Jakarta (ANTARA) - Majelis hakim menolak permohonan Djoko Tjandra untuk menjadi "juctice collaborator" atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum.
"Dihubungkan dengan syarat sebagai pelaku yang bekerja sama atau 'justice collaborator' sebagaimana SEMA No 4 tahun 2011 maka majelis berpendapat terdakwa tidak memenuhi kriteria sebagai 'justice collaborator' sehingga permohonan 'justice collaborator' di atas tidak dapat dikabulkan," kata Anggota Majelis Hakim Saifuddin Zuhri dalam sidang pembacaan vonis di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Dalam perkara ini, majelis hakim memutuskan Djoko Tjandra bersalah dan divonis 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan karena terbukti menyuap aparat penegak hukum dan melakukan pemufakatan jahat.
Djoko Tjandra sebelumnya mengajukan permohonan "justice collaborator" pada 4 Februari 2021. Namun Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Agung dalam surat tuntutan pada 4 Maret 2021 sudah menolak permohonan tersebut karena menilai Djoko Tjandra adalah pelaku utama.
Majelis hakim pun menyebutkan dua pertimbangan untuk menolak permohonan Djoko Tjandra sebagai JC tersebut.
"Terkait pengurusan fatwa MA, tedakwa ragu apakah Herriyadi benar menyerahkan 500 ribu dolar AS padahal di perjalanan persidangan terdakwa menerangkan telah menerima 'action plan' dari Andi Irfan Jaya setelah terdakwa memberikan uang ke Pinangki," kata Hakim Saifuddin.
Di samping itu menurut majelis hakim, setelah penyerahan uang, Djoko Tjandra mengatakan ke Anita Kolopaking bahwa sebagian uang telah diserahkan ke Pinangki sehingga Anita diberikan uang 50 ribu dolar AS oleh Pinangki.
"Sehingga keterangan terdakwa yang meragukan penyerahan uang 500 ribu dolar AS oleh Pinangki menunjukkan terdakwa tidak mengakui kejahatan," ungkap Hakim Saifuddin.
Selanjutnya terkait pengecekan "red notice" dan status Daftar Pencarian Orang (DPO), Djoko Tjandra mengatakan telah menyerahkan kepada rekannya, Tommy Sumardi, uang sejumlah Rp10 miliar berupa "commitment fee" dan tidak tahu kepada siapa uang itu akan diberikan Tommy.
"Padahal dalam perjalanan, terdakwa mengetahui bahwa terdakwa meminta tolong Tommy Sumardi karena Tommy punya hubungan luas dengan pejabat Polri sehingga saat bertemu Tommy sudah disampaikan agar Tommy berhubungan dengan pejabat NCB (National Central Bureau) sehingga sejak awal terdakwa sudah tahu ke siapa uang diberikan untuk mengurus DPO dan Interpol apalagi Tommy selalu memberikan 'progress' status DPO kepada terdakwa," tambah Hakim Saifuddin.
Majelis hakim pun menilai Djoko Tjandra tidak mengakui perbuatannya dan tidak layak mendapat status "justice collaborator".
"Jadi keterangan yang mengatakan terdakwa tidak tahu ke siapa uang itu akan diberikan menunjukkan terdakwa tidak mengakui perbuatannya," kata hakim Saifuddin. (*)