Surabaya (ANTARA) - Pakar hukum pidana korupsi Prof. Dr. Nur Basuki Minarno, SH, M.Hum., kepada wartawan di Surabaya, Rabu, menyatakan bahwa tudingan dari sebagian masyarakat yang menyebut Kejaksaan Agung ikut campur tangan dalam vonis ringan pada sidang banding terdakwa Pinangki Sirna Malasari terlampau ngawur.
Pinangki yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejagung mengajukan banding atas vonis 10 tahun pidana penjara dan denda Rp600 juta oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Februari 2021.
Perempuan berusia 40 tahun yang menjadi jaksa sejak tahun 2005 itu dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana suap, pencucian uang, dan pemufakatan jahat dalam perkara terpidana korupsi hak tagih Bank Bali, Djoko S Tjandra.
Saat itu, masyarakat bersorak karena vonis majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta jauh lebih berat dibanding tuntutan hukuman selama 4 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum (JPU).
Belum lama lalu, Pengadilan Tinggi Jakarta mengabulkan permohonan banding Pinangki dengan memangkas hukumannya menjadi 4 tahun penjara.
JPU tidak mengajukan kasasi, yang kemudian muncul tudingan ada intervensi Kejagung. "Kalau mengikuti proses persidangannya, tudingan itu jelas tidak berdasar," ucap Prof. Nur Basuki.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu menjelaskan bahwa berat ringannya putusan persidangan itu sepenuhnya wewenang hakim. Sedangkan yang mempunyai hak atau kepentingan terhadap putusan hakim adalah terdakwa, yang dalam perkara ini adalah Pinangki Sirna Malasari.
Maka, menurut Basuki, wajar jika kemudian Pinangki yang keberatan dihukum pidana penjara 10 tahun, karena jauh lebih berat dari tuntutan JPU, lantas mengajukan banding.
"Sedangkan JPU, yang mempunyai tugas menuntut, mengajukan upaya hukum, dan melaksanakan eksekusi, yang saya ketahui jika putusan hakim kurang dari 2/3 tuntutannya, maka pasti akan mengajukan upaya hukum," ujarnya.
Dalam perkara Pinangki, apakah JPU akan mengajukan kasasi ketika putusan pidana pada pengadilan banding sama dengan tuntutannya. "Tidak beralasan bagi JPU untuk mengajukan upaya hukum kasasi karena sudah ada syarat yang ditentukan secara limitatif sebagaimana diatur Pasal 253 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana," katanya, menjelaskan.
Pertanyaannya, apakah tuntutan JPU hukuman selama 4 tahun tahun penjara untuk Pinangki, yang kini telah diputuskan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta, memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat? Bagi Prof. Nur Basuki, bicara keadilan tidak ada batasan yang jelas dan akan selalu menjadi diskursus yang tidak berujung.
"Menurut saya, hukuman penjara 4 tahun bukanlah pidana yang ringan. Tentunya JPU mempunyai pertimbangan-pertimbangan tertentu sampai pada kesimpulan untuk menuntut pidananya 4 tahun penjara," ujarnya.
Prof. Nur Basuki justru menilai Kejaksaan Agung mempunyai kinerja yang sangat bagus. Selain telah menuntaskan perkara Pinangki yang memperoleh perhatian masyarakat, juga telah mengungkap sejumlah kasus mega korupsi, seperti PT Jiwasraya, PT Asabri dan lain-lain.
Kasus-kasus mega korupsi tersebut, menurutnya, pekerjaan yang sangat luar biasa dan kompleks, berbeda dengan penanganan kasus korupsi karena OTT yang relatif sangat mudah pembuktiannya.
"Saya membayangkan betapa kompleksnya mengungkap kasus-kasus mega korupsi sampai berhasil melimpahkan ke persidangan. Hebatnya lagi oleh pengadilan dinyatakan terbukti bersalah. Dari kasus tersebut ada keuangan negara yang sangat besar yang dapat diselamatkan oleh Kejaksaan Agung. Sebagai akademisi, saya acungi jempol. Itu prestasi yang patut dibanggakan," katanya.
Pakar: Tudingan intervensi Kejagung dalam vonis Pinangki adalah ngawur
Rabu, 14 Juli 2021 19:57 WIB
Bicara keadilan tidak ada batasan yang jelas dan akan selalu menjadi diskursus yang tidak berujung