Surabaya (ANTARA) - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Kota Surabaya dan Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (Persi) Jawa Timur menyatakan sikap terkait seringnya rumah sakit di Surabaya menjadi rujukan pasien COVID-19 dari berbagai rumah sakit di Jatim, sehingga sempat mengalami over capacity atau kelebihan kapasitas.
Ketua IDI Cabang Surabaya dr. Brahmana Askandar, di Surabaya, Senin, mengatakan IDI dan Persi akan mengatur regulasi dan mensosialisasikan tentang proses rujukannya, sehingga nanti yang bisa ditangani oleh daerah, tidak perlu dirujuk ke Surabaya.
"Mungkin ini hanya perlu disosialisasikan lagi dan didiskusikan lagi dengan rumah sakit di daerah, supaya tidak semuanya dirujuk ke Surabaya," kata dr. Brahmana Askandar saat melakukan pertemuan dengan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini di Balai Kota Surabaya.
Apalagi, lanjut dia, belasan rumah sakit di Jawa Timur di luar Surabaya sudah menjadi pusat rujukan penanganan COVID-19. Rumah sakit yang sudah ditetapkan menjadi rujukan di Jatim itu saat ini juga sudah dianggap mampu menangani pasien COVID-19, baik dari segi fasilitas maupun sumberdayanya.
Ketua Persatuan Rumah Sakit Indonesia (Persi) Jatim dr. Dodo Anondo mengatakan sebetulnya rumah sakit di Surabaya cukup untuk menangani COVID-19 jika pola rujukannya sudah sesuai. Hanya saja, lanjut dia, terkadang pasien itu kurang percaya untuk berobat di daerah, sehingga dirujuk atau pun berobat ke Surabaya.
"Memang Surabaya itu sudah luar biasa, kita apresiasi semuanya, tetapi masalahnya bebannya memang dari luar kota, memang agak sulit menanganinya. Terus terang kita tidak bisa menolak pasien, makanya nanti kita akan buat polanya," kata dr. Dodo.
Oleh karena itu, ia akan berkoordinasi dengan rumah sakit daerah supaya ke depan tidak terjadi lagi rujukan lepas. Ia mengakui bahwa Persi memiliki delapan koordinator wilayah, nantinya akan disampaikan kepada korwilnya dan juga direktur rumah sakit di Jawa Timur supaya tidak semuanya dirujuk ke Surabaya.
"Ini tadi yang banyak didiskusikan adalah rujukan lepas, tahu-tahu IGD rumah sakit di Surabaya dapat pasien dari luar kota, tentu ini membebani rumah sakit di Surabaya. Ini yang harus ditangani dengan baik, makanya nanti kita akan siapkan polanya," katanya.
Sementara itu, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengakui bahwa berdasarkan data dan hitungannya, pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit Surabaya sebanyak 50 persen adalah warga luar Surabaya. Bahkan, terdeteksi di RSUD Soewandhie dan RSUD Bhakti Dharma Husada (BDH) pasien COVID-19 dari luar Surabaya datang langsung ke UGD.
"Kalau dia OTG lalu kemana-mana di Surabaya, misalnya ke warung makan dan tempat lain, tentu ini yang membuat berat kepada kami di Surabaya. Belum lagi kalau dia bawa keluarga, sedangkan di salah satu keluarganya sudah ada yang positif, sehingga ini berat ke kami. Itu yang kami sampaikan ke Persi dan IDI," ujarnya.
Oleh karena itu, Risma berharap semuanya harus mengikuti protokol dan aturannya, sehingga tidak semua orang harus dirujuk ke Surabaya dan diterima oleh rumah sakit di Surabaya.
"Kalau sedang-sedang saja dan masih bisa diatasi di daerah, kenapa harus dirujuk ke rumah sakit di Surabaya? itu yang berat bagi kami dan sudah kami sampaikan ke Persi dan IDI. Semoga segera ada solusi," katanya. (*)