Surabaya (ANTARA) - Pimpinan DPRD Kota Surabaya meminta dinas kesehatan setempat meninjau ulang standarisari keamanan dan kesehatan bilik desinfeksi yang sudah tersebar di sejumlah titik di Kota Pahlawan, Jatim, dengan berpedoman pada Surat Edaran Kementerian Kesehatan Nomor HK.02.01/MENKES/199/2020.
"Jika ternyata tidak sesuai dengan standar Kemenkes, alangkah baiknya jika tidak dipakai lagi dan diberikan penjelasan kepada masyarakat," kata Wakil Ketua DPRD Surabaya Reni Astuti di Surabaya, Minggu.
Menurut dia, beberapa waktu lalu ada berbagai pandangan pro dan kontra berkaitan dengan bilik sterilisasi di Kota Surabaya. Sebagian pendapat mengatakan aman, dan sebagian lagi mengatakan berbahaya.
"Di tengah kondisi seperti ini opini yang beredar membuat masyarakat menjadi bingung," ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Selama ini, Reni mengaku hanya memantau saja dan tidak ikut pada pro dan kontra, hingga akhirnya ada info bahwa Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengeluarkan surat edaran Nomor HK.02.01/MENKES/199/2020 pada tanggal 3 April 2020 yang ditujukan kepada kepala dinas kesehatan provinsi dan kepala dinas kesehatan kota/kabupaten.
Tercantum di surat tersebut bahwa ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam penggunaan bilik disinfeksi, seperti halnya menurut WHO bahwa menyemprotkan disenfektan ke tubuh dapat berbahaya untuk membrane mukosa (misal mata dan mulut) sehingga berpotensi terhadap kesehatan dan merusak pakaian.
Selain itu, lanjut dia, jika disemprotkan langsung ke tubuh secara terus menerus dapat menyebabkan iritasi kulit dan iritasi pada saluran pernafasan.
Kementerian Kesehatan RI juga menyampaikan rekomendasi kepada dinas kesehatan yaitu tidak menganjurkan penggunaan bilik desinfeksi di tempat dan fasilitas umum (TFU) serta pemukiman. Penggunaan desinfeksi yang dianjurkan adalah yang dilakukan secara rutin pada permukaan dan benda-benda yang sering disentuh.
Dengan diterbitkannya SE Kementerian Kesehatan ini, lanjut dia, pihaknya mendorong Dinkes Surabaya untuk mengindahkan SE Kemenkes RI dengan mengambil langkah cepat yaitu mendata bilik yang telah beredar di masyarakat serta memberikan penjelasan dan standarisasi bilik desinfeksi di Kota Surabaya.
Sementara itu, Guru Besar sekalsigus Dekan Fakultas Sains dan Analitika Data Institut Tehnologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Profesor Hamzah Fansuri mengatakan, bahwa disinfektan yang digunakan pada bilik sterilisasi maupun disemprotkan ke sejumlah fasilitas umum di Kota Surabaya, aman.
Hal ini dikarenakan penggunaan Benzalkonium Chlorida, bahan yang digunakan untuk penyemprotan dalam dosis atau takaran yang tepat. "Pada konsentrasi sesuai takaran aman digunakan asalkan tidak berlebihan," katanya.
Hamzah mengakui bahan kimia yang digunakan untuk disinfektan bisa mematikan bakteri, merusak virus dan sebagainya. Untuk disinfektan yang disemprotkan di area terbuka, karena digunakan untuk benda mati. Maka, jika diperlukan konsentrasinya bisa lebih besar supaya efek mematikannya tinggi.
"Misalnya, untuk mengepel, menggunakan karbol, lisol yang anti bakteri, kalau konsentrasinya tinggi gak apa-apa. Tapi, jangan lupa memakai sarung tangan, atau APD (Alat Pelindung Diri) agar tak kena kulit," katanya.
Sementara untuk disinfektan yang disemprotkan di dalam bilik, konsentrasinya tak boleh tinggi karena kalau terlalu tinggi memang bisa membunuh virus, tapi juga bisa merusak tubuh. Apabila terkena kulit, sel kulit masih bisa regenerasi. Namun, tidak boleh kena kelenjar Mukosa pada hidung dan mulut sebab kelenjar ini tak memiliki perlindungan sebagus kulit.
"Kalau di dalam chamber (bilik sterilisasi) yang aman, tutup mata dan tahan nafas. Gak lama hanya beberapa detik. Saya rasa aman, karena cairan yang dipakai konsentrasinya bisa ditolerir, tidak menyebabkan dampak jangka pendek dan jangka panjang," katanya.
Diketahui Pemerintah Kota Surabaya memasang Bilik Sterilisasi sedikitnya 239 unit di sejumlah kawasan. Sedangkan, jumlah wastafel yang terpasang kurang lebih 794 unit. (*)
Bilik sterilisasi di Kota Surabaya diminta berpedoman SE Kemenkes
Minggu, 5 April 2020 7:44 WIB
Jika ternyata tidak sesuai dengan standar Kemenkes, alangkah baiknya jika tidak dipakai lagi dan diberikan penjelasan kepada masyarakat