Yogyakarta (ANTARA) - Pokja Genetik Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM dan tim berhasil mengidentifikasi Whole Genome Sequencing (WGS) empat isolat SARS-CoV-2 dari Yogyakarta dan Jawa Tengah di mana tiga di antaranya mengandung mutasi D614G.
Ketua Pokja Genetik FK-KMK UGM, dr. Gunadi saat dikonfirmasi di Yogyakarta, Selasa, menjelaskan mutasi virus itu teridentifikasi pertama kali pada 24 Agustus 2020, setelah timnya mengirimkan genom tiga isolat SARS-CoV-2 dari Yogyakarta ke GISAID yang hasilnya dua di antaranya mengandung strain GH, artinya ada mutasi pada D614G.
"Kemudian kemarin 31 Agustus 2020 kita submit (kirim) lagi satu isolat dari Jawa Tengah, ternyata itu GH juga, artinya tiga dari empat yang kita kirim mengalami mutasi," kata dia.
Perlu diketahui, Global Initiative on Sharing All Influenza Data (GISAID) adalah bank data influenza di dunia yang bertugas mengumpulkan semua virus flu termasuk meneliti virus penyebab COVID-19 itu.
Gunadi mengatakan untuk mendeteksi mutasi virus SARS-CoV-2, timnya tidak membutuhkan waktu yang lama. Hanya saja, harus menunggu reagen dari luar negeri yang baru tersedia pada akhir Juli 2020.
"Kita sebenarnya proses di lab enggak lama, sekitar dua hingga lima hari, kemudian kita submit ke GISAID langsung keluar jenis mutasinya," kata dia.
Pokja Genetik FK-KMK UGM bersama tim, kata Gunadi, sebelumnya telah bekerja sejak April 2020 menguji sampel usap yang menentukan positif atau negatif SARS-CoV-2. "Saat itu belum bisa menentukan jenis virusnya bermutasi atau tidak," kata dia.
Ia mengatakan D614G telah tersebar hampir di seluruh pelosok dunia, yaitu 77,5 persen dari total 92.090 isolat mengandung mutasi D614G.
Sedangkan, di Indonesia sendiri sudah dilaporkan sebanyak 9 dari 24 isolat yang dilaporkan di GISAID mengandung mutasi D614G. Sepertiganya terdeteksi di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Ia mengatakan meski data dari Indonesia, khususnya Yogyakarta dan Jawa Tengah masih jauh dari ideal, namun temuan itu membuktikan bahwa mutasi D614G yang memiliki daya infeksius 10 kali lebih cepat memang sudah ada di Tanah Air.
Menurut dia, kecepatan tingkat infeksi D614G memang masih perlu penelitian lanjutan pada level komunitas masyarakat. Tingkat infeksi yang disebutkan memiliki kecepatan 10 kali lipat itu baru dilihat berdasarkan penelitian pada sel.
"Jadi penelitian pakai mikroskop pada sel kultur in vitro, dia memang 10 kali menginfeksi lebih cepat," kata Gunadi.
Namun demikian, ia berharap semua pihak mulai meningkatkan kewaspadaan dengan lebih disiplin menerapkan protokol kesehatan seperti memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak fisik.
"Jika pada level komunitas juga terbukti memiliki kecepatan infeksi 10 kali lebih cepat kan berbahaya sekali. Ya, kalau imunnya cukup, kalau tidak, maka tingkat kematian akan tinggi sekali. Meski penelitian ini belum berhubungan dengan derajat keparahan penyakitnya," kata dia. (*)