengan elit intelektual kampus.
Namun demikian, dari representasi rasa memiliki suporter Bonek pada Persebaya, sebagaimana juga representasi romli/penggembira kader HMI pada organisasi, keduanya mampu menciptakan iklim dan suasana kebatikan para anggotanya dalam menciptakan rasa memiliki yang kuat pada organisasi.
Terkait hal ini, sejarawan HMI Dr. Agussalim Sitompul dalam buku "Sejarah HMI dan Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa" menyebutkan bahwa kemampuan HMI dalam mendayagunakan semua potensi yang ada di organisasi, sesuai dengan kepentingan umat Islam dan bangsa Indonesia telah menyebabkan organisasi ini mampu menanamkan rasa bangsa dan rasa memiliki bagi semua kadernya.
Kritik dan otokritik merupakan sesuatu yang niscaya terjadi, dan menjadi bagian dari dinamika proses kaderisasi dan proses kematangan berorganisasi, meskipun terkadang juga menjadi penyebab terjadinya penyebab konflik yang tak mudah diselesaikan.
Di organisasi mahasiswa Islam tertua yang didirikan Lafran Pane pada 5 Februari 1947 di Yogyakarta ini, para kader HMI merasa perlu menjaga marwah organisasi, setidaknya tetap menjaga konsistensi nilai ideologis organisasi pada dua hal yang memang menjadi tujuan awal HMI didirikan, yakni mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dan menyebar luaskan ajaran agama Islam yang dalam perkembangannya, dirumuskan menjadi terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, bernafaskan Islam, serta bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah SWT.
Dengan demikian, heroisme dan rasa memiliki kader-kader pada HMI yang terjadi dalam setiap momentum pengambilan keputusan tertinggi di kongres, sebagaimana terjadi pada Kongres XXXI HMI di Surabaya, sejatinya dapat dipahami sebagai ekpresi, di samping dukungan pada organisasi yang mereka banggakan, sebagaimana ekspresi kebanggaan Bonek pada Persebaya.
Antara Bonek dan "romli" HMI
Minggu, 21 Maret 2021 22:22 WIB