Banyuwangi (Antara Jatim) - Masyarakat Desa Alasmalag, Kecamatan Singojuruh, Banyuwangi hingga kini tetap meletsrika tradissi unik Kebo-keboan yang selalu digelar setiap awal Bulan Suro dalam penanggalan Jawa.
Tradiai Kebo-Keboan (Kerbau-kerbauan) itu digelar masyarakat setempat Alasmalang sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas hasil panen yang melimpah.
Tradisi agraris ini ditandai dengan kenduri desa dan diakhiri dengan ritual ider bumi (keliling bumi), dimana puluhan "kerbau-kerbauan" mengelilingi empat penjuru arah mata angin di desa tersebut. Mereka juga melakukan ritual layaknya siklus bercocok tanam, mulai dari membajak sawah, mengairi, hingga kerbau-kerbauan itu menemani petani saat menabur benih padi.
"Kerbau" dalam tradisi ini adalah petani yang didandadi layaknya seekor kerbau. Badannya dilumuri jelaga hingga hitam pekat seperti kerbau. Di kepalanya juga mengenakan asesoris berbentuk tanduk dan gelang kerincing di tangan dan kakinya, sehingga menyerupai kerbau.
Pada Bulan Suro tahun ini, tradisi Kebo-Keboan Alasmalang digelar pada tanggal 1 Suro yang bertapatan dengan Minggu (2/10) di Dusun Krajan, Desa Alasmalang, Singojuruh.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas saat membuka acara tersebut mengatakan tradisi kebo-keboan Alasmalang menjadi salah satu kearifan lokal yang menguatkan kebudayaan Banyuwangi.
Tradisi ini dikemas dalam rangkaian agenda Banyuwangi Festival yang bukan sekedar untuk mengusung tradisi desa ke kota, melainkan bagaimana tradisi itu bisa menjadi instrumen pengungkit perekonomian warga. "Dengan kemasan acara yang berkelas, tradisi ini akan banyak mengundang warga datang ke desa ini. Tak hanya dari Banyuwangi tapi juga wisatawan dari luar daerah. Dengan demikian, kegiatan ini akan berdampak pada perekonomian warga setempat. Saat banyak pengunjung, warga bisa berjualan makanan, minuman atau produk UMKM khas Banyuwangi," kata Bupati Anas.
Tak hanya itu, Bupati juga berpesan, agar masyarakat Banyuwangi tetap menjaga kekompakan untuk membangun Banyuwangi yang lebih maju. “Terima kasih, berkat kekompakan dan semangat gotong royong seluruh masyarakat Banyuwangi, kita bisa meraih banyak prestasi. Ini semua berkat doa panjenengan semua, mudah-mudahan semangat kebersamaan ini tetap dijaga," kata dia.
Acara diawali dengan syukuran dan makan bersama di persimpangan jalan desa. Sebanyak 12 tumpeng, 5 porsi jenang sengkolo dan 7 porsi jenang suro disajikan sebagai simbol waktu perputaran kehidupan manusia. Selain itu dihidangkan pula berbagai olahan makanan dari hasil bumi warga setempat.
"Jumlah tumpeng dan jenang ini sebagai simbol jumlah bulan dan hari yang menandai siklus kehidupan manusia selama satu tahun. Ada 12 bulan, tujuh hari dan lima hari pasaran," kata Indra Gunawan, ketua penyelenggara kegiatan tersebut.
Selanjutnya, dipimpin seorang tokoh adat setempat, 30 manusia kerbau diarak mengelilingi empat penjuru desa dengan iringan musik khas Suku Using. Prosesi ini disebut Ider Bumi. Para petani yang didandani layaknya kerbau tersebut sebagian ada yang diyakini kerasukan roh gaib. Mereka berjalan seperti kerbau yang sedang membajak sawah. Mereka juga berkubang, bergumul di lumpur, dan bergulung-gulung di sepanjang jalan yang dilewati. Saat berjalan pun di pundak mereka terpasang peralatan membajak.
Ritual ini diakhiri dengan prosesi membajak sawah dan menabur benih padi oleh kerbau-kebauan. Dalam prosesnya benih padi yang nantinya ditabur oleh Dewi Sri ini akan banyak diperebutkan warga, karena diyakini bibitnya akan menghasilkan hasil panen yang lebih berlimpah.
Salah satu warga yang ikut berebut benih padi, Sukino (58), mengatakan dirinya sudah tiga kali ini ikut prosesi rebutan benih.
"Jangan minta, tapi harus berusaha untuk mendapatkan benihnya. Katanya benih yang didapat dengan kerja keras diprosesi ini, kalau ditaman bisa subur dan panennya banyak. Alhamdulillah, dengan izin Gusti Allah padi saya bagus dan panennya juga banyak," kata Sukino.
Selain sebagai ungkapan rasa syukur, tradisi Kebo-Keboan Alasmalang juga dipercaya sebagai ritual tolak bala yang sudah dilakukan sejak 300 tahun lalu.
Konon, saat itu Desa Alasmalang dilanda wabah penyakit, lalu Buyut Karti mendapat wangsit untuk menggelar selamatan bersih desa. Selain juga adanya "petunjuk" menggelar adat kebo-keboan, di mana petani menjelma menjadi kerbau.
"Buyut Karti merupakan leluhur Desa Alasmalang yang mengawali tradisi ini. Makanya, sehari sebelum kebo-keboan digelar, kami mengawalinya dengan nyekar ke makam beliau," ucap Indra.(*)