Banyuwangi (ANTARA) - Puluhan petani di Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Minggu, kembali menggelar tradisi adat Kebo-Keboan berdandan layaknya kerbau dengan memakai tanduk buatan lengkap dengan rambut surai serta badan dilumuri jelaga hitam.
Tradisi Kebo-Keboan ini digelar warga desa setempat sebagai bentuk ucapan syukur dari petani akan hasil panen yang berlimpah. Sedangkan kerbau merupakan simbolisasi kerja sama antara petani dan hewan bajak (kerbau) yang berperan membantu petani menyuburkan tanah.
Selain sebagai ungkapan rasa syukur, tradisi Kebo-Keboan Alasmalang juga dipercaya sebagai ritual tolak bala yang telah dilakukan warga desa setempat sejak 300 tahun lalu.
Tradisi Kebo-Keboan inipun mampu menyedot ribuan pengunjung untuk menyaksikan keunikan pertunjukan petani yang beratraksi seperti kerbau yang digelar di sebuah areal pertanian desa.
Di tengah areal persawahan terdapat satu petak sawah yang telah digenangi air, dan petak sawah inilah yang menjadi "arena pertempuran" kerbau yang dimainkan oleh puluhan petani.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas yang membuka kegiatan tradisi Kebo-Keboan ini mengatakan bahwa tradisi ity menjadi salah satu kearifan lokal yang menguatkan kebudayaan Banyuwangi.
"Kebo-Keboan adalah satu dari sekian banyak tradisi agraris warga Banyuwangi. Tradisi ini sangat otentik Banyuwangi. tidak ditemukan di daerah lain di Indonesia, maka tak heran banyak wisatawan yang menunggu momen ini untuk bisa hadir menyaksikan," ujar Bupati Anas.
Menurut ia, tradisi yang dikemas dalam rangkaian agenda Banyuwangi Festival, itu bukan hanya untuk menghidupkan kebudayaan lokal, tapi juga sebagai pengungkit perekonomian warga.
"Beragam kegiatan yang diangkat dalam Banyuwangi Festival banyak yang berakar dari tradisi masyarakat desa. Terima kasih kepada warga desa yang terus aktif dan kreatif mengemas adat desanya menjadi sebuah atraksi yang mampu menarik wisatawan untuk hadir di Banyuwangi. Desa pun kini bergeliat mengemas daerahnya menjadi jujugan wisatawan," katanya.
Ritual yang dilakukan setiap bulan Suro penanggalan Jawa, ini diawali dengan syukuran dan makan bersama di persimpangan jalan desa.
Selanjutnya, dipimpin seorang tokoh adat setempat, 30 manusia kerbau diarak mengelilingi empat penjuru desa dengan iringan musik khas Suku Using. Prosesi ini disebut ider bumi, dan di sepanjang jalan, mereka berkubang, bergumul di lumpur, dan bergulung-gulung.
Ritual diakhiri dengan prosesi membajak sawah dan menabur benih padi oleh kerbau-kebauan di petak sawah yang telah disediakan. Dalam prosesnya benih padi yang nantinya ditabur oleh Dewi Sri ini akan banyak diperebutkan warga karena diyakini bibitnya akan menghasilkan hasil panen yang lebih berlimpah. (*)