Banyuwangi (ANTARA) - Festival Ngopi Sepuluh Ewu di Desa Adat Kemiren, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Sabtu (12/10) malam, menjadi cara pemerintah daerah setempat mengundang wisatawan datang dan dapat menggerakkan sektor ekonomi kreatif di desa wisata itu.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengapresiasi kegiatan ngopi sudah memasuki tahun ketujuh dan Festival Ngopi Sepuluh Ewu merupakan bagian dari kegotongroyongan masyarakat, karena semuanya disiapkan dsn dirancang warga Desa Adat Kemiren.
"Acara ini menjadi cara untuk mengundang orang datang ke sini. Sebagai desa wisata, kedatangan orang ke Kemiren menjadi sesuatu yang penting untuk menggerakkan sektor ekonomi kreatif yang sedang tumbuh di sini, seperti kuliner, batik, seni pertunjukan hingga penginapan," kata Bupati Anas.
Partisipasi publik yang tinggi dalam mempersiapkan Festival Sepuluh Ewu ini, menurut ia, bisa mendongkrak berbagai sektor lainnya, terutama ekonomi kreatif yang sedang bergeliat di desa tersebut.
Baca juga: Atraksi 1.300 penari Gandrung Banyuwangi memukau penonton dan wisatawan
Sementara itu, sesepuh adat Desa Kemiren, Suhailik, mengemukakan bahwa warga Desa Kemiren memiliki falsafah lungguh, suguh dan gupuh dalam menghormati, dan ngopi sepuluh ewu (Rp10.000) menggambarkan falsafah yang dipegang warga setempat.
Ia menjelaskan, lungguh adalah menyiapkan tempat, sedangkan suguh menyajikan hidangan, dan gupuh adalah kesigapan tuan rumah dalam menyambut tamu.
"Kami siapkan tempat duduk di sepanjang teras warga sebagai bagian dari lungguh, kami juga siapkan kopi dan beragam jajanan tradisional sebagai suguh, serta kami berupaya untuk memberikan pelayanan yang terbaik sebagai bentuk dari gupuh," paparnya.
Ribuan pengunjung Festival Ngopi Sepuluh Ewu 2019 yang datang pada Sabtu (12/10) malam berasal dari berbagai kota di Indonesia. Hadir pula Bupati Gresik Sambari Halim dan musisi Indra Lesmana, mereka berbaur bersama masyarakat menikmati seduhan kopi Banyuwangi.
Baca juga: Menyeruput kopi Banyuwangi di kaki Gunung Raung
Hadirnya wisatawan ini, sesepuh Suhailik berharap mereka bisa menjadi saudara bagi warga Desa Adat Kemiren.
"Dengan ngopi bareng di sini, kami ingin mereka menjadi saudara bagi kami. Karena kami punya semboyan, Sak Corot Dadi Sakduluran (Menyeduh bersama, maka kita bersaudara)," tuturnya.
Pengunjung asal Surabaya, Umam, mengatakan hadir dalam Festival Ngopi Sepuluh Ewu di desa adat itu yang ketiga kalinya.
"Kalau sekadar mau ngopi khas Banyuwangi, banyak kok kafe yang menyediakannya sekarang. Tapi beda dengan ngopi di sini," ujarnya.
Tradisi ngopi di Desa Kemiren memang tak sebatas menikmati seduhan biji kopi, namun ada pesan filosofis yang terkandung dalam tiap cangkirnya. Dengan secangkir kopi, bisa menyatukan beragam perbedaan serta merekatkan tali persaudaraan.
Festival Ngopi Sepuluh Ewu di Banyuwangi ini juga dihadiri Direktur Jendral Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik.
"Di Banyuwangi ini terasa keguyuban warganya. Mulai Gandrung Sewu hingga festival ngopi, warga goyong royong untuk memajukan daerahnya lewat atraksinya. Pancasila hadir sesungguhnya di Banyuwangi ini," kata Akmal.
Festival Ngopi Sepuluh Sewu digelar secara swadaya oleh warga Desa Kemiren, sebagai bentuk penghormatan warga kepada para pengunjung dengan menyuguhkan kopi yang telah menjadi budaya warga Kemiren.
Warga Desa Kemiren menyiapkan tak kurang dari 350 kilogram bubuk kopi khas Banyuwangi, beragam varian yang disajikan, mulai dari arabika dan robusta hingga house bland.