Surabaya (ANTARA) - Pengamat terorisme Ali Fauzi mengatakan modus penyerangan yang digunakan pelaku terhadap Menko Polhukam Wiranto hampir sama dengan kejadian-kejadian sebelumnya yakni menargetkan aparatur negara.
"Bulan lalu di Surabaya juga sama, oknum melakukan penyerangan terhadap anggota polisi di Polsek Wonokromo. Sekarang bergeser ke barat, ke Banten, malah yang diserang adalah aparat yang lebih tinggi, dalam hal ini Menko Polhukam Wiranto. Ini bukan hal baru," kata Ali Fauzi dikonfirmasi di Surabaya, Jumat.
Berdasarkan hasil analisanya, ada perubahan tren penyerangan terorisme dibandingkan dengan kasus lebih lama.
Ali Fauzi membagi aksi terosime di Indonesia menjadi dua, yakni aksi terorisme yang dilakukan mulai 2000 hingga 2010, dimana dominan pelakunya adalah JI (Jamaah Islamiyah) dengan sasaran simbol barat, hotel, turis asing dan lain-lain.
Kemudian mulai tahun 2010 hingga saat ini, pelaku didominasi oleh mereka yang terafiliasi ISIS, seperti Jamaah Ansharud Daulah (JAD), dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT). Tren penyerangan yang dilakukan juga berubah. Bahkan penyerangan seperti saat ini, hampir tidak terjadi di 2000 hingga 2010.
"Dulu banyak melakukan cara kasar, bom mobil, bom rompi, jumlah korban juga bisa ratusan orang. Belakangan begeser. Serangannya bervariasi. Kadang pakai bom tapi kecil, kadang melakukan perampokan, sering juga melakukan penyerangan terhadap polisi," ujar pria kandidat doktor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu.
Selain aksi terorisme yang berubah, doktrin dan ideologi yang dianut pelaku teror juga berbeda. Kelompok lama yang didominisi JI, pemikirannya lebih halus daripada kelompok sekarang yang terafiliasi ISIS.
Kelompok lama, lanjut Ali, pemikiran takfiri terhadap pemerintah lebih halus, dan lebih menysar pada takfir aini atau per individu.
"Sementara kelompok ISIS menggunakan takfir amm, pengafiran secara menyeluruh. Bahwa semua aparat pemerintah kafir. Seluruh komponen yang mendukung NKRI kafir dan boleh dibunuh," kata mantan teroris itu.
Ali Fauzi berpendapat, penyerangan terhadap aparatus negara tersebut tidak bisa dikatakan konnyol. Penyerangan dilakukan seperti itu menurutnya karena kemampuan mereka yang terbatas.
"Bisa saja mereka terlebih dahulu terkontaminasi paham jihad yang susah membendung, sehingga semangat lebih besar dari kemampuan. Mereka belum pernah belajar cara peledakan, akhirnya apapun cara dan bagaimana kemampuan tetap menyerang. Yang penting eksistensi mereka ada," ujar Ali Fauzi. (*)