Jakarta (ANTARA) - Terpidana kasus "cessie" Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra mengaku rindu untuk dapat pulang ke tanah air setelah 11 tahun berkeliling sejumlah negara karena dijatuhi vonis 2 tahun penjara.
"Saya rindu pulang ke tanah air Indonesia. Itulah kerinduan terdalam selama 11 tahun saya berada di luar negeri," kata Djoko Tjandra saat membacakan nota pleidoi (pembelaan) di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Dalam perkara ini Djoko Tjandra dituntut 4 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan karena terbukti menyuap aparat penegak hukum dan melakukan pemufakatan jahat.
Menurut Djoko Tjandra, ia tidak ditolak oleh pemerintah maupun masyarakat di luar negeri.
"Sebaliknya, saya diterima dan diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk berkarya. Tetapi, seperti kata pepatah, sekalipun hujan emas di negeri orang, dan hujan batu di negeri sendiri, tetap saja tidak bisa menghapus cinta dan kerinduan kepada negeri sendiri," tambah Djoko Tjandra.
Di tengah kerinduan dan pupusnya harapan itu, pada awal November 2019, rekan Djoko Tjandra bernama Rahmat menelpon dirinya dan menyampaikan ingin memperkenalkan Pinangki Sirna Malasari sebagai orang yang katanya dapat membantu menyelesaikan persoalan hukum.
"Saya persilakan kepada Saudara Rahmat. Mungkin ini adalah jalan saya bisa kembali ke tanah air," ungkap Djoko Tjandra.
Menurut Djoko, sebagai seorang WNI yang sudah diputus tidak bersalah dan menjadi orang merdeka, 8,5 tahun kemudian, ia dijatuhi hukuman penjara 2 tahun karena putusan PK Mahkamah Agung RI No 12/PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009 yang diawali oleh pengajuan permohonan PK oleh Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
"Saya tidak tahu apakah Kejaksaan RI yang direpresentasikan oleh Penuntut Umum sedikit memiliki kesadaran bahwa dengan pengajuan PK yang melanggar hukum dulu itu, Kejaksaan RI telah melakukan 'miscarriage of justice' (peradilan sesat) yang menyebabkan luka ketidakadilan tidak hanya kepada saya pribadi, keluarga saya, tetapi juga kepada institusi Kejaksaan RI itu sendiri," tambah Djoko Tjandra.
Ia sendiri sudah melakukan upaya hukum PK atas putusan PK MA No 12 tahun 2009 tersebut tetapi tetap saja ditolak.
"Setelah upaya hukum PK yang pernah saya ajukan itu ditolak, saya tidak punya harapan lagi untuk pulang ke tanah air Indonesia yang saya cintai ini. Tidak ada lagi harapan untuk kumpul bersama-sama dengan semua keluarga di Indonesia," ungkap Djoko Tjandra.
Djoko Tjandra juga mengaku tidak ada lagi harapan untuk bisa nyekar ke makam orang tua maupun menghabiskan masa tua dan meninggal di Indonesia.
"Tidak lagi bisa saya mengatakan kepada cucu-cucu saya bahwa mereka harus mencintai tanah air Indonesia, sementara saya tinggal di luar negeri," kata Djoko Tjandra.
Dalam perkara ini, Djoko Tjandra didakwa melakukan dua dakwaan. Pertama, Djoko Tjandra didakwa menyuap jaksa Pinangki Sirna Malasari sejumlah 500 ribu dolar Singapura, mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte sejumlah 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS serta mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Kakorwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo senilai 150 ribu dolar AS.
Sedangkan dalam dakwaan kedua, Djoko Tjandra didakwa melakukan permufakatan jahat dengan Pinangki Sirna Malasari dan Andi Irfan Jaya untuk memberi atau menjanjikan uang sebesar 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan di Mahkamah Agung.
Terkait perkara ini, jaksa Pinangki sudah divonis 10 tahun penjara ditambah denda Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan, Irjen Pol Napoleon Bonaparte divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan, Brigjen Prasetijo Utomo divonis 3,5 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan, Andi Irfan Jaya divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider 4 bulan kurunga, Tommy Sumardi divonis 2 tahun dan pidana denda sebesar Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan. (*)