Jakarta (ANTARA) - "Seksi" dan "seksis" bisa dipandang sebagai si kembar yang saling bertaut. Tapi bisa juga ibarat langit dan bumi, berjarak jauh bahkan bisa saling bertentangan. Apa boleh buat, tampaknya ada sikap mana suka dalam menafsir relasi dua kata sifat itu.
Perspektif yang menganggap keduanya saling bertaut bisa mengambil contoh kasus ini: Ada seorang perempuan muda atau setengah tua sedang berpakaian seksi. Mungkin berbusana rok mini atau berbusana dengan gaun belahan dada rendah. Seorang pria memandangnya. Dia tergugah oleh keseksian itu. Dia pun menggodanya. Dia telah berpikir lalu berlaku seksis. Jadi, yang seksi mengakibatkan lahirnya yang seksis.
Sementara itu, sudut pandang yang menilai bahwa dua kata itu bertolak belakang dalam makna berangkat dari definisi. "Seksi" itu soal adjektiva (kata sifat) yang merujuk pada apa pun yang seksi untuk sesuatu yang kasat mata, bisa pada bentuk raga wanita maupun pria. Sebaliknya, "seksis" itu adjektiva yang mengacu pada pikiran dan perilaku yang bias seksual, bisa bermuatan unsur diskriminatif, bisa melecehkan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefiniskan "seksi" sebagai "merangsang rasa berahi (tentang bentuk badan, pakaian dan sebagainya)".Sedangkan "seksis", sayangnya, KBBI tak memberikan batasan. Ini juga menandakan bahwa publik di Indonesia belum kaprah dengan istilah "seksis".
Dalam ranah bahasa asing, "seksis" yang versi Inggris tereja "sexist" punya makna yang setara dengan "misoginis", "antifeminis". Pandangan seksisme bermakna negatif sebab memandang kelamin sebagai basis penilaian padahal poin pentingnya bukan di perkara jenis kelamin.
Sikap seksis masih bersliweran di Indonesia. Canda-canda di pertunjukan lawak, di obrolan sehari-hari tak jarang bernada seksis. Jelas bahwa sikap ini, selama ini, sering merugikan kaum wanita. Munculnya sebutan populer "pelakor" atau perebut laki orang mengindikasikan seksisme. Kenapa? Karena dalam kasus semacam itu terlupakan fakta bahwa tak jarang si lelakilah yang aktif mengejar si wanita.
Seksisme agaknya akan terkikis ketika Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), yang kini masuk dalam daftar pembahasan Prolegnas DPR 2021, disahkan menjadi UU.
Bagi pegiat kesetaraan gender, yang hampir pasti separalel dengan penganjur demokrasi, UU yang mengikis seksisme mendapat dukungan kuat. Mereka berargumentasi bahwa UU itu akan mengangkat derajat perempuan di tanah air. Dengan demikian martabat perempuan kian terjamin.
Jika UU itu disahkan, banyak manfaat yang dirasakan warga negara. Sebab, seperti di atur dalam pasal-pasal RUU tersebut, banyak tindakan yang bermuatan tindak kekerasan seksual, yang selama ini terjadi di masyarakat, belum diatur. Salah satu contoh adalah pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi.
Sebetulnya yang menarik dari RUU PKS itu bukan pada aspek penindakan terhadap pelanggarannya. Namun justru pada segi preventifnya. Di sana peran negara dalam melindungi warga negara dari kejahatan kekerasan seksual cukup menonjol.
Peran negara untuk memberikan edukasi terhadap warga, bisa dilakukan melewati lembaga pendidikan sejak taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi diutamakan. Mungkin selama ini dunia pendidikan sudah memberikan pemahaman terhadap siswa bahwa menertawakan, menghina, melecehkan sesama kawan secara seksual merupakan perbuatan yang tidak sopan.
Namun, dengan lahirnya UU PKS, para pendidik makin fokus dalam memberikan pemahaman soal kekerasan seksual verbal, yang konsekuensinya bisa masuk penjara. Bisa dibayangkan bahwa setelah UU PKS lahir, ujaran yang bersifat melecehkan secara seksual terhadap lawan bicara akan menurun secara drastis.
Ini berarti bahwa ruang publik di Indonesia akan lebih santun, lebih beradab, lebih "bersih" dari ujaran-ujaran yang merendahkan martabat manusia terkait dengan aspek seksualitas.
Frasa-frasa yang bertebaran di ruang publik entah itu dalam judul film, lirik lagu atau puisi, dalam lawakan di pertunjukan daring dan luring yang melecehkan secara seksual terhadap wanita maupun pria bisa direduksi dengan lahirnya UU PKS.
Tugas negara juga kian bertambah ketika aspek perlindungan terhadap warga negara dari kemungkinan ancaman kekerasan seksual dilaksanakan sebagaimana dituntut oleh undang-undang itu. Negara perlu membangun infrastruktur atau fasilitas yang selama ini membuka peluang bagi pelanggar kekerasan seksual beraksi.
Tempat-tempat hiburan atau rekreasi yang memungkinkan terjadinya kekerasan seksual, entah karena kurangnya penerangan di malam hari, atau kurangnya petugas patroli, perlu ditata ulang dan dibenahi untuk mencegah terjadinya pelanggaran kekerasan seksual.
Dari aspek ini saja, semua warga akan menikmati manfaat langsung dari lahirnya UU PKS. Tentu sangat mungkin akan muncul problem baru ketika UU itu sudah disahkan. Misalnya dalam menafsirkan pasal-pasal tentang jaminan negara atas perlindungan terhadap warga di tempat-tempat hiburan atau rekreasi. Apakah perlindungan itu akan diwujudkan dalam bentuk pemisahan zona antara wanita dan pria?
Ketika muncul wacana tentang perlunya memisahkan zona khusus pria dan wanita di tempat-tempat rekreasi muncul, banyak pro-kontra. Yang kontra akan mengatakan bahwa aturan itu justru melahirkan diskriminasi, membatasi sepasang kekasih yang berlainan jenis kelamin untuk menikmati bersama di lokasi rekreasi itu, dan malah menjadi nirwana bagi pasangan kekasih sesama jenis (yang tentu saja berperilaku secara diam-diam).
Apa pun wacana pro-kontra yang akan muncul, secara umum semua orang setuju bahwa negara wajib memberikan perlindungan terhadap warga di seluruh wilayah tanah air dari kekerasan pada umumnya, dan kekerasan seksual, ragawi maupun verbal.
Kekerasan seksual dalam bentuk ujaran lisan/tulisan alias verbal merupakan fenomena yang sering luput dari jerat hukum selama ini. Itu sebabnya, pandangan seksis di masyarakat mudah ditemukan baik dalam bentuk tertulis, terekam maupun praksis keseharian di dunia nyata.
Syahdan, salah satu muara yang dibidik dengan lahirnya UU PKS itu adalah: semua ujaran dan perilaku yang seksis akan terkikis--sedikitnya terminimalisasi.